TintaSiyasi.id -- Dalam sejarah panjang peradaban manusia, kejahatan selalu mendapat sorotan besar. Kita membenci pelaku kriminal, mengutuk penjahat, dan menuntut keadilan atas setiap tindakan yang sengaja menyakiti orang lain. Namun, ada sesuatu yang jauh lebih sunyi, tetapi sering kali lebih mematikan daripada kejahatan itu sendiri, yaitu inkompetensi.
Ya, ketidaktahuan, kelalaian, ketidakmampuan menjalankan amanah dengan benar, telah menelan lebih banyak korban daripada niat jahat yang disertai kebencian.
Ketika Ketidaktahuan Lebih Berbahaya daripada Kebencian
Kejahatan memiliki niat jahat di baliknya, tetapi inkompetensi sering kali terjadi tanpa kesadaran pelaku bahwa ia sedang mencelakakan orang lain. Seorang dokter yang salah mendiagnosis pasien karena malas belajar, seorang pejabat yang menandatangani kebijakan tanpa memahami dampaknya, seorang insinyur yang lalai menghitung beban konstruksi. Mereka mungkin tak berniat jahat, tetapi akibat dari tindakan mereka, bisa jauh lebih fatal.
Inilah tragedi besar manusia modern. Kita hidup di zaman penuh teknologi, tetapi masih dikuasai oleh mereka yang sering tidak benar-benar menguasai apa yang mereka kelola.
Ilmu yang setengah matang dan tanggung jawab yang setengah hati telah menjadi racun yang merusak tatanan kehidupan umat manusia.
Inkompetensi dalam Perspektif Ruhani dan Amanah
Islam memandang setiap tugas dan keahlian sebagai amanah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58).
Amanah dalam Islam tidak hanya berarti titipan harta, tetapi juga tanggung jawab atas jabatan, keahlian, dan kepercayaan publik.
Orang yang menerima tugas tanpa kemampuan disebut ghairu ahl, orang yang tidak layak. Nabi Muhammad Saw. memperingatkan:
“Apabila urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Hadis ini bukan sekadar peringatan moral, tetapi diagnosis sosial.
Banyak bencana, krisis ekonomi, kegagalan pendidikan, bahkan kerusakan lingkungan bukan disebabkan oleh kejahatan terencana, tetapi oleh inkompetensi orang-orang yang diberi amanah tanpa ilmu dan integritas.
Inkompetensi yang Menjadi Sistemik
Yang paling berbahaya bukan sekadar individu yang tidak kompeten, melainkan sistem yang melindungi dan menormalisasi ketidakmampuan.
Ketika jabatan diperoleh bukan karena keahlian, tetapi karena koneksi, ketika kesalahan tidak pernah dievaluasi, dan ketika budaya “asal jalan” menjadi norma, maka kita sedang menanam benih kehancuran bangsa.
Dalam kondisi seperti ini, setiap kesalahan kecil dapat menjadi rantai bencana besar.
Satu keputusan salah dalam kebijakan publik dapat menimbulkan penderitaan bagi ribuan orang.
Satu kegagalan kecil dalam sistem kesehatan bisa menyebabkan kematian massal.
Satu kelalaian dalam perawatan jembatan bisa merenggut puluhan nyawa dalam sekejap.
Semua itu terjadi bukan karena kejahatan, tetapi karena ketidakmampuan dan ketidaktanggungjawaban.
Dimensi Moral: Ketika Lalai Menjadi Dosa
Dalam pandangan spiritual, inkompetensi bukan hanya kekurangan teknis, melainkan dosa moral.
Setiap manusia yang diberi kemampuan, jabatan, atau tanggung jawab wajib menunaikannya dengan penuh amanah, ketelitian, dan keikhlasan. Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (tepat, tuntas, dan sempurna).”
(HR. Thabrani).
Itqan berarti kesungguhan, keahlian, dan tanggung jawab.
Mereka yang bekerja asal-asalan, menyepelekan amanah, dan tidak berusaha meningkatkan kemampuan, sesungguhnya sedang berbuat zalim. Bukan hanya terhadap orang lain, tetapi terhadap dirinya sendiri karena ia telah mengkhianati karunia ilmu dan kesempatan yang Allah berikan.
Dari Inkompetensi Menuju Kecemerlangan Umat
Umat Islam diperintahkan untuk menjadi ummatan wasathan, yaitu umat terbaik, unggul dalam moral sekaligus profesionalitas.
Kecemerlangan tidak lahir dari niat baik semata, tetapi dari disiplin belajar, kesungguhan, dan tanggung jawab ilmiah.
Untuk keluar dari jerat inkompetensi, kita perlu membangun tiga kesadaran besar:
1. Kesadaran Ilmu
Belajar bukan sekadar memperoleh ijazah, tetapi menuntut makna dan hikmah. Seorang muslim sejati adalah pembelajar sepanjang hayat. Membaca tanda-tanda Tuhan di alam dan menyalurkan pengetahuan itu untuk kemaslahatan umat.
2. Kesadaran Amanah
Setiap profesi adalah ladang ibadah. Guru, dokter, pemimpin, pedagang, atau teknisi. Semua akan ditanya tentang seberapa amanah dan profesional mereka dalam menunaikan tugas.
3. Kesadaran Akhirat
Orang yang yakin akan hisab di hadapan Allah tidak akan berani bekerja asal-asalan. Ia akan berhati-hati, memperhitungkan dampak, dan terus memperbaiki diri.
Membangun Sistem yang Kompeten dan Beradab
Untuk mewujudkan masyarakat yang selamat dari korban inkompetensi, kita perlu mengubah fondasi:
Kebijakan berbasis keahlian: Jabatan diberikan kepada yang ahli, bukan sekadar loyal.
Budaya transparansi dan evaluasi: Kesalahan tidak disembunyikan, tetapi dijadikan pelajaran bersama.
Etika profesional berbasis spiritual: Menyatu antara iman dan kompetensi, antara dzikir dan pikir.
Pendidikan yang menanamkan tanggung jawab: Anak-anak dididik untuk bukan hanya pintar, tetapi juga amanah, teliti, dan berani mengakui kesalahan.
Jika sistem ini tumbuh, maka masyarakat tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga beradab secara ruhani.
Penutup: Jalan Ikhlas dan Itqan
Inkompetensi membunuh bukan karena niat jahat, tapi karena kelalaian terhadap nilai itqan dan amanah.
Umat Islam harus kembali kepada semangat kerja ikhlas dan profesional. Bekerja bukan sekadar mencari upah, tetapi mencari ridha Allah melalui karya yang bermanfaat, amanah yang ditunaikan dengan kesempurnaan.
Mari kita renungkan:
Berapa banyak musibah yang terjadi bukan karena kebencian, tetapi karena kelalaian?
Berapa banyak kesedihan lahir karena “tidak tahu”, bukan karena “tidak mau baik”?
Dan berapa banyak nyawa melayang karena manusia menolak untuk belajar lebih dalam?
Inilah saatnya umat kembali kepada kesungguhan dan tanggung jawab.
Sebab keikhlasan tanpa kompetensi adalah kelemahan, dan kompetensi tanpa keikhlasan adalah kesombongan.
Namun bila keduanya bersatu, lahirlah kekuatan sejati yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo