TintaSiyasi.id -- Di tengah hiruk-pikuk pembangunan yang sering diukur dari panjangnya jalan, megahnya kantor desa, atau gemerlapnya proyek dana desa, seyogianya memahami apakah desa benar-benar telah maju, atau sekadar berubah rupa di bawah bayang kapitalisme?
Kemajuan hari ini kerap tampak benderang di permukaan, tetapi menyimpan kegelapan di dasar: ketimpangan, ketergantungan, dan hilangnya makna keberkahan. Desa yang dahulu menjadi pusat ketahanan sosial dan moral, kini perlahan menjadi pasar baru bagi sistem ekonomi kapitalistik yang serakah.
Pemerintah Kalimantan Selatan belakangan gencar menggaungkan program “Desa Maju dan Mandiri”. Beragam inisiatif pun digulirkan, mulai dari Bimtek Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) oleh Dinas PMD Kalsel pada 17 Oktober 2025 (Diskominfomc.kalselprov.go.id, 17/10/2025) hingga pelatihan sinergi lembaga desa di berbagai kabupaten (Beritasatu.com, 17/10/2025). Kalimantan Selatan memang dikenal kaya sumber daya alam — batu bara, hutan, pertanian subur — namun di balik potensi itu masih banyak desa yang tertinggal dalam pembangunan. Ironisnya, program demi program yang diklaim membawa “kemajuan”, justru sering terjebak dalam logika pembangunan sekuler yang sempit.
Dalam paradigma sekuler, pembangunan desa diartikan sebatas pembangunan fisik: jalan, jembatan, drainase, fasilitas publik. Desa disebut “maju” bila tampil elok di mata investor atau pejabat. Padahal, kesejahteraan hakiki warga—spiritual, sosial, dan moral—jarang menjadi ukuran. Banyak desa di Kalsel yang sudah disinggahi proyek besar, tapi warganya tetap miskin dan kehilangan kemandirian.
Sistem ini juga melahirkan ketergantungan kronis pada dana desa dan investasi kapitalistik. Alih-alih berdiri kokoh, desa malah menggantungkan napasnya pada aliran uang dari pusat atau korporasi. Tidak heran, ketika dana tersendat, geliat pembangunan pun ikut mati.
Masalah moralitas dan tata kelola juga menjadi luka lama yang terus menganga. Kasus penyalahgunaan dana desa terus muncul, memperlihatkan lemahnya integritas dan rapuhnya pengawasan. Akar persoalan ini bukan sekadar teknis birokrasi, tapi ideologis — pembangunan dijalankan tanpa iman, kebijakan disusun tanpa takwa. Maka yang lahir bukan kesejahteraan, melainkan ketimpangan dan korupsi yang dilegalkan atas nama kemajuan.
Islam memandang pembangunan desa bukan sekadar urusan infrastruktur, melainkan bagian dari amanah kekhalifahan manusia di muka bumi. Dalam pandangan syariah, desa adalah tempat tumbuhnya kesejahteraan, pusat kemandirian ekonomi, dan penopang peradaban Islam.
Khilafah menjadikan pembangunan sebagai manifestasi dari ‘imaratul-ardh — memakmurkan bumi sesuai aturan Allah. Setiap kebijakan ekonomi, sosial, dan tata kelola dijalankan dengan orientasi akhirat, bukan laba dunia. Maka pembangunan tak hanya menghasilkan jalan dan jembatan, tetapi juga menumbuhkan iman, menghapus kemiskinan, dan memperkuat ukhuwah sosial.
Sejarah Islam mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Khaththab membangun sistem baitul mal yang memastikan distribusi kekayaan hingga ke desa-desa terpencil. Tidak ada warga yang kelaparan, hingga pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat tak lagi tersalurkan karena tak ditemukan orang miskin. Desa menjadi basis kesejahteraan, bukan objek belas kasihan negara.
Sistem pertanian Islam juga diatur dengan jelas — tanah yang ditelantarkan diambil dan diserahkan kepada yang mampu mengelolanya. Negara hadir bukan sebagai regulator pasif, tetapi fasilitator aktif yang menjamin kemakmuran rakyat. Inilah paradigma pembangunan desa yang berakar pada iman dan keadilan.
Kalimantan Selatan sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi provinsi dengan desa-desa yang mandiri dan sejahtera. Namun, selama pembangunan masih berjalan di bawah bayang kapitalisme, kemajuan yang lahir akan tetap semu. Desa mungkin terang oleh lampu jalan, tapi gelap oleh krisis keimanan dan ketimpangan.
Kini, yang dibutuhkan bukan sekadar program baru, melainkan paradigma baru — dari pembangunan sekuler menuju pembangunan syariah. Paradigma yang menilai kemajuan bukan dari angka proyek, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan rakyat, tegaknya keadilan, dan hadirnya keberkahan.
Sebagaimana firman Allah SWT: “Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(QS. Al-A’raf: 96)
Inilah jalan keluar dari bayang kapitalisme menuju cahaya syariah — jalan yang menuntun desa, bangsa, dan umat menuju kemajuan sejati yang diberkahi Allah.
Wallahu'alam
Oleh: Tuty Prihatini, S. Hut.
Aktivis Muslimah Banua