Tintasiyasi.id.com -- Gelombang kekerasan seakan menjadi berita harian yang tidak pernah usai. Dalam beberapa pekan terakhir, media diwarnai oleh rentetan peristiwa yang membuat kita merinding: seorang istri dibakar dan dikubur di kebun tebu oleh suaminya sendiri di Malang (Beritasatu, 21 Oktober 2025).
Seorang remaja 16 tahun membacok neneknya hanya karena tidak terima disebut "cucu pungut" (Beritasatu, 21 Oktober 2025). Seorang ayah di Dairi diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandungnya puluhan kali (Kompas, 18 Oktober 2025).
Hingga seorang pelajar SMP di Grobogan meninggal dunia dikeroyok teman-temannya sendiri (Beritasatu, 20 Oktober 2025). Data statistik pun mengonfirmasi tren mengerikan ini, dengan jumlah kasus KDRT di Indonesia telah menembus angka 10 ribu perkara hanya hingga September 2025 (Goodstats.id).
Fakta-fakta tragis ini bukanlah insiden yang terisolasi, melainkan gejala akut yang mencerminkan rapuhnya ketahanan keluarga Indonesia dan dampak buruknya yang langsung memengaruhi perilaku remaja yang kian tidak terkendali.
Menyikapi fenomena ini, analisis superfisial akan berhenti pada kesimpulan tentang kemiskinan, stres ekonomi, atau faktor psikologis semata. Namun, sebagai muslim, kita harus berani menukik lebih dalam hingga ke akar ideologisnya. Penyebab utama dari semua kekacauan ini adalah sekularisme—ideologi yang dengan sengaja menyingkirkan nilai-nilai agama dari pengaturan kehidupan.
Sekularisme telah menjadikan keluarga kehilangan landasan takwa dan tanggung jawab moral di hadapan Allah SWT. Suami, istri, dan anak tidak lagi memandang hubungan mereka sebagai ikatan sakral (miitsaaqan ghaliizhan) yang diliputi oleh rasa takut kepada Allah, melainkan sekadar kontrak sosial belaka yang bisa dipertaruhkan demi ego dan nafsu.
Pendidikan sekuler-liberal yang diajarkan di tengah masyarakat kita telah menjadi pemicu berikutnya. Sistem ini menumbuhkan paham kebebasan tanpa batas (individual freedom) dan sikap individualistik.
Anak-anak dididik untuk mengejar kesenangan pribadi, menghormati diri sendiri lebih dari orang tua, dan memandang otoritas sebagai sesuatu yang boleh ditentang. Dampaknya, keharmonisan rumah tangga runtuh karena setiap anggota keluarga sibuk dengan dunianya sendiri, sementara remaja kehilangan figur yang patut dihormati dan diteladani.
Ditambah lagi, racun materialisme yang menjadikan ukuran kebahagiaan bersifat duniawi dan materiil. Tekanan hidup kemudian mudah sekali memicu konflik, karena keluarga tidak lagi memiliki ketahanan spiritual untuk menghadapi ujian dengan sabar dan tawakal.
Di level negara, pengabaian terus berlanjut. Undang-Undang Penghapusan KDRT (UU PKDRT) yang ada terbukti hanya menjadi "pentungan" hukum yang menunggu terjadi kekerasan. Ia bersifat reaktif, menindak setelah kekerasan terjadi, tanpa sedikit pun menyentuh akar masalah dengan mencegah kerusakan sistemik pada keluarga. Negara sekuler hanya sibuk mengobati gejala, tetapi abai terhadap penyakit yang mendasarinya.
Lalu, adakah jalan keluar dari labirin masalah ini? Islam menawarkan konstruksi solusi yang menyeluruh dan fundamental.
Pertama, dimulai dari pendidikan. Pendidikan Islam bukan sekadar transfer ilmu duniawi, tetapi upaya penanaman akidah, pembentukan kepribadian bertakwa, dan penumbuhan akhlak mulia.
Nilai tawadhu', birrul walidain (berbakti kepada orang tua), dan tanggung jawab harus menjadi inti dari pendidikan di keluarga dan kurikulum negara.
Kedua, syariat Islam menawarkan blue-print yang jelas dalam membangun keluarga. Peran suami sebagai qawwam (pemimpin) yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayang, serta peran istri sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) yang dilindungi, akan mengokohkan pondasi keluarga.
Ikatan pernikahan yang dilandasi ketakwaan akan mencegah KDRT sejak dini, karena setiap pihak menyadari ada Pengawas dan Pemberi Sanksi yang Maha Melihat.
Ketiga, negara dalam Islam berperan sebagai pelindung (raa'in) yang wajib menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang adil, negara memastikan kebutuhan pokok setiap keluarga terpenuhi, sehingga tekanan ekonomi—yang sering menjadi pemicu konflik—dapat diminimalisir.
Terakhir, hukum sanksi Islam yang tegas dan mendidik harus ditegakkan. Hukuman yang jelas bagi pelaku KDRT, zina, dan pembunuhan—seperti hukum qishash dan jilid—bukanlah bentuk kekejaman, melainkan keadilan sejati yang memiliki efek jera tinggi sekaligus edukatif bagi seluruh masyarakat agar hidup sesuai syariat.
Oleh karena itu, darurat KDRT dan kekerasan remaja adalah cermin dari kegagalan sistem sekuler dalam membangun peradaban yang manusiawi. Hanya dengan kembali kepada Islam sebagai landasan berpikir, aturan berkeluarga, dan dasar bernegara, kita dapat memutus mata rantai kekerasan ini.
Tanpa itu, kita hanya akan terus menjadi bangsa yang sibuk memunguti potongan-potongan duka, sambil membiarkan sumber bencana itu sendiri terus bersemayam dalam tatanan kehidupan kita.[]
Oleh: Prayudisti SP
(Aktivis Muslimah)