TintaSiyasi.id -- Serbuan pasukan Isra3l terhadap armada Global Sumud Flotilla (GSF) yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza bukan sekadar pelanggaran maritim, tapi tamparan keras bagi nurani dunia. Ratusan relawan internasional ditahan, kapal-kapal sipil dirampas, dan bantuan logistik yang seharusnya menyelamatkan nyawa, justru disita dengan kejam di perairan internasional. Dunia menyaksikan,
namun diam.
Kebisuan global atas intersep itu bukanlah netralitas, tapi pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Ketika lembaga-lembaga internasional yang digadang sebagai “penjaga perdamaian” memilih bungkam, maka seluruh sistem global hari ini sedang memperlihatkan kebangkrutannya.
PBB, Uni Eropa, dan organisasi kemanusiaan seolah kehilangan gigi. Mereka tak lebih dari forum diplomatik yang sibuk mengeluarkan resolusi tanpa nyali. Padahal yang diserang bukan pangkalan militer, melainkan kapal sipil dengan misi kemanusiaan. Lantas, untuk apa lembaga-lembaga itu ada jika nyawa manusia bisa ditukar dengan kepentingan politik dan pasar senjata?
Kapitalisme dan Kemunafikan Dunia Internasional
Dunia kini diatur oleh logika kapitalisme, yaitu untung rugi, bukan benar salah. Itulah sebabnya kekejaman Isra3l selalu berakhir dengan “kekhawatiran mendalam” tanpa tindakan tegas.
Negara-negara besar menimbang reaksi berdasarkan saham minyak, rute gas, dan perjanjian pertahanan bukan berdasarkan kemanusiaan. Kita hidup di dunia yang lebih peduli pada stabilitas pasar daripada darah anak-anak Gaza. Dunia yang bisa bersidang untuk membahas bunga bank, tapi gagal bersidang untuk menghentikan genosida.
Di tengah kebiadaban ini, negara-negara Muslim justru tampak gamang. Ada kecaman, ada doa bersama, tapi tidak ada kekuatan yang bergerak. Penguasa Muslim seolah lebih takut pada sanksi ekonomi Barat ketimbang murka Allah atas kelalaian mereka menolong saudara seiman.
Ketika Nurani Tak Cukup Butuh Struktur Politik yang Kuat
Seruan moral tidak akan menghentikan tank dan rudal. Doa tanpa sistem hanya menjadi gema di masjid, sementara darah terus mengalir di Gaza. Inilah saatnya dunia Islam menyadari bahwa untuk melawan kekuatan penjajahan, umat butuh kekuatan tandingan, yaitu kekuatan politik, militer, dan ideologis yang bersatu dalam satu kepemimpinan. Itulah yang ditawarkan Islam melalui institusi Khilafah Islamiah.
Bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi solusi yang realistis dan sistemik. Dalam Nizham al-Islam, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa khilafah bukan sekadar simbol kesatuan umat, tetapi sistem pemerintahan yang menegakkan syariat secara menyeluruh, mengatur politik luar negeri dengan basis dakwah dan jihad, serta melindungi kehormatan umat Islam di seluruh dunia.
Beliau menulis, “Negara Islam wajib mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Kewajiban ini hanya dapat dijalankan oleh khilafah, karena ia satu-satunya institusi yang mewakili umat dalam melaksanakan hukum Allah di dalam dan luar negeri.”
(Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Jilid II)
Dengan kata lain, hanya khilafah yang mampu menghimpun kekuatan politik, ekonomi, dan militer umat untuk melawan penjajahan secara sah, terarah, dan berlandaskan hukum Allah, bukan kepentingan modal asing.
Kegagalan PBB dan Lahirnya Kebutuhan akan Khilafah
Kegagalan PBB dalam menghadapi Isra3l bukan karena kurang data atau resolusi, tetapi karena ia berdiri di atas pondasi sekuler yang menolak campur tangan Tuhan dalam urusan politik. Maka yang dihasilkan hanyalah keadilan versi manusia, yang tunduk pada pemilik veto dan kepentingan geopolitik.
