Tintasiyasi.id.com -- Gelombang protes yang melanda berbagai kota di Indonesia pada Agustus 2025 meninggalkan catatan kelam. Kepolisian Republik Indonesia menetapkan 959 orang sebagai tersangka, di antaranya 295 anak di bawah umur.
Tempo melaporkan, jumlah itu tersebar di sejumlah wilayah dan mayoritas dikaitkan dengan dugaan keterlibatan dalam kerusuhan dan aksi anarkis (Tempo, 27/9/2025).
Fakta ini sontak menimbulkan polemik, sebab Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai penetapan ratusan anak sebagai tersangka tidak sesuai standar perlindungan anak dalam UU (Kompas, 26/9/2025).
Lebih jauh, Komnas HAM mengingatkan adanya potensi pelanggaran HAM. Sebab dalam proses penyelidikan, banyak anak yang mengalami intimidasi dan ancaman (Kompas, 26/9/2025).
Di satu sisi, aparat menilai tindakan mereka sebagai anarkisme. Namun di sisi lain, ada gejala yang jauh lebih penting: anak-anak muda, terutama Gen Z, mulai memiliki kesadaran politik dan berani menyuarakan kegelisahan mereka terhadap ketidakadilan.
Gen Z dan Kesadaran Politik yang Muncul
Fenomena ini tidak bisa dilihat sebatas “anak-anak ikut-ikutan rusuh”. Justru sebaliknya, keterlibatan anak muda dalam aksi massa menunjukkan bahwa ada kegelisahan sosial yang dirasakan lintas generasi.
Gen Z tumbuh di tengah krisis: harga-harga naik, lapangan kerja sempit, korupsi merajalela, dan kesenjangan makin lebar. Mereka menyaksikan politik yang hanya menguntungkan elit, sementara aspirasi rakyat dibiarkan hampa. Maka, ketika jalan formal buntu, jalan protes yang keras seringkali menjadi pilihan.
Namun sayangnya, kesadaran politik ini segera dilabeli “anarkisme”. Mereka dikriminalisasi, seolah-olah keberanian bersuara adalah tindak kriminal. Padahal, anak muda yang kritis adalah modal bangsa. Apa jadinya jika setiap suara berbeda dibungkam dengan pasal-pasal hukum?
Demokrasi-Kapitalisme: Ruang Suara yang Palsu
Inilah wajah demokrasi kapitalisme yang sesungguhnya. Sistem ini memberi ruang bagi kebebasan berbicara, tetapi hanya sejauh tidak mengancam kepentingan penguasa dan pemodal.
Begitu kritik tumbuh dan menantang status quo, ia segera dijegal. Label “radikal”, “anarkis”, atau “kriminal” dipasang untuk merusak legitimasi para pengkritik.
Kasus ratusan anak ini adalah contoh nyata.
Daripada mendengar suara mereka, sistem lebih memilih membungkam dengan cara represif. Demokrasi yang katanya menjamin kebebasan, pada praktiknya hanya menoleransi suara yang sejalan. Suara yang melawan, apalagi jika menyentuh akar ketidakadilan struktural, akan segera dihadapi dengan kekerasan negara.
Pemuda sebagai Agen Perubahan
Sejarah membuktikan bahwa pemuda adalah tonggak perubahan. Dari perlawanan kolonial, kebangkitan nasional, hingga reformasi, selalu ada darah muda yang menjadi penggerak. Karena itu, kriminalisasi kesadaran politik generasi muda adalah pembunuhan karakter masa depan bangsa.
Namun, kita juga harus jujur: kesadaran politik anak muda hari ini seringkali tidak punya arah yang jelas. Ia lahir dari kekecewaan, tapi mudah diarahkan pada luapan emosi semata. Akibatnya, aksi yang lahir sering tak lebih dari kericuhan tanpa visi.
Islam menawarkan jalan keluar. Dalam pandangan Islam, pemuda diarahkan bukan hanya untuk kritis, tetapi juga berjuang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
"Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud).
Artinya, bersuara lantang di hadapan penguasa dzalim adalah kewajiban, bukan kriminalitas.
Arah Perubahan Hakiki
Kesadaran politik anak muda tidak boleh dibiarkan liar, apalagi dibungkam. Ia harus diarahkan menuju perubahan yang hakiki.
Islam memandang perubahan bukan sekadar mengganti elit dengan elit, atau partai dengan partai, tapi mengganti sistem rusak dengan sistem yang benar.
Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam membina pemuda dengan pendidikan berbasis aqidah Islam. Dari sinilah lahir generasi yang tangguh: intelektual, berani, namun terikat pada syariat Allah. Kesadaran politik mereka bukan sekadar reaksi emosional, tetapi terarah untuk memperjuangkan ridha Allah, menegakkan keadilan, dan membela umat.
Maka, kriminalisasi kesadaran politik Gen Z sejatinya adalah alarm bagi kita semua. Demokrasi kapitalisme tidak akan pernah melahirkan ruang kebebasan sejati. Justru Islam lah yang menuntun pemuda menjadi agen perubahan hakiki, bukan sekadar korban kriminalisasi.
Penutup
Ratusan anak yang kini berstatus tersangka adalah potret bagaimana negara memperlakukan suara kritis generasi muda. Mereka sedang belajar menyadari politik, tetapi alih-alih dibina, justru dipatahkan.
Jika ini dibiarkan, kita akan kehilangan satu generasi yang seharusnya menjadi tulang punggung perubahan.
Sudah saatnya kita menyadari: yang dibutuhkan bukan demokrasi yang semu, melainkan sistem Islam yang kaffah.
Hanya dengan itu, kesadaran politik pemuda akan menemukan arahnya. Mereka tidak lagi berjuang dalam lingkaran setan kapitalisme, tapi menjadi pejuang sejati untuk menegakkan keadilan dan menggapai ridha Allah.[]
Oleh: Prayudisti SP
(Aktivis Muslimah)