“Presiden Prabowo mengatakan hingga September 2025,
penerima manfaat dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah mendekati 30
juta jiwa. Namun demikian Presiden Prabowo mengakui ada kasus keracunan
makanan. Dari data yang diterimanya, penyimpangan dan kesalahan yang terjadi
dalam program MBG besarnya adalah 0,00017 persen,” tutur Kiai Shiddiq mengawali
pendapatnya kepada TintaSiyasi.ID, Sabtu (04/10/2025).
Kesalahan Presiden Prabowo secara
Statistika
“Presiden Prabowo keliru karena menerapkan data
statistika secara tidak semestinya. Data statistika 0,00017 persen itu mungkin
layak diterapkan untuk error yang masih dapat ditoleransi dalam produksi
barang, seperti produksi sepatu misalnya. Tetapi sungguh sangat gila dan tidak
manusiawi kalau data statistik 0,00017persen itu digunakan untuk angka
toleransi yang terkait dengan keselamatan dan nyawa manusia,” ujar Kiai
menyayangkan.
Dalam produksi barang seperti sepatu, ucap Kiai
Shiidiq, memang ada angka persentase untuk menilai sejauh mana error
yang terjadi masih dapat ditoleransi dalam kegiatan produksi sepatu oleh suatu
pabrik. “Angka persentase mengenai error yang dapat ditoleransi itu,
ditentukan oleh apa yang dinamakan Batas Kualitas yang Dapat Diterima (Acceptance
Quality Limit/AQL),” jelasnya.
Kiai Shiddiq menyebutkan contoh persentase AQL yang
umum dalam produk sepatu:
Pertama, cacat kritis (critical
defects): 0 persen (harus zero percent).
Ia mnjelaskan, cacat kritis adalah
cacat yang membahayakan keselamatan pengguna, yang melanggar peraturan, atau
yang membuat produk tidak dapat dipasarkan. Contohnya, paku menonjol dari dalam
sepatu. Toleransi untuk cacat ini adalah nol persen (zero percent). Artinya, kalau
ada satu saja sepasang sepatu bermasalah karena paku di dalam sepatunya
menonjol, maka seluruh produk sepatu harus ditarik dari pasar oleh pabrik
sepatu, atau seluruh produk yang sudah dipesan, dapat dibatalkan oleh pihak
pemesan.
Kedua, cacat mayor (major
defects): 2,5 persen. “Cacat mayor ini adalah cacat yang memengaruhi
kegunaan, daya tahan, atau penampilan produk secara signifikan, sehingga tidak
memenuhi ekspektasi pembeli. Contohnya, jahitan yang salah atau sol yang tidak
menempel dengan baik pada sepatu,” sebutnya.
Ketiga, cacat minor (minor
defects): 4,0 persen. “Cacat minor ini adalah masalah kecil yang tidak
terlalu memengaruhi fungsi produk. Contohnya, pada sepatu ada noda lem yang
sedikit, goresan kecil, atau ketidaksesuaian warna yang tidak terlalu mencolok,”
ujarnya.
“Berdasarkan penjelasan tersebut, sangatlah keliru
Presiden Prabowo karena menerapkan data statistika secara sembarangan dan tidak
semestinya. Data statistika 0,00017 persen itu mungkin layak diterapkan untuk error
yang masih dapat ditoleransi dalam produksi barang, seperti sepatu, bukan error
yang menyangkut keselamatan dan nyawa manusia, seperti MBG. Bahkan dalam
produksi sepatu saja, ada jenis error yang harus zero tolerance
(angkanya harus nol persen), apalagi ini MBG yang menyangkut keselamatan dan
nyawa manusia!” paparnya.
Maka dari itu, Kiai Shiddiq menyatakan, seharusnya
Presiden Prabowo mengadopsi pandangan bahwa toleransi terhadap kasus keracunan
dalam MBG, haruslah nol persen (zero percent), karena kasus keracunan
MBG ini merupakan critical defects (cacat kritis) yang membahayakan
keselamatan dan nyawa manusia. Bayangkan, persentase AQL pada produk sepatu
saja, dengan error yang tergolong critical defects (cacat
kritis/parah), harus nol persen, apalagi keracunan MBG yang menyangkut
keselamatan dan nyawa manusia!.
“Jadi, korban keracunan MBG yang angkanya sudah
mencapai lebih dari 7.000 (tujuh ribu) siswa (per 1 Oktober 2025) menurut situs
www.bbc.com, sangat keliru jika dibandingkan dengan angka 30.000.000
(tiga puluh juta) penerima manfaat dari MBG,” tandasnya.
“Seharusnya, yang benar secara statistika, angka
korban 7.000 siswa tersebut, dibandingkan dengan angka nol persen (zero),
bukan dibandingkan dengan angka 30 juta penerima manfaat MBG. Di sinilah
kekeliruan fatal Presiden Prabowo,” imbuhnya.
Jadi, angka 7.000 siswa yang keracunan MBG tersebut, Menurut
Kiai Shiddiq sesungguhnya sudah terlalu banyak. “Ulangi, sudah terlalu banyak.
Inilah cara pandang yang benar, yaitu angka 7.000 korban keracunan itu sudah
terlalu banyak, karena angka 7.000 itu seharusnya kita bandingkan dengan angka zero
(nol), bukan kita bandingkan dengan angka 30.000.000 jumlah penerima manfaat
MBG. Sungguh tega sekali ada pemimpin yang sebenarnya cerdas, tetapi tega
memanipulasi ilmu statistika hanya untuk membodohi masyarakat dan mengecilkan
persoalan yang besar!” lugasnya.
