Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kiai Shiddiq Menyoroti MBG: Antara Persentase Statistik dan Nyawa Anak Bangsa

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 06:48 WIB Last Updated 2025-10-03T23:48:39Z

TintaSiyasi.id -- Pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut angka keracunan makanan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) sangatlah kecil, yakni 0,00017 persen dari 30 juta jiwa penerima manfaat program tersebut, ditanggapi serius oleh Ahli Fikih Islam K.H. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. melalui rilisnya, Jumat (03/10/2025).

 

“Presiden Prabowo mengatakan hingga September 2025, penerima manfaat dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah mendekati 30 juta jiwa. Namun demikian Presiden Prabowo mengakui ada kasus keracunan makanan. Dari data yang diterimanya, penyimpangan dan kesalahan yang terjadi dalam program MBG besarnya adalah 0,00017 persen,” tutur Kiai Shiddiq mengawali pendapatnya kepada TintaSiyasi.ID, Sabtu (04/10/2025).

 

Kesalahan Presiden Prabowo secara Statistika

 

“Presiden Prabowo keliru karena menerapkan data statistika secara tidak semestinya. Data statistika 0,00017 persen itu mungkin layak diterapkan untuk error yang masih dapat ditoleransi dalam produksi barang, seperti produksi sepatu misalnya. Tetapi sungguh sangat gila dan tidak manusiawi kalau data statistik 0,00017persen itu digunakan untuk angka toleransi yang terkait dengan keselamatan dan nyawa manusia,” ujar Kiai menyayangkan.

 

Dalam produksi barang seperti sepatu, ucap Kiai Shiidiq, memang ada angka persentase untuk menilai sejauh mana error yang terjadi masih dapat ditoleransi dalam kegiatan produksi sepatu oleh suatu pabrik. “Angka persentase mengenai error yang dapat ditoleransi itu, ditentukan oleh apa yang dinamakan Batas Kualitas yang Dapat Diterima (Acceptance Quality Limit/AQL),” jelasnya.

 

Kiai Shiddiq menyebutkan contoh persentase AQL yang umum dalam produk sepatu:

 

Pertama, cacat kritis (critical defects): 0 persen (harus zero percent).

 

Ia mnjelaskan, cacat kritis adalah cacat yang membahayakan keselamatan pengguna, yang melanggar peraturan, atau yang membuat produk tidak dapat dipasarkan. Contohnya, paku menonjol dari dalam sepatu. Toleransi untuk cacat ini adalah nol persen (zero percent). Artinya, kalau ada satu saja sepasang sepatu bermasalah karena paku di dalam sepatunya menonjol, maka seluruh produk sepatu harus ditarik dari pasar oleh pabrik sepatu, atau seluruh produk yang sudah dipesan, dapat dibatalkan oleh pihak pemesan.

 

Kedua, cacat mayor (major defects): 2,5 persen. “Cacat mayor ini adalah cacat yang memengaruhi kegunaan, daya tahan, atau penampilan produk secara signifikan, sehingga tidak memenuhi ekspektasi pembeli. Contohnya, jahitan yang salah atau sol yang tidak menempel dengan baik pada sepatu,” sebutnya.

 

Ketiga, cacat minor (minor defects): 4,0 persen. “Cacat minor ini adalah masalah kecil yang tidak terlalu memengaruhi fungsi produk. Contohnya, pada sepatu ada noda lem yang sedikit, goresan kecil, atau ketidaksesuaian warna yang tidak terlalu mencolok,” ujarnya.  

 

“Berdasarkan penjelasan tersebut, sangatlah keliru Presiden Prabowo karena menerapkan data statistika secara sembarangan dan tidak semestinya. Data statistika 0,00017 persen itu mungkin layak diterapkan untuk error yang masih dapat ditoleransi dalam produksi barang, seperti sepatu, bukan error yang menyangkut keselamatan dan nyawa manusia, seperti MBG. Bahkan dalam produksi sepatu saja, ada jenis error yang harus zero tolerance (angkanya harus nol persen), apalagi ini MBG yang menyangkut keselamatan dan nyawa manusia!” paparnya.

 

Maka dari itu, Kiai Shiddiq menyatakan, seharusnya Presiden Prabowo mengadopsi pandangan bahwa toleransi terhadap kasus keracunan dalam MBG, haruslah nol persen (zero percent), karena kasus keracunan MBG ini merupakan critical defects (cacat kritis) yang membahayakan keselamatan dan nyawa manusia. Bayangkan, persentase AQL pada produk sepatu saja, dengan error yang tergolong critical defects (cacat kritis/parah), harus nol persen, apalagi keracunan MBG yang menyangkut keselamatan dan nyawa manusia!.

 

“Jadi, korban keracunan MBG yang angkanya sudah mencapai lebih dari 7.000 (tujuh ribu) siswa (per 1 Oktober 2025) menurut situs www.bbc.com, sangat keliru jika dibandingkan dengan angka 30.000.000 (tiga puluh juta) penerima manfaat dari MBG,” tandasnya.

 

“Seharusnya, yang benar secara statistika, angka korban 7.000 siswa tersebut, dibandingkan dengan angka nol persen (zero), bukan dibandingkan dengan angka 30 juta penerima manfaat MBG. Di sinilah kekeliruan fatal Presiden Prabowo,” imbuhnya.

