TintaSiyasi.id -- Gelombang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan brutalitas remaja terus merebak. Hal ini bukan sekadar fenomena sosial, melainkan potret nyata kegagalan sistem sekuler dalam menjaga ketahanan keluarga dan moral generasi. Di bawah sistem yang menyingkirkan agama dari kehidupan, keluarga kehilangan arah ilahi yang seharusnya menjadi jangkar kasih sayang dan tanggung jawab.
Kekerasan kini menjalar ke ruang-ruang yang seharusnya paling aman: rumah dan sekolah. Seorang suami siri di Malang tega membakar istrinya dan menguburnya di kebun tebu (BeritaSatu, 21/10/2025). Pelajar SMP di Grobogan meninggal dikeroyok teman sekelas (BeritaSatu, 19/10/2025). Di Jakarta, remaja membunuh bocah SD hanya karena ejekan (BeritaSatu, 20/10/2025). Seorang ayah di Dairi melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandungnya hingga 30 kali (Kompas, 18/10/2025).
Data GoodStats (18/10/2025) mencatat, kasus KDRT di Indonesia telah menembus 10 ribu perkara hanya sampai September 2025. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi jeritan sunyi dari keluarga yang kehilangan makna kasih sayang dan amanah.
Sekularisme: Akar Retaknya Keluarga
Krisis ini bukan karena keluarga kurang komunikasi, tetapi karena ideologi hidup yang salah. Sekularisme mengajarkan bahwa manusia bebas menentukan standar baik-buruk tanpa bimbingan wahyu. Keluarga pun dibangun atas dasar ego dan kepentingan, bukan ketundukan kepada Allah.
Nilai liberalisme yang menekankan kebebasan tanpa batas melahirkan sikap individualistik dan menihilkan tanggung jawab moral. Pendidikan sekuler hanya mengejar kesuksesan material, bukan pembentukan iman dan akhlak. Anak-anak tumbuh tanpa arah, kehilangan kesadaran bahwa hidup akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalistik menekan keluarga dari berbagai arah. Harga kebutuhan terus naik, lapangan kerja sempit, dan kemiskinan menimbulkan stres sosial. Tekanan ekonomi ini menjadi bahan bakar konflik domestik. Sementara negara hanya jadi penonton: UU PKDRT sekadar menindak setelah kekerasan terjadi, tanpa mengubah akar sistemik yang melahirkannya. Tidak ada pendidikan berbasis iman, tidak ada kebijakan yang mengokohkan ketahanan keluarga.
Islam: Menata Keluarga di Atas Fondasi Takwa
Islam memandang keluarga sebagai institusi suci pembentuk peradaban. Tujuan pernikahan bukan sekadar menyalurkan naluri biologis, tetapi membangun ketenangan (sakinah), kasih sayang (rahmah), dan tanggung jawab (mas’uliyyah).
Syariat menata peran dengan seimbang: suami sebagai qawwam—pelindung dan penafkah; istri sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik generasi; anak sebagai amanah yang wajib dididik dalam iman. Semua diikat oleh ketakwaan, bukan kesetaraan semu atau kebebasan absolut. Dengan iman, konflik diselesaikan dengan hikmah, bukan dengan kekerasan.
Pendidikan Islam: Menanam Akhlak, Bukan Kebebasan
Islam menempatkan pendidikan sebagai sarana membentuk kepribadian bertakwa. Sejak dini, anak diajarkan muraqabah (kesadaran diawasi Allah), adab kepada orang tua, dan tanggung jawab terhadap sesama.
Sebaliknya, pendidikan sekuler-liberal menumbuhkan self-centeredness — orientasi hidup yang hanya berpusat pada diri sendiri. Generasi pun tumbuh rapuh, mudah tersulut emosi, dan kehilangan empati. Pendidikan Islam membentuk kontrol moral dari dalam diri, bukan sekadar takut pada sanksi hukum.
Negara dalam pandangan Islam (Khilafah) berfungsi sebagai raa’in — pelindung rakyat. Ia menjamin kebutuhan dasar keluarga: sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan, agar tekanan ekonomi tak menjadi pemicu konflik.
Negara juga wajib menegakkan hukum hudud dan ta’zir bagi pelaku kekerasan. Hukuman dalam Islam bukan sekadar balasan, tetapi pendidikan sosial agar manusia takut melanggar hukum Allah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, negara bertanggung jawab menjaga kehormatan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat—termasuk di dalam keluarga.
Kembali kepada Sistem Ilahi
Darurat KDRT dan kekerasan remaja tidak akan terselesaikan dengan menambah pasal hukum atau layanan aduan. Selama sistem sekuler-liberal tetap menjadi asas kehidupan, maka kekerasan akan terus berulang.
Solusi sejati hanya lahir ketika umat kembali menegakkan sistem Islam secara kaffah. Dalam naungan syariat, keluarga kokoh oleh iman, remaja tumbuh dengan akhlak, dan masyarakat diikat oleh kasih sayang lahir dari ketaatan.
Hanya dengan kembali kepada sistem Ilahi, rumah akan kembali menjadi tempat teduh, generasi menjadi khairu ummah, dan bangsa ini keluar dari kegelapan kekerasan menuju cahaya rahmat Islam.
Wallahu'alam.
Oleh: Tuty Prihatini, S. Hut
Aktivis Muslimah Banua