Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Budaya Latah Halloween dan Krisis Identitas Muslim

Kamis, 16 Oktober 2025 | 03:38 WIB Last Updated 2025-10-15T20:38:31Z

TintaSiyasi.id -- Di tengah gegap gempita globalisasi, umat Islam kini dihadapkan pada fenomena yang kian memprihatinkan, yaitu ikut-ikutan tanpa pemahaman. Budaya Barat dengan segala kemasannya telah menjelma menjadi standar keren, modern, dan kekinian. Salah satu bentuk paling jelasnya tampak pada perayaan Halloween, sebuah pesta tahunan yang sejatinya lahir dari akar kepercayaan pagan kaum Celtic kuno, namun kini dijadikan hiburan lintas benua termasuk oleh sebagian kaum Muslim yang tanpa rasa salah ikut meramaikan.

Dari Historis.com: Halloween 2024: Origins, Meaning and Traditions menjelaskan bahwa Halloween yang dirayakan setiap 31 Oktober sebenarnya berawal dari festival Samhain, yaitu ritual kuno untuk menyambut musim dingin dan meyakini bahwa pada malam itu arwah orang mati akan kembali ke dunia manusia. Untuk mengusir roh jahat, masyarakat menyalakan api unggun dan mengenakan kostum menyeramkan. Ketika agama Kristen masuk ke Eropa, unsur pagan ini tidak sepenuhnya hilang, melainkan bertransformasi menjadi tradisi baru yang disebut All Hallows’ Eve malam sebelum All Saints Day (Hari Para Kudus). Dari sinilah muncul istilah Halloween.

Namun di era modern, makna spiritual Halloween semakin kabur. Ia kini berubah menjadi pesta kostum, hiburan rumah berhias tengkorak, hingga parade menyeramkan yang dianggap sekadar ekspresi seni dan kesenangan. Celakanya, tradisi ini menular cepat ke negara-negara Muslim melalui media sosial, film, dan gaya hidup global. Anak-anak Muslim mengenakan kostum hantu, sementara remaja hingga dewasa sibuk merayakan “Halloween party” di kafe, hotel, dan mal tanpa memahami asal-usul ritual itu.

Fenomena ini menunjukkan krisis identitas serius dalam tubuh umat Islam. Banyak yang tidak lagi mampu membedakan antara budaya yang boleh diadopsi dan yang wajib ditolak. Padahal Islam memiliki prinsip yang sangat tegas dalam menjaga identitas umat.

Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Hadis ini tidak sekadar larangan superfisial tentang pakaian atau pesta. Ia adalah peringatan akidah agar kaum Muslim tidak larut meniru kebiasaan, simbol, maupun gaya hidup kaum kafir yang bertentangan dengan nilai Islam. Sebab setiap simbol budaya membawa pandangan hidup (worldview) di baliknya. Maka, meniru tanpa sadar sama saja dengan menerima cara pandang mereka terhadap kehidupan, kematian, dan Tuhan.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Islam menjelaskan bahwa setiap sistem kehidupan lahir dari akidah tertentu. Budaya Barat yang sekuler menjadikan manusia pusat segalanya, sementara Islam meletakkan Allah sebagai satu-satunya sumber hukum dan nilai. Ketika umat Islam meniru budaya Barat tanpa filter akidah, sesungguhnya mereka sedang mengikis batas yang membedakan antara khair (kebaikan) dan syarr (keburukan). Dari sinilah dimulai kehancuran identitas.

Allah Swt telah memperingatkan dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (TQS. Al-Isra’: 36).

Ayat ini menegaskan bahwa setiap tindakan, termasuk ikut-ikutan budaya asing, menuntut ilmu dan kesadaran. Tidak boleh seseorang meniru hanya karena tren atau ingin terlihat modern. Islam bukan agama yang mengekang kreativitas, tetapi Islam menuntun agar setiap bentuk ekspresi tetap dalam koridor tauhid dan syariat.

