Tintasiyasi.id.com -- Korban keracunan program makan bergizi gratis (MBG) kian hari makin bertambah. Sebagaimana yang diberitakan tempo.co, (5/10/2025), menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), korban keracunan MBG tetap bertambah meski pemerintah sudah menutup sementara dapur yang bermasalah. Bahkan, JPPI mencatat korban keracunan MBG tembus menjadi 10.482 orang pada Sabtu, 4 September 2025.
Ini adalah alarm keras yang menunjukkan program yang seharusnya menjadi solusi bagi persoalan gizi anak-anak Indonesia, justru berbalik arah menjadi ancaman serius bagi keselamatan mereka.
Program MBG hadir dengan tujuan yang baik, mendistribusikan makanan sehat dan bergizi kepada anak-anak, terutama dari kalangan kurang mampu. Dalam banyak hal, program ini sangat dibutuhkan, terutama di tengah situasi ekonomi yang semakin menekan keluarga kelas bawah.
Namun niat baik saja tidak cukup. Sebuah program dengan cakupan nasional dan menyentuh jutaan anak membutuhkan kesiapan yang matang, pengawasan ketat, dan sistem yang berjalan dengan amat baik.
Fakta bahwa ribuan anak harus mengalami keracunan makanan akibat program ini menandakan adanya kelalaian sistemik. Masalah ini bukan sekadar soal satu dua kasus kesalahan teknis.
Ini tentang lemahnya kontrol kualitas, buruknya pengawasan terhadap proses produksi dan distribusi makanan, serta kurangnya kesiapan dalam menjalankan program sebesar ini secara serentak.
Makanan, apalagi yang dikonsumsi oleh anak-anak, harus melalui standar keamanan pangan yang ketat. Bila proses ini dilanggar atau disepelekan, akibatnya sangat fatal. Dan itulah yang terjadi.
Kita harus jujur mengakui, dalam pelaksanaan MBG, tampak jelas adanya kecenderungan untuk mengejar kuantitas ketimbang kualitas. Target distribusi yang besar, dilakukan dalam waktu singkat, dengan koordinasi yang minim antara pusat dan daerah, membuka ruang bagi berbagai bentuk kelalaian. Apalagi jika pelibatan pihak ketiga dalam pengadaan makanan tidak disertai dengan seleksi dan pengawasan yang ketat.
Lebih memprihatinkan lagi, hingga kini belum ada kejelasan tentang siapa yang akan bertanggung jawab atas kasus keracunan ini. Di tengah sorotan tajam masyarakat, justru yang muncul adalah saling lempar tanggung jawab. Bukankah ini menambah luka bagi para korban dan keluarganya?
Pemerintah seharusnya tidak sekadar menenangkan publik dengan janji evaluasi, tetapi segera melakukan moratorium total terhadap pelaksanaan program MBG, setidaknya sampai investigasi menyeluruh selesai dilakukan dan ada jaminan bahwa sistemnya benar-benar aman.
Kita tidak bisa membiarkan program sebaik apa pun dijalankan dengan ceroboh. Makanan gratis tidak boleh menjadi makanan berisiko. Program untuk rakyat harus dirancang dan dijalankan dengan standar tertinggi, bukan asal jadi atau sekadar memenuhi janji politik. Apa gunanya gizi bila harus dibayar dengan nyawa dan kesehatan anak-anak?
Tragedi ini seharusnya menjadi momentum untuk melakukan koreksi besar-besaran. Mulai dari desain program, proses pengadaan, sistem pengawasan, hingga tanggung jawab hukum bagi pihak-pihak yang terbukti lalai. Jangan sampai tragedi ini terulang hanya karena kita enggan belajar dan terlalu cepat menormalisasi kegagalan.
Program MBG bisa tetap menjadi program unggulan, tetapi jika hanya dijalankan dengan keseriusan dan integritas tinggi. Jika tidak, maka ia tak ubahnya proyek pencitraan yang membahayakan masa depan generasi penerus bangsa.
Pemerintah harus ingat, rakyat tidak hanya butuh bantuan, tapi juga butuh jaminan keselamatan. Dan ketika program bantuan justru menjadi sumber bahaya, maka yang harus diperbaiki bukan hanya teknisnya, tapi juga niat dan komitmennya.[]
Oleh: Jasmine Fahira Adelia, (Anggota KMM Depok)