Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Saat 300 T Melayang Milik Umat Dirampas Oligarki

Rabu, 22 Oktober 2025 | 04:32 WIB Last Updated 2025-10-21T21:32:23Z

TintaSiyasi.id -- Dilansir dari detik.com (12/10/ 2025), dalam pidato resmi penyerahan Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk, Presiden menyoroti kerugian negara akibat praktik tambang ilegal yang menembus angka ratusan triliun rupiah. Bahkan, menurut hitungan lembaga audit, negara bisa kehilangan hingga Rp300 triliun setiap tahun akibat salah kelola tambang, mulai dari manipulasi izin, permainan kuota ekspor, hingga kongkalikong antara penguasa dan pengusaha.

Realita ini menegaskan bahwa tambang di Indonesia tak lagi sekadar sumber daya alam, melainkan telah berubah menjadi ladang empuk oligarki. Dalam sistem kapitalisme, tambang diposisikan sebagai komoditas bisnis yang bisa diperebutkan oleh mereka yang punya modal dan akses politik. Di balik jargon “untuk kesejahteraan rakyat”, publik justru menjadi penonton yang hanya menerima polusi udara, lubang-lubang raksasa bekas tambang, dan konflik agraria yang tak kunjung usai.

Masalahnya bukan sekadar soal “oknum”. Ini menyangkut struktur ekonomi kapitalisme yang menuhankan keuntungan, menjadikan teknologi sebagai alat eksploitasi, dan menyingkirkan nilai amanah.

Teknologi yang seharusnya digunakan untuk menjaga kemaslahatan justru berubah menjadi mesin pencetak cuan bagi kelompok tertentu. Ketika kekayaan alam dikendalikan oleh segelintir elit, maka rakyat hanya menjadi korban ketidakadilan sistemik.

Dalam logika kapitalisme, kepemilikan tambang dianggap sebagai hak individu atau korporasi. Negara bisa melepas izin, menjual konsesi, bahkan memberi ruang kepada investor asing dengan dalih investasi. Padahal, kekayaan tambang adalah sumber daya strategis yang menentukan nasib generasi bangsa. Jika kepemilikannya diserahkan kepada swasta, berarti nasib rakyat ikut diserahkan pada nafsu keuntungan segelintir manusia.

Islam memandang hal ini secara berbeda dan tegas. Allah Swt. berfirman, “Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami jadikan kamu menguasainya.” (TQS. Al-Hadid: 7).

Ayat ini menunjukkan bahwa manusia bukan pemilik mutlak, melainkan hanya pengelola amanah Allah. Rasulullah saw. juga menegaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api."

Mayoritas ulama menafsirkan “api” di sini sebagai simbol energi dan sumber daya alam, termasuk tambang. Maka kepemilikannya adalah milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum), bukan milik individu apalagi oligarki.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, bahwa milkiyyah ‘ammah adalah kepemilikan yang telah ditetapkan syarak untuk seluruh umat, dan negara hanya berperan sebagai pengelola, bukan pemilik ataupun sekadar regulator. Pendapatan dari tambang harus masuk ke Baitul Mal dan digunakan untuk menjamin kesejahteraan rakyat melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan infrastruktur, dan pelayanan publik tanpa pungutan zalim seperti pajak yang mencekik.

Dalam sistem Islam (khilafah), tambang dengan kandungan besar seperti emas, nikel, batu bara, minyak, dan gas tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi swasta. Khalifah wajib mengelolanya secara langsung dengan prinsip amanah dan akuntabilitas syar’i. 

Teknologi tetap digunakan, tetapi berada di bawah kontrol negara yang berjalan dengan sistem syura, hisbah, dan pengawasan umat. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi oligarki untuk bermain karena negara bukan pelindung pemilik modal, melainkan penjaga amanah Allah atas harta milik rakyat.

Sejarah membuktikan bahwa sistem Islam pernah menciptakan negara makmur tanpa menyandarkan diri pada hutang asing atau investasi asing. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Baitul Mal begitu berlimpah hingga sulit menemukan orang miskin yang berhak menerima zakat. Karena pengelolaan sumber daya dilakukan secara adil dan penuh amanah.

Konsep ini bertolak belakang dengan sistem kapitalisme yang menyerahkan kekayaan negara kepada swasta, lalu berharap tetesan keuntungan menjangkau rakyat. Padahal, dalam praktiknya, rakyat hanya mendapat remah, sementara pemilik tambang hidup dalam kemewahan yang tak tersentuh hukum.

Kini, pertanyaannya, apakah kita masih rela hidup dalam sistem yang menjadikan tambang sebagai ajang bancakan oligarki? Apakah kita masih ingin bergantung pada janji-janji reformasi tambang yang terus berulang tanpa perubahan mendasar?

Sudah saatnya publik menyadari bahwa solusi tidak cukup dengan audit, penangkapan oknum, atau revisi UU. Kita membutuhkan sistem baru yang bukan hanya memperbaiki prosedur, tetapi mendefinisikan ulang kepemilikan sesuai syariat Allah. 

Islam telah memberi jalan melalui konsep milkiyyah ‘ammah dan sistem khilafah yang menegaskan bahwa tambang adalah milik umat, dikelola negara, dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk rakyat.

Mari berpikir lebih dalam. Jika tambang adalah milik Allah, dan manusia hanyalah pengelola, maka hanya sistem yang tunduk kepada Allah-lah yang layak mengelolanya. Maka jangan ragu untuk bergabung dalam barisan perjuangan menegakkan sistem Islam yang adil, amanah, dan menolak segala bentuk oligarki.

Karena ketika tambang kembali menjadi ladang rahmat bagi umat, bukan ladang bisnis elit, barulah keadilan menemukan tempatnya dan Islam telah lebih dulu mengajarkannya. []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update