Syekh Taqiyuddin menjelaskan dalam Ad-Daulah al-Islamiyyah, “Hukum internasional yang dibuat manusia tidak akan pernah adil, karena ia lahir dari akal yang terbatas dan hawa nafsu kekuasaan. Hanya hukum Allah yang mampu melindungi manusia dari kezaliman, termasuk dalam hubungan antarnegara.”
Inilah alasan mengapa setiap krisis Palestina selalu berujung pada kebuntuan. Sistem dunia tidak rusak karena pejabatnya korup semata, tetapi karena fondasinya sudah batil, yaitu sekularisme.
Khilafah Solusi Politik Bukan Emosi
Seruan “usir penjajah dari bumi Palestina” bukan ajakan emosional, tetapi seruan politik yang berpijak pada syariat.
Dalam sistem khilafah, penjajahan adalah agresi terhadap seluruh umat Islam, dan wajib dijawab dengan kekuatan negara, bukan sekadar bantuan kemanusiaan.
Khilafah memiliki tiga fondasi yang membuatnya sanggup menyelesaikan masalah Palestina secara nyata:
Pertama, kekuatan politik dan militer yang terpusat.
Seluruh potensi militer umat disatukan di bawah komando khalifah yang berdaulat, bukan tersebar di banyak negara yang terikat perjanjian dengan Barat.
Kedua, ekonomi independen tanpa ketergantungan pada kapitalisme global.
Kekayaan alam umat, seperti minyak, gas, tambang wajib dikelola negara untuk kepentingan Islam dan jihad fi sabilillah, bukan diserahkan ke korporasi Asing.
Ketiga, kepemimpinan ideologis yang menyatukan umat.
Umat tidak lagi terpecah oleh nasionalisme dan kepentingan rezim, tapi disatukan oleh akidah dan tujuan yang sama, yaitu menegakkan keadilan di bawah hukum Allah.
Bukan Lagi Waktu untuk Retorika
Tragedi GSF harus menjadi titik balik. Umat tidak boleh lagi puas dengan kutukan dan konferensi. Sudah terlalu lama Palestina menjadi panggung belas kasihan dunia, padahal ia seharusnya menjadi simbol kebangkitan Islam.
Kita harus menyiapkan generasi yang sadar politik Islam, memahami akar penjajahan, dan bekerja membangun kembali institusi yang hilang bukan dalam wacana, tapi dalam gerak dakwah dan perjuangan yang terorganisir.
Karena tanpa khilafah, setiap kapal bantuan akan terus disergap, setiap doa akan terus terhalang tembok blokade, dan setiap seruan “Save Palestine” hanya menjadi slogan musiman.
Oleh karena itu, saatnya umat bangkit. Kita tidak sedang kekurangan simpati, kita sedang kekurangan sistem yang melindungi simpati itu agar berubah menjadi kekuatan. Khilafah bukan utopia, ia kewajiban syar’i. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Barang siapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada khalifah), maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Maka perjuangan menegakkan khilafah bukan sekadar proyek politik, tapi ibadah yang menegakkan kembali kedaulatan Islam atas bumi yang dirampas.
GSF mengingatkan kita bahwa dunia boleh bungkam, tapi umat Islam tidak boleh diam. Jika dunia tak mau menegakkan keadilan, maka biarlah umat Islam menegakkannya sendiri di bawah panji tauhid, dalam naungan Khilafah Islamiah yang menjadikan ridha Allah sebagai satu-satunya orientasi.
Karena hanya dengan khilafah-lah, penjajah dapat terusir, darah tertumpah dapat dibela, dan Palestina kembali merdeka bukan sebagai proyek kemanusiaan, tetapi sebagai amanah akidah. []
Nabila Zidane
Jurnalis