Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Beratnya Peran Ayah di Bawah Tekanan Kapitalisme

Rabu, 22 Oktober 2025 | 04:07 WIB Last Updated 2025-10-21T21:08:03Z

TintaSiyasi.id -- Dalam Islam, ayah adalah mu’allim al-awwal guru pertama bagi anak-anaknya. Bukan hanya guru yang mengajarkan membaca dan berhitung, tapi guru yang menanamkan tauhid, menuntun moral, dan memperkenalkan makna hidup bahwa manusia tidak diciptakan untuk dunia, tapi untuk mengabdi kepada Allah Swt.

Tapi, di bawah sistem kapitalisme hari ini, fungsi luhur itu perlahan terkikis habis. Ayah yang seharusnya jadi pemimpin dan pelindung keluarga kini justru berjuang sendirian melawan sistem yang tak berpihak padanya. Ia bukan hanya melawan kemiskinan, tapi juga melawan kezaliman struktural yang disulap jadi “kenormalan ekonomi modern”.

Bayangkan… Seorang ayah bangun pukul lima, berdesakan di jalan menuju kantor, menanggung tekanan target kerja, dan pulang larut malam demi segenggam upah yang nyaris tak cukup menutupi biaya hidup. Di rumah, ia disambut tagihan listrik, cicilan warung tetangga, arisan PKK, iuran bulanan warga, uang sekolah, dan harga beras yang naik diam-diam seperti pencuri di malam hari.

Sementara negara yang seharusnya menjadi pelindung justru bertingkah seperti pemungut pajak yang tak punya empati. Pendidikan? Bayar. Kesehatan? Bayar. Keamanan? Masih harus bayar lagi lewat iuran dan pajak. Negara seolah berkata,

“Hidup di negeriku harus kuat bayar, bukan kuat bekerja.”

Padahal dalam Islam, negara justru berkewajiban menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.

Rasulullah Saw bersabda, “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Artinya, negara bukan sekadar penonton, apalagi pemalak rakyat. Tapi di sistem kapitalis, negara berperan layaknya manajer perusahaan yang fokus pada pertumbuhan ekonomi, bukan kesejahteraan manusia. Ayah pun harus bekerja mati-matian demi bertahan hidup, sementara negara berleha-leha menikmati pajak.

Kapitalisme adalah Sistem Tidak Pro-Keluarga

Kapitalisme menciptakan struktur sosial yang tidak ramah keluarga. Harga rumah melambung, pendidikan berkualitas hanya bisa diakses kelas menengah atas, dan biaya kesehatan setara ongkos haji. Akibatnya, ayah kehilangan kesempatan hadir dalam kehidupan anak-anaknya.
Anak yang butuh bimbingan justru dititipkan pada gawai. TikTok menjadi tempat belajar moral, YouTube jadi guru akhlak. Maka lahirlah generasi yang haus validasi, tapi miskin keteladanan. Semua berawal dari ayah yang kelelahan bukan karena malas, tapi karena sistem yang kejam.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam menjelaskan, “Kemiskinan bukanlah akibat kurangnya sumber daya, tetapi karena salah kelola oleh sistem kufur yang menyerahkan harta kepada segelintir orang. Padahal harta itu milik umat dan harus dikelola negara demi kepentingan mereka.”

Dan benar saja, di negeri yang kaya sumber daya, para ayah tetap miskin. Kekayaan alam dijual ke korporasi asing, sementara rakyat harus antre subsidi dan diskon minyak goreng. Negara bukannya jadi pelindung, malah jadi perantara para pemodal besar.

Beban Ayah, Cermin Bobroknya Sistem

Hari ini, ayah bukan hanya menanggung tanggung jawab spiritual dan sosial, tapi juga ekonomi yang tak wajar.
Ia dipaksa menjadi “tulang punggung” yang menanggung semua biaya yang seharusnya ditanggung negara.

Padahal dalam sistem Islam, ada tiga kebutuhan pokok rakyat yang wajib dijamin negara secara gratis, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan, “Negara wajib memberikan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis bagi seluruh rakyatnya, karena itu bagian dari kebutuhan dasar manusia yang tidak boleh dijadikan alat bisnis.” (Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah, Jilid II)

Coba bayangkan jika itu benar-benar diterapkan. Seorang ayah bisa bekerja dengan tenang tanpa dihantui tagihan sekolah anak. Ia tak perlu menjual motor demi biaya rumah sakit. Ia bisa kembali menjadi pemimpin spiritual keluarga, bukan sekadar penyambung napas ekonomi.

Sistem Islam Mengembalikan Martabat Ayah

Dalam sistem Islam, tanggung jawab negara bukan hanya menyediakan lapangan kerja, tapi memastikan setiap kepala keluarga memiliki akses terhadap kebutuhan hidup yang layak.

Negara mengelola sumber daya alam, seperti tambang, hutan, minyak, gas, dan air bukan untuk investor, tapi untuk rakyat.

Rasulullah Saw bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)

Artinya, sumber daya itu haram dikuasai oleh individu atau korporasi. Semua hasilnya harus dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, terutama para ayah yang menjadi penopang keluarga.

Bayangkan bila sistem ini tegak.
Ayah tak lagi stres memikirkan biaya sekolah, sebab pendidikan dijamin negara. Ayah tak perlu pusing soal rumah sakit, karena kesehatan gratis. Ayah tak khawatir keamanan, karena negara hadir melindungi tanpa pamrih.

Saatnya Ayah Diperjuangkan, Bukan Dibiarkan

Realitanya, para ayah hari ini sedang bertarung di medan yang tak adil. Mereka berhadapan dengan pasar bebas, upah murah, dan gaya hidup yang dipacu kapital.
Mereka menahan lelah bukan karena tak mampu, tapi karena tahu, jika mereka berhenti, keluarga mereka bisa tumbang.
Namun, perjuangan itu tidak akan pernah dimenangkan jika sistemnya tetap kapitalistik.

Oleh karena itu, satu-satunya cara mengembalikan martabat ayah adalah dengan mengembalikan sistem Islam yang adil, yang menjadikan negara sebagai pelindung keluarga, bukan beban tambahan.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menutup dengan pandangan tajam, “Selama hukum Allah tidak diterapkan, penderitaan manusia tidak akan berhenti. Solusi bukan pada individu semata, tapi pada sistem yang menegakkan hukum Allah secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiah.

Maka wahai para ayah, ketahuilah. Bukan kalian yang gagal, tapi sistem yang menzalimi. Dan wahai para ibu, jangan pernah berhenti mendukung. Sebab di balik setiap ayah yang kuat, ada doa seorang istri yang yakin bahwa rezeki sejati bukan dari gaji, tapi dari ridha Ilahi.

Sudah saatnya negara menanggung peran yang seharusnya. Agar para ayah bisa kembali menjadi guru pertama, pelindung sejati, dan pemimpin keluarga yang penuh wibawa bukan korban sistem yang haus laba. []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update