Budaya latah seperti perayaan Halloween hanyalah puncak gunung es dari penetrasi ideologi sekuler-liberal. Melalui hiburan dan gaya hidup, sistem ini menanamkan pemikiran bahwa agama tidak perlu hadir dalam ruang publik. Nilai halal-haram digantikan oleh logika “asal senang dan tidak merugikan orang lain”. Padahal, standar benar-salah dalam Islam bukan perasaan, tetapi wahyu.

Dalam sistem Islam, masyarakat dibangun di atas tsaqafah Islam yang menjaga kepribadian umat. Negara berperan penting membina kesadaran umat agar tidak terombang-ambing dalam arus budaya asing. Khalifah bertanggung jawab memastikan bahwa pendidikan, media, dan kebijakan sosial semua berporos pada akidah Islam. Karena itu, di masa kejayaan khilafah, umat Islam memiliki jati diri yang kuat dan tidak mudah terpengaruh budaya luar. Bahkan ketika Barat sedang tenggelam dalam kegelapan intelektual, umat Islam justru menjadi pembawa cahaya peradaban.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani juga menegaskan bahwa krisis identitas bukan hanya persoalan moral, tapi akibat langsung dari absennya sistem Islam yang mengatur kehidupan. Ketika hukum-hukum Islam hanya dibatasi pada urusan pribadi, sementara ekonomi, pendidikan, dan budaya dibiarkan tunduk pada sekularisme, maka wajar jika generasi muda kehilangan arah. Mereka tidak lagi menjadikan Rasulullah Saw sebagai teladan, tetapi justru memuja selebritas dan ikon budaya Barat.

Rasulullah Saw bersabda, “Kalian benar-benar akan mengikuti sunnah (jalan hidup) orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga jika mereka masuk ke lubang biawak pun kalian akan mengikuti mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini seakan menjadi cermin zaman kita. Ketika masyarakat Barat bangga dengan perayaan Halloween, umat Islam pun tak mau kalah memeriahkannya, bahkan dengan dalih hiburan semata. Inilah bentuk penjajahan budaya paling halus, yaitu ketika umat dijajah tanpa merasa dijajah.

Padahal, Islam memiliki kekayaan budaya yang jauh lebih luhur dan bermakna. Islam mengajarkan kebahagiaan dengan mengenang kematian melalui doa, bukan dengan meniru arwah-arwahan. Islam mengajarkan cinta kasih dengan silaturahmi, bukan pesta bertopeng. Islam mengajarkan kebanggaan diri melalui amal salih, bukan dengan meniru kostum dan kebiasaan kaum yang tidak beriman.

Sudah sepatutnya umat Islam kembali menyadari jati dirinya. Kita tidak memerlukan validasi budaya Barat untuk merasa modern. Modernitas sejati adalah ketika ilmu dan teknologi digunakan untuk menegakkan kalimat Allah, bukan untuk meniru ritual yang bertentangan dengan tauhid.

Sungguh, kemuliaan umat ini hanya akan kembali jika kembali pada syariat yang diturunkan Allah. Ketika sistem Islam tegak kembali, negara akan menjadi penjaga akidah, pengarah budaya, dan benteng peradaban. Tidak akan ada lagi generasi yang bingung mencari jati diri di antara topeng-topeng dunia.

Allah Swt berfirman, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (TQS. Al-An’am: 153).

Ayat ini menjadi penutup sekaligus pengingat. Hanya satu jalan yang membawa kemuliaan, yaitu jalan Islam yang lurus. Semua jalan lain, termasuk jalan budaya Barat yang menjual kesenangan sesaat, hanyalah fatamorgana yang menyesatkan.

Maka, sudah waktunya umat berhenti latah terhadap segala yang datang dari Barat. Tidak perlu mengikuti Halloween untuk dianggap keren, sebab kemuliaan seorang Muslim bukan diukur dari seberapa kekinian ia meniru, tetapi seberapa taat ia memegang prinsip.

Karena di ujung semua pesta dunia, hanya ada satu hal yang kekal, yaitu iman kepada Allah dan keteguhan memegang jati diri Islam. []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update