 

Jadi, angka 7.000 siswa yang keracunan MBG tersebut, Menurut Kiai Shiddiq sesungguhnya sudah terlalu banyak. “Ulangi, sudah terlalu banyak. Inilah cara pandang yang benar, yaitu angka 7.000 korban keracunan itu sudah terlalu banyak, karena angka 7.000 itu seharusnya kita bandingkan dengan angka zero (nol), bukan kita bandingkan dengan angka 30.000.000 jumlah penerima manfaat MBG. Sungguh tega sekali ada pemimpin yang sebenarnya cerdas, tetapi tega memanipulasi ilmu statistika hanya untuk membodohi masyarakat dan mengecilkan persoalan yang besar!” lugasnya.

 

Kesalahan Presiden Prabowo secara Syariat

 

“Pernyataan Presiden Prabowo bahwa kekeliruan program Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya 0,00017 persen dari 30 juta penerima manfaat, sungguh tidak dapat diterima juga jika ditinjau dari perspektif syariat Islam. Hal ini karena pernyataan Presiden Prabowo telah mengecilkan persoalan padahal persoalan ini persoalan besar karena menyangkut keselamatan dan nyawa manusia,” bebernya.

 

Ia membenarkan, sebenarnya sudah tepat pernyataan Presiden Prabowo seputar kasus keracunan MBG ketika diwawancari di Bandara Halim Perdanakusuma, hari Sabtu (27/9/2025), sepulangnya dari lawatan ke empat negara. “Presiden Prabowo waktu itu menyatakan, ‘Ini masalah besar, jadi pasti ada kekurangan dari awal, tetapi saya juga yakin bahwa kita akan selesaikan dengan baik.’,” kutipnya.

 

“Sayangnya Presiden Prabowo sendiri telah mendekonstruksi dan mendegradasi pernyataan beliau sendiri, hanya dua hari berselang, dengan mengecilkan kasus keracunan MBG itu. Presiden Prabowo Subianto mengatakan kasus keracunan akibat program MBG hanya sebesar 0,00017 persen. Klaim itu disampaikan Presiden Prabowo saat beliau berpidato dalam acara Musyawarah Nasional (Munas) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Hotel Mulia, Jakarta, Senin (29/9/2025),” terangnya.

 

Dalam pandangan Islam, Kiai menyatakan jika kasus keracunan MBG itu sudah seharusnya dianggap persoalan besar, karena menyangkut keselamatan nyawa manusia. “Ini karena Islam adalah agama yang telah mengajarkan kewajiban menjaga nyawa manusia (al-muhāfazhah ‘alā an-nafs al-insāniyyah) sebagai salah satu dari tujuan-tujuan syariat Islam yang agung (al-maqāshid al-syarī’ah),” tuturnya.

 

Kiai Shiddiq menerangkan bahwa kewajiban menjaga jiwa/nyawa manusia ini terbukti dengan banyak dalil syar’i dari Al-Qur`an dan sunah yang mendasari kewajiban tersebut, di antaranya dua dalil syar’i sbb:

 

Pertama, terdapat dalil-dalil syar’i yang mengharamkan membunuh manusia, termasuk membunuh diri sendiri, sesuai firman Allah Swt.:

 

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

 

Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. (QS Al-An’ām: 151).

 

Firman Allah Swt.:

 

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

 

Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisā`; 29).

 

Kedua, terdapat dalil-dalil syar’i yang mengharamkan perbuatan yang menimbulkan bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, sebagai manifestasi (mazhāhir) dari prinsip menjaga nyawa manusia (al-muhāfazhah ‘alā an-nafs al-insāniyyah) itu, walaupun bahaya (dharar) yang ada tidak sampai menimbulkan kematian manusia. Dalam masalah ini Nabi saw. telah bersabda:

 

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

 

Tidak boleh menimbulkan bahaya untuk diri sendiri (dharar) maupun bahaya bagi orang lain (dhirār). (HR. Ibnu Majah, no. 2340; Al-Baihaqi, no. 11.999; Al-Daraquthni, 3/77; Al-Hakim, no. 2345. Hadits shahih).

 

Kiai menegaskan, berdasarkan prinsip ajaran Islam yang sangat menghargai keselamatan dan nyawa manusia tersebut (al-muhāfazhah ‘alā an-nafs al-insāniyyah), maka menurut kami, sikap yang seharusnya diambil pemerintah terkait kasus keracunan MBG adalah: menghentikan semua program MBG tanpa kecuali, sesuai dengan kaidah fikih Islam yang berbunyi:

 

دُرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

 

“Menolak mafsadat/kerusakan (dengan menghentikan MBG) harus diutamakan/dikedepankan daripada meraih kemaslahatan/manfaat (dengan melaksanakan MBG).” (‘Izzuddin bin ‘Abdis Salām, Qawā’idul Ahkām fī Mashālih Al-Anām, Juz I, hlm. 98).

 

Lanjut dikatakan, Kiai Shiidiq memberikan dua solusi, yaitu mengubah program MBG itu dengan program lain dengan tujuan yang sama, yaitu memberikan makanan bergizi kepada siswa, melalui cara-cara yang aman dan tidak mengandung potensi bahaya, misalnya:


(1) Dana MBG dialihkan menjadi pembagian uang tunai untuk membeli makanan bergizi bagi setiap siswa.


(2) Makanan MBG tidak disediakan oleh SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi/dapur MBG), melainkan disediakan oleh kantin sekolah, atau solusi-solusi lain yang lebih aman daripada MBG yang selama ini terbukti secara meyakinkan telah meracuni lebih dari 7.000 siswa yang tak berdosa. Wallāhu a’lam.[] Rere

 

 

Opini

×
Berita Terbaru Update