Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kesadaran Politik Gen Z Dikriminalisasi: Saat Suara Muda DibungkamFakta di Lapangan

Minggu, 05 Oktober 2025 | 07:51 WIB Last Updated 2025-10-05T00:51:56Z

TintaSiyasi.id -- Beberapa pekan terakhir, publik dihebohkan dengan berita penetapan ratusan anak sebagai tersangka dalam kerusuhan yang terjadi di sejumlah daerah pada Agustus 2025. Tempo.co (26/9/2025) melaporkan bahwa Polri menetapkan total 959 tersangka kerusuhan, di antaranya 295 adalah anak-anak. Fakta ini jelas mengejutkan, sebab jumlah tersebut tidak kecil dan mencerminkan keterlibatan generasi muda dalam dinamika politik jalanan.

Tak berhenti di situ, Komnas HAM pun memberi peringatan keras. Seperti yang diberitakan Kompas (26/9/2025), Komnas HAM menilai terdapat potensi pelanggaran HAM dalam proses penetapan tersangka terhadap anak-anak. Proses pemeriksaan yang disertai intimidasi, ancaman, hingga minimnya pendampingan hukum menyalahi standar perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Bahkan KPAI menegaskan bahwa penanganan kasus tersebut tidak memenuhi standar perlindungan anak. 

Dari sini muncul pertanyaan, mengapa ketika generasi muda yaitu generasi Z mulai sadar politik dan menyuarakan ketidakadilan, mereka justru diposisikan sebagai kriminal?

Ketika Kesadaran Politik Gen Z Dicap Anarkisme

Fenomena ini mengungkap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kerusuhan. Ia memperlihatkan sebuah pola: kesadaran politik generasi muda yang tumbuh justru dipersempit dengan stigma anarkisme.

Pertama. Gen Z mulai sadar politik dan menuntut perubahan.
Generasi Z adalah mereka yang lahir di era digital, terbiasa dengan informasi instan, dan relatif lebih kritis terhadap isu ketidakadilan. 

Ketika jalan formal politik sering kali dipenuhi kepentingan oligarki, jalan aksi massa menjadi saluran alternatif. Tidak heran jika Gen Z ikut turun ke jalan untuk menyuarakan kegelisahan, baik soal lapangan kerja, biaya pendidikan, maupun kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak.

Kedua. Kesadaran politik dikriminalisasi.
Namun, alih-alih diapresiasi sebagai bagian dari dinamika demokrasi, suara mereka justru dilabeli “anarkis”. Penetapan ratusan anak sebagai tersangka adalah bukti nyata bagaimana kesadaran politik itu dipersempit menjadi kasus hukum.

Inilah bentuk pembungkaman yang halus: bukan dengan menutup ruang publik secara total, tetapi dengan menebarkan rasa takut, melawan kiprah pemuda yang ingin memberikan yang terbaik untuk negerinya. 

Ketiga. Demokrasi kapitalisme dan suara yang dijegal.
Kenyataan ini menunjukkan paradoks demokrasi dalam sistem kapitalisme. Demokrasi sering digadang-gadang sebagai ruang bebas berpendapat. Tetapi faktanya, kebebasan itu hanya berlaku bagi suara yang sejalan dengan penguasa. Ketika kritik dianggap mengancam stabilitas atau kepentingan elite, ruang itu segera ditutup, bahkan lewat kriminalisasi. 

Fenomena kriminalisasi kesadaran politik Gen Z mengingatkan kita pada peran pemuda dalam sejarah bangsa. Pemuda selalu menjadi motor perubahan. Namun, perubahan seperti apa yang seharusnya diarahkan pada generasi muda?

Pertama. Pemuda adalah tonggak perubahan.
Pemuda memiliki energi, idealisme, dan keberanian. Mereka tidak punya banyak kepentingan praktis sehingga relatif lebih tulus dalam memperjuangkan sesuatu. Kesadaran politik pemuda tidak boleh dipadamkan, melainkan diarahkan pada perubahan hakiki.

Perubahan hakiki itu bukan sekadar mengganti wajah penguasa, melainkan mengubah sistem yang menindas menjadi sistem yang adil. Islam kaffah adalah arah yang harus dituju, karena Islam memiliki sistem politik, ekonomi, dan sosial yang berpijak pada kebenaran, bukan pada kepentingan segelintir elite.

Kedua. Islam mewajibkan amar makruf nahi mungkar.

Dalam Islam, pemuda tidak boleh diam ketika melihat kezaliman. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman.”

Mengoreksi penguasa yang dzalim adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Menjadi kritis terhadap pemerintah bukanlah kriminalitas, melainkan kewajiban agama untuk menuju negeri yang baldatun tayyibun waronbun ghofur. 

Ketiga. Islam kaffah dan pembentukan pemuda berkesadaran politik islami.
Islam tidak hanya memotivasi pemuda untuk peduli politik, tetapi juga menyiapkan kerangka pendidikan yang membentuk kesadaran politik islami. Dalam sistem Islam yang paripurna, pendidikan berbasis aqidah Islam akan menanamkan pada pemuda visi perjuangan bukan sekadar menumpahkan emosi dalam bentuk anarkisme, tetapi mengarahkan seluruh energi mereka untuk memperjuangkan ridha Allah.

Dengan begitu, pemuda tidak lagi sekadar menjadi “alat” dalam demonstrasi sporadis yang rawan dimanipulasi. Mereka akan menjadi generasi yang memahami realitas, mengkritik dengan landasan syariah, dan memperjuangkan perubahan yang benar-benar menyejahterakan rakyat. Wallahu a'lam. []


Oleh: Mamik Laelatul I.
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update