Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Empat Kelemahan Mendasar dari Pidato Prabowo di PBB

Rabu, 08 Oktober 2025 | 06:56 WIB Last Updated 2025-10-07T23:56:27Z

TintaSiyasi.id -- Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi mengungkapkan empat kelemahan mendasar dari pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Pertama, mengakui genosida, tetapi bungkam terhadap pelaku utama," tulisnya dalam artikel yang berjudul Inilah Kritik Keras untuk Pidato Presiden Prabowo, Sabtu (27/9/2025). 

Seharusnya, jelas Farid, konsekuensi logis pelaku genosida mesti jelas akuntabilitasnya, yakni pelaku kejahatan harus ditunjuk, bukti harus diungkap, dan hukuman harus dituntut. Sayangnya, dalam forum tersebut Prabowo enggan menyebut entitas Zionis Yahudi sebagai pelaku utama genosida di Palestina yang dibantu Amerika, padahal isu tersebut  telah begitu nyata. 

"Mengakui adanya genosida tanpa menunjuk pelaku berarti mengaburkan kebenaran," katanya.

Kelemahan kedua, terangnya, Prabowo bungkam atas kegagalan PBB yang sudah sistemis atau struktural.

"PBB sejak awal dirancang sebagai alat kontrol dunia oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II. Hak veto yang dimiliki lima anggota tetap Dewan Keamanan adalah bukti nyata bahwa keadilan bisa disandera oleh kepentingan politik segelintir negara," bebernya.

"Kenyataannya, setiap upaya menjatuhkan sanksi atau mengambil tindakan nyata terhadap entitas penjajah Yahudi selalu digagalkan oleh veto Amerika Serikat. Artinya, PBB tidak gagal karena tidak mampu, tetapi gagal karena memang tidak didesain untuk menghukum sekutunya sendiri," ulasnya lagi.

Ia menilai, seharusnya Prabowo sebagai pemimpin negeri Muslim terbesar di dunia menentang penjajahan bahkan genosida yang terjadi di Palestina serta menyerukan reformasi secara fundamental, bukan malah bungkam, karena hal itu sama saja seperti melegalkan kejahatan international.

"Ketiga, menyokong two-state solution berarti melegitimasi penjajahan. Solusi dua negara (two-state solution) kembali disebut Presiden Prabowo sebagai jalan keluar. Tetapi, mari kita jujur: apa arti solusi ini di lapangan? Apakah ia sungguh akan menghadirkan kedaulatan Palestina? Ataukah hanya selubung politik untuk menutupi kegagalan?" ucapnya.

Menurutnya, Barat telah merancang visi dari solusi dua negara adalah negara tanpa kedaulatan sejati, artinya, Palestina tidak boleh memiliki militer sendiri (demilitarized), kemudian berada di bawah pengawasan dan kontrol keamanan Israel, intinya, semua mesti sejalan dengan norma politik, ekonomi, dan keamanan Barat.

"Dengan kata lain, yang ditawarkan adalah “negara boneka” yang tunduk pada proyek kolonial Zionis sejak 1948. Sebuah negara yang tidak mengakhiri penjajahan, tetapi justru mengokohkannya," ujarnya.

"Jika Indonesia secara prinsip anti-penjajahan, maka mendukung two-state solution adalah kontradiksi besar. Sebab pengakuan atas “Negara Palestina” dalam kerangka ini berarti sekaligus mengakui legitimasi “Israel” sebagai negara penjajah. Politik luar negeri Indonesia seharusnya tegak lurus: tidak ada kompromi terhadap kolonialisme," jelasnya. 

Keempat, pidato Prabowo menunjukkan pertentangan antara prinsip syariah dan amanah umat.

"Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, seharusnya Indonesia memiliki kompas moral yang jelas dalam isu Palestina, kompas Islam. Dalam syariah, tidak ada konsep hidup berdampingan secara damai dengan penjajah. Perintahnya tegas, penjajah harus diusir," jelasnya.  

Ia memandang, pidato Prabowo hanya sekadar retorika belaka, sekedar formalitas diplomatik yang nihil ruh perjuangan, seharusnya Prabowo mengambil sikap yang berani untuk menyuarakan solusi ideologis yang berasal dari ajaran Islam yang sesuai dengan identitas bangsa yang dipimpinnya, bangsa yang mayoritas rakyatnya beragama Islam.  

"Dengan demikian, solusi Islam bukanlah peacekeeping forces (pasukan penjaga perdamaian) yang justru akan ikut menjaga keberlangsungan penjajah. Solusi Islam adalah mobilisasi kekuatan negeri-negeri Muslim untuk membela Palestina, membebaskan tanahnya, dan mengusir penjajah Yahudi sepenuhnya. Inilah mandat sejarah yang diwariskan Umar bin Khattab ketika membebaskan Baitul Maqdis, dan Shalahuddin al-Ayyubi ketika mengusir tentara Salib," tuntasnya.[]Tenira

Opini

×
Berita Terbaru Update