Tintasiyasi.id.com -- Dua insiden pendidikan yang viral dalam waktu berdekatan menyiratkan sebuah krisis yang jauh lebih dalam daripada sekadar pelanggaran aturan sekolah. Pertama, kasus Kepala SMAN 1 Cimarga, Banten, Dini Fitri, yang diduga menampar siswa bernama Indra setelah ketahuan merokok dan berbohong.
Kasus ini akhirnya diselesaikan secara damai dengan pencabutan laporan polisi oleh orang tua siswa (Detik.com, 18 Oktober 2025). Kedua, foto seorang siswa SMA di Makassar yang dengan santainya merokok dan menyandar di dekat gurunya, Ambo, menjadi bahan perbincangan nasional.
Fenomena ini bukanlah hal kecil. Ia adalah puncak gunung es dari sebuah bencana moral yang diperparah oleh data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memperkirakan 15 juta remaja usia 13-15 tahun di dunia menggunakan rokok elektrik atau vape, dengan kemungkinan penggunaan pada remaja sembilan kali lebih tinggi daripada orang dewasa (Inforemaja.id).
Insiden-insiden ini menguak sebuah dilema brutal yang dihadapi para pendidik hari ini. Di satu sisi, ada tuntutan untuk mendisiplinkan siswa, di sisi lain, ada rasa takut yang menghantui. Betapa tidak, ketika seorang kepala sekolah sekalipun berusaha menegur seorang siswa yang kedapatan merokok dan berbohong, konsekuensi yang dihadapi bisa berujung pada pelaporan ke ranah hukum.
Situasi ini menciptakan ruang abu-abu yang mematikan wibawa guru. Guru berada dalam posisi yang serba salah: antara ingin menjalankan tugas mulia mendidik dan menegakkan aturan, atau memilih diam untuk menyelamatkan karier dan diri dari gugatan hukum.
Akibatnya, seperti yang disuarakan banyak kalangan, guru menjadi takut untuk menegur murid yang merokok, sebuah situasi yang pada akhirnya justru menghancurkan kewibawaan dunia pendidikan (Suara.com, 18 Oktober 2025).
Analisis kritis terhadap fenomena ini harus membawa kita pada akar ideologisnya. Sistem pendidikan sekuler-liberal telah melahirkan generasi yang mengalami disorientasi nilai. Dalam kerangka liberal, kebebasan individu sering diartikan sempit sebagai hak untuk berbuat tanpa mempertimbangkan kewajiban dan etika.
Merokok di lingkungan sekolah, apalagi di depan guru, bukan lagi sekadar pelanggaran, tetapi telah menjadi simbol "pemberontakan" dan gaya hidup yang dianggap "dewasa" dan "keren".
Di saat yang sama, negara abai dengan membiarkan rokok dan vape mudah diakses oleh remaja, menunjukkan lemahnya pengawasan dan komitmen untuk melindungi generasi muda. Segala bentuk kekerasan fisik tentu tidak dibenarkan dalam menyikapi hal ini, tetapi ketiadaan alternatif disiplin yang efektif dalam sistem sekuler inilah yang membuat masalah terus berputar tanpa solusi.
Lantas, di manakah jalan keluarnya? Konstruksi solusi harus dimulai dari paradigma yang benar. Pertama, sistem pendidikan harus memberikan perlindungan yang jelas bagi guru. Menegur kesalahan adalah bagian dari amar ma'ruf nahi mungkar, namun ia harus dilakukan dengan cara yang bijak, melalui pendekatan tabayun (klarifikasi) dan memahami latar belakang psikologis serta sosial siswa, bukan dengan emosi dan kekerasan.
Kedua, dan ini yang paling fundamental, kita harus mengakui bahwa sistem pendidikan sekuler yang berlandaskan materialisme dan kebebasan tanpa batas telah gagal total dalam mencetak generasi yang bertakwa dan berakhlak mulia.
Sistem ini perlu diganti dengan sistem pendidikan Islam yang menanamkan nilai-nilai fundamental seperti sopan santun, rasa hormat kepada guru, dan kesadaran akan tanggung jawab di hadapan Allah SWT.
Dalam Islam, guru adalah pilar peradaban. Posisinya dimuliakan karena tugasnya yang luhur sebagai pewaris ilmu para nabi. Seorang guru bukan sekadar sumber ilmu (transfer of knowledge), tetapi juga pendidik yang memberikan suri teladan (uswah hasanah) dalam pembentukan kepribadian Islami (syakhshiyah islamiyah) pada murid-muridnya.
Terhadap persoalan merokok, meski status hukum asalnya adalah mubah, Islam memiliki seperangkat aturan yang membingkainya. Kaidah "la dharar wa la dhirar" (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain) serta larangan terhadap sikap boros (israf) menjadikan merokok sebagai aktivitas yang tercela.
Seorang remaja muslim yang paham agamanya akan menyadari bahwa uang yang dihabiskan untuk rokok adalah bentuk pemborosan, dan asap yang dihembuskannya dapat mengganggu orang lain sebagai perokok pasif.
Pada akhirnya, sistem pendidikan Islam bertujuan melahirkan generasi yang memiliki pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang islami. Mereka menyadari bahwa tujuan penciptaan mereka tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah, dan setiap tindakan mereka kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Dengan kesadaran inilah, seorang remaja muslim akan bangga menjadi generasi yang beriman, kuat, dan bermanfaat, bukan generasi yang lemah, boros, dan merusak diri sendiri dengan dalih "gaya hidup" dan "kedewasaan" semu.
Insiden di Lebak dan Makassar adalah alarm keras: tanpa perubahan paradigma pendidikan yang menyeluruh, kita hanya akan terus menjadi penonton bagi hancurnya moral generasi penerus bangsa.[]
Oleh: Prayudisti SP
(Aktivis Muslimah)