Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Baik dan Halal: Syarat Diterimanya Amal di Sisi Allah

Selasa, 14 Oktober 2025 | 11:26 WIB Last Updated 2025-10-14T19:24:11Z

TintaSiyasi.id -- Pendahuluan: Amal Tidak Dinilai dari Banyaknya, Tetapi dari Mutunya

Dalam kehidupan yang serba cepat dan materialistik ini, banyak orang berlomba memperbanyak amal. Namun, sedikit yang benar-benar menaruh perhatian pada kualitas amal di hadapan Allah. Padahal, dalam pandangan Islam, bukan jumlah amal yang menjadi ukuran utama, melainkan kebersihan sumbernya dan kemurnian niatnya.
Ungkapan “Baik dan Halal adalah syarat diterimanya amal” sesungguhnya mengandung kedalaman makna yang luar biasa. Ia menjadi kompas spiritual bagi setiap mukmin dalam menjalani kehidupan — agar setiap langkah, usaha, dan ibadahnya bernilai di sisi Allah, bukan sekadar menjadi aktivitas kosong tanpa makna ukhrawi.

1. Allah Hanya Menerima yang Baik
Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits sahih:
"Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik."
(HR. Muslim)
Hadits ini bukan hanya nasihat moral, tetapi prinsip dasar dalam seluruh amal perbuatan seorang Muslim. Amal ibadah, sedekah, bahkan doa, hanya akan diterima bila bersumber dari sesuatu yang halal, bersih, dan suci.
Kebaikan amal tidak bisa dipisahkan dari sumber rezeki yang halal. Shalat malam seseorang yang dibiayai dari hasil riba atau korupsi tidak akan mengundang ridha Allah. Sedekah dari hasil yang haram tidak akan menjadi amal jariyah, melainkan beban dosa yang terus menggelinding.
Para ulama salaf sering berkata,
“Siapa yang ingin doanya mustajab dan amalnya diterima, maka sucikanlah sumber rezekinya.”

2. Halal Adalah Pondasi Ibadah
Kehalalan bukan sekadar status hukum; ia adalah energi spiritual yang memberi kehidupan pada amal. Harta yang halal melahirkan hati yang tenang, doa yang menembus langit, dan ibadah yang diterima di sisi Allah.
Rasulullah ﷺ pernah menceritakan kisah seseorang yang berdoa sungguh-sungguh:
"Seorang laki-laki yang telah lama bepergian, rambutnya kusut dan berdebu, menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata: 'Ya Rabb, Ya Rabb,' padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"
(HR. Muslim)
Betapa dalam pesan hadits ini: bahkan doa yang paling tulus pun tidak akan sampai bila hati dan tubuh disuapi dengan yang haram. Maka, kehalalan rezeki adalah syarat sah batinnya amal ibadah.

3. Baik: Ruh dari Amal yang Diterima
Selain halal, amal harus baik — dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan benar sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ.
Dua syarat utama amal diterima di sisi Allah adalah:
1. Ikhlas – hanya karena Allah, bukan untuk dipuji atau dilihat manusia.
2. Mutaba‘ah – mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ dalam tata cara dan niatnya.
Tanpa keikhlasan, amal menjadi kosong dari nilai. Tanpa mengikuti sunnah, amal menjadi tertolak. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Barang siapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, amal yang baik bukan hanya yang tampak indah di mata manusia, tetapi yang bersih dari riya, sombong, dan kesalahan niat.

4. Amal yang Baik dan Halal Menumbuhkan Keberkahan
Ketika seseorang beramal dengan harta halal dan hati yang ikhlas, maka amal itu melahirkan keberkahan yang luas — tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masyarakat.
Rezeki yang halal menumbuhkan generasi yang jujur. Sedekah yang baik membuka pintu rahmat bagi lingkungan. Amal yang suci memperkuat ikatan spiritual antara hamba dan Tuhannya.
Inilah rahasia dari kalimat dalam Al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
(QS. Al-Baqarah: 172)
Allah mengaitkan perintah memakan yang halal dengan perintah untuk bersyukur dan beribadah. Karena ibadah sejati hanya lahir dari hati yang disucikan oleh makanan dan harta yang halal.

5. Bahaya Amal yang Tidak Halal
Amal yang bersumber dari yang haram bagaikan pohon yang tumbuh di atas tanah yang kering dan beracun. Ia tampak hidup di permukaan, tetapi tidak berbuah dan akhirnya mati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tidaklah tumbuh daging dari sesuatu yang haram melainkan neraka lebih pantas baginya."
(HR. Tirmidzi)
Ayat dan hadits ini mengajarkan bahwa ketidakhati-hatian dalam mencari nafkah bukanlah urusan kecil. Ia bisa menghapus nilai ibadah yang tampak besar. Maka, mencari yang halal bukan hanya kebutuhan ekonomi, melainkan ibadah spiritual yang menentukan nasib akhirat.

6. Cermin Bagi Diri: Apakah Amal Kita Sudah Baik dan Halal?
Sebelum menilai orang lain, mari kita bercermin:
Apakah sedekah kita dari rezeki yang benar-benar bersih?
Apakah ibadah kita dilakukan dengan hati yang tulus tanpa riya?
Apakah pekerjaan kita membawa manfaat dan tidak merugikan orang lain?
Jika jawabannya belum sepenuhnya iya, maka masih ada ruang untuk memperbaiki diri. Karena jalan menuju amal yang diterima adalah jalan penyucian hati dan rezeki. Dan penyucian itu adalah tanda keimanan yang hidup.

Penutup: Jalan Menuju Amal yang Diterima
Diterimanya amal bukan karena besar atau kecilnya, tetapi karena halal sumbernya dan baik pelaksanaannya. Amal yang baik dan halal akan menjadi cahaya di dunia, penolong di alam kubur, dan pelindung di hari kiamat.
Mari kita jadikan prinsip ini pedoman hidup:
“Jadikan halal sebagai fondasi amalmu, dan jadikan kebaikan sebagai ruh amalmu.”
Sebab pada akhirnya, yang akan sampai kepada Allah bukanlah bentuk amal, melainkan hati yang bersih, ikhlas, dan rezeki yang disucikan.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)

Refleksi Akhir
Ketika umat Islam benar-benar memahami makna “Baik dan Halal sebagai syarat diterimanya amal”, maka dunia akan dipenuhi keberkahan. Bisnis menjadi ibadah, profesi menjadi ladang pahala, dan kehidupan sehari-hari menjadi jalan menuju surga.
Inilah peradaban yang dibangun di atas kejujuran, kesucian, dan kebaikan — peradaban yang diridhai oleh Allah, di dunia dan akhirat.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.  (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana  UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update