Kesalahan Presiden Prabowo secara
Syariat
“Pernyataan Presiden Prabowo bahwa kekeliruan program
Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya 0,00017 persen dari 30 juta penerima manfaat,
sungguh tidak dapat diterima juga jika ditinjau dari perspektif syariat Islam.
Hal ini karena pernyataan Presiden Prabowo telah mengecilkan persoalan padahal
persoalan ini persoalan besar karena menyangkut keselamatan dan nyawa manusia,”
bebernya.
Ia membenarkan, sebenarnya sudah tepat pernyataan
Presiden Prabowo seputar kasus keracunan MBG ketika diwawancari di Bandara
Halim Perdanakusuma, hari Sabtu (27/9/2025), sepulangnya dari lawatan ke empat
negara. “Presiden Prabowo waktu itu menyatakan, ‘Ini masalah besar, jadi pasti
ada kekurangan dari awal, tetapi saya juga yakin bahwa kita akan selesaikan
dengan baik.’,” kutipnya.
“Sayangnya Presiden Prabowo sendiri telah
mendekonstruksi dan mendegradasi pernyataan beliau sendiri, hanya dua hari
berselang, dengan mengecilkan kasus keracunan MBG itu. Presiden Prabowo
Subianto mengatakan kasus keracunan akibat program MBG hanya sebesar 0,00017
persen. Klaim itu disampaikan Presiden Prabowo saat beliau berpidato dalam
acara Musyawarah Nasional (Munas) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Hotel
Mulia, Jakarta, Senin (29/9/2025),” terangnya.
Dalam pandangan Islam, Kiai menyatakan jika kasus
keracunan MBG itu sudah seharusnya dianggap persoalan besar, karena menyangkut
keselamatan nyawa manusia. “Ini karena Islam adalah agama yang telah
mengajarkan kewajiban menjaga nyawa manusia (al-muhāfazhah ‘alā an-nafs
al-insāniyyah) sebagai salah satu dari tujuan-tujuan syariat Islam yang
agung (al-maqāshid al-syarī’ah),” tuturnya.
Kiai Shiddiq menerangkan bahwa kewajiban menjaga
jiwa/nyawa manusia ini terbukti dengan banyak dalil syar’i dari
Al-Qur`an dan sunah yang mendasari kewajiban tersebut, di antaranya dua dalil
syar’i sbb:
Pertama, terdapat dalil-dalil syar’i
yang mengharamkan membunuh manusia, termasuk membunuh diri sendiri, sesuai
firman Allah Swt.:
وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Janganlah kamu membunuh orang yang
diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. (QS Al-An’ām: 151).
Firman Allah Swt.:
وَلَا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu
sendiri. Sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisā`; 29).
Kedua, terdapat dalil-dalil syar’i yang
mengharamkan perbuatan yang menimbulkan bahaya (dharar) dalam segala
bentuknya, sebagai manifestasi (mazhāhir) dari prinsip menjaga nyawa
manusia (al-muhāfazhah ‘alā an-nafs al-insāniyyah) itu, walaupun bahaya
(dharar) yang ada tidak sampai menimbulkan kematian manusia. Dalam
masalah ini Nabi saw. telah bersabda:
لاَ ضَرَرَ
وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh menimbulkan bahaya untuk
diri sendiri (dharar) maupun bahaya bagi orang lain (dhirār). (HR. Ibnu Majah, no. 2340;
Al-Baihaqi, no. 11.999; Al-Daraquthni, 3/77; Al-Hakim, no. 2345. Hadits
shahih).
Kiai menegaskan, berdasarkan prinsip ajaran Islam yang
sangat menghargai keselamatan dan nyawa manusia tersebut (al-muhāfazhah ‘alā
an-nafs al-insāniyyah), maka menurut kami, sikap yang seharusnya diambil
pemerintah terkait kasus keracunan MBG adalah: menghentikan semua program MBG
tanpa kecuali, sesuai dengan kaidah fikih Islam yang berbunyi:
دُرْءُ
الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak mafsadat/kerusakan (dengan menghentikan MBG)
harus diutamakan/dikedepankan daripada meraih kemaslahatan/manfaat (dengan
melaksanakan MBG).” (‘Izzuddin bin ‘Abdis Salām, Qawā’idul Ahkām fī Mashālih
Al-Anām, Juz I, hlm. 98).
Lanjut dikatakan, Kiai Shiidiq memberikan dua solusi,
yaitu mengubah program MBG itu dengan program lain dengan tujuan yang sama,
yaitu memberikan makanan bergizi kepada siswa, melalui cara-cara yang aman dan
tidak mengandung potensi bahaya, misalnya:
(1) Dana MBG dialihkan menjadi
pembagian uang tunai untuk membeli makanan bergizi bagi setiap siswa.
(2) Makanan MBG tidak disediakan oleh
SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi/dapur MBG), melainkan disediakan oleh kantin
sekolah, atau solusi-solusi lain yang lebih aman daripada MBG yang selama ini
terbukti secara meyakinkan telah meracuni lebih dari 7.000 siswa yang tak
berdosa. Wallāhu a’lam.[] Rere