Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Runtuhnya Ponpes di Sidoarjo, HILMI: Takdir Bukan Dalih tetapi Cermin Kelemahan Iman, Ilmu, dan Sistem

Selasa, 14 Oktober 2025 | 20:00 WIB Last Updated 2025-10-14T13:00:55Z

TintaSiyasi.id -- Runtuhnya bangunan pondok pesantren di Sidoarjo disikapi oleh Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) bahwa takdir bukanlah dalih, melainkan cermin yang memantulkan kelemahan iman, ilmu, dan sistem yang belum selaras.

 

“Akhirnya, musibah ini memang takdir Allah. Kita wajib ikhlas, tetapi takdir bukan untuk dijadikan dalih, melainkan cermin. Ia memantulkan kelemahan iman, ilmu, dan sistem yang belum selaras,” sebut HILMI di dalam Intellectual Opinion No. 021, Senin (13/10/2025).

 

HILMI menyatakan, jika takdir dipahami secara benar, maka keimanan akan menumbuhkan tanggung jawab. “Dari individu lahir kesadaran akan amanah ilmu. Dari masyarakat tumbuh budaya berpikir dan akuntabilitas. Dari negara terbangun sistem yang melindungi kehidupan,” beber HILMI.

 

“Takdir bukan untuk membuat kita diam, tetapi untuk mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan hukum-Nya agar manusia belajar darinya. Dengan memahami sunatullah, memperbaiki sistem, dan menegakkan keadilan, kita tidak sekadar ikhlas dan bersabar atas musibah — kita menunaikan iman dalam bentuk yang paling nyata: tanggung jawab ikhtiar kolektif,” terang HILMI.

 

Lanjut HILMI, runtuhnya bangunan pondok pesantren di Sidoarjo yang menelan korban jiwa mengguncang nurani banyak orang. “Namun yang menarik perhatian bukan hanya musibahnya, melainkan juga pernyataan sang pimpinan pondok, ‘Saya kira memang ini takdir dari Allah. Jadi semuanya harus bisa bersabar, dan mudah-mudahan diberi ganti yang lebih baik.’,” kutip HILMI.

 

“Ungkapan ini terdengar menenangkan, bahkan tampak penuh keimanan. Tetapi di baliknya tersimpan persoalan mendasar: bagaimana umat Islam memahami “takdir” dalam konteks hukum alam dan tanggung jawab manusia? Apakah setiap musibah cukup disikapi dengan kata “sabar”, atau justru menjadi alarm bagi kesalahan sistem yang harus dibenahi?” tutur HILMI.

 

Takdir dan Sunatullah

 

HILMI menerangkan, dalam ajaran Islam, takdir bukan sekadar keputusan gaib yang menimpa manusia tanpa sebab. “Ia adalah wujud dari hukum Allah yang berlaku tetap, disebut sunatullah. Allah telah menetapkan keteraturan alam: gravitasi, kekuatan material, keseimbangan struktur, dan hukum mekanika. Bila hukum-hukum ini diabaikan, kehancuran menjadi konsekuensi pasti. Kutipan QS al-Fath: 23 berbunyi, ‘Itulah sunatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunatullah itu.’,” kata HILMI.

 

“Artinya, saat bangunan roboh karena salah hitung struktur, bahan tak sesuai spec, atau pengawasan lalai, maka keruntuhan itu bukan kebetulan, tetapi akibat langsung pelanggaran terhadap sunatullah. Menyebutnya “takdir Allah” memang benar, tetapi bukan berarti Allah meniadakan sebab-akibat, namun karena manusia sendiri mengabaikan hukum-Nya,” ulas HILMI

 

“Sayangnya, banyak yang memahami takdir secara fatalistik, seolah Allah menentukan tanpa keterlibatan manusia. Padahal, tauhid justru menuntut pengakuan bahwa hukum alam adalah bagian dari kehendak Allah. Melanggar hukum itu berarti menentang sunatullah,” tandas HILMI.

 

Peran Individu: Amanah dan Ikhtiar

 

Musibah, jelas HILMI, mestinya jadi cermin bagi setiap Muslim, khususnya yang memimpin lembaga pendidikan. Nabi bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari-Muslim).

 

“Artinya, pimpinan pesantren memiliki tanggung jawab moral, profesional, dan spiritual untuk memastikan keselamatan santrinya. Ketika membangun fasilitas publik seperti asrama, ruang belajar, atau masjid, maka prinsip-prinsip ilmu teknik, keselamatan, dan pengawasan wajib dijalankan. Mengabaikannya bukan sekadar mal-administratif, [tetapi] pelanggaran Amanah,” ungkap HILMI.

 

Dalam Fikih Islam dikenal konsep dhamān — kewajiban menanggung akibat kelalaian yang menimbulkan kerugian. “Maka, iman kepada takdir bukan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab, tetapi pengingat bahwa setiap tindakan akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat,” urai HILMI.

 

“Individu beriman tidak hanya berkata “ini takdir Allah”, melainkan berkata “ini akibat dari kelalaian kita melanggar sunatullah.” Keimanan sejati justru mendorong manusia belajar, memperbaiki diri, dan mencegah mudarat. Sebab iman tanpa ikhtiar adalah kejumudan, dan takdir tanpa tanggung jawab adalah kekeliruan teologis,” lugas HILMI.

 

Peran Budaya: Opini Publik dan Fatalisme Kolektif

 

“Di luar tanggung jawab pribadi, kita menghadapi problem budaya yang serius: fatalisme kolektif. Setiap kali bencana, narasi yang muncul di ruang publik cenderung seragam — “ini cobaan”, “ini ujian”, “mari bersabar dan ikhlas”. Kalimat itu meneduhkan, tetapi seringkali juga menumpulkan kesadaran kritis. Masyarakat terbiasa menenangkan diri, bukan mencari sebab dan memperbaiki sistem,” tutur HILMI.

 

Padahal, menurut HILMI, Islam mendorong umatnya untuk berpikir sebab-akibat. “Al-Qur’an dengan tegas menyatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.’,” nukil HILMI dari Al-Qur’an surah ar-Ra‘d ayat 11.

 

“Budaya fatalistik ini berakar dari pandangan yang memisahkan iman dan ilmu. Dalam banyak kasus, rasa tabu untuk “mengkritik” dianggap bagian kesabaran. Padahal, sabar yang benar adalah tetap tenang sambil memperjuangkan perbaikan. Sabar bukan lalu diam,” tambah HILMI menerangkan.

 

Dalam rilisnya, HILMI juga menyebut perlunya ikhtiar kolektif berupa opini publik yang sehat — yang memahami iman tidak meniadakan akal, dan tawakal tidak berarti pasrah pada kesalahan. “Ulama, akademisi, dan media bertanggung jawab besar membentuk kesadaran baru: bahwa mengkritisi kelalaian bukan berarti melecehkan takdir atau menghina keikhlasan, tetapi justru menghormati hukum Allah yang rasional,” lugas HILMI.

 

“Dalam sejarah Islam, pengawasan sosial atau hisbah adalah bagian dari ibadah. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, ‘Seandainya seekor keledai mati di Irak karena jalan rusak, aku khawatir Allah akan menuntutku.’ Itulah iman yang melahirkan akuntabilitas publik,” imbuh HILMI.

 

Peran Negara: Menegakkan Sistem yang Adil

 

HILMI mengatakan, aspek ketiga — dan paling menentukan — adalah peran negara. Negara memiliki amanah besar dalam melindungi jiwa warganya. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin adalah pengurus, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

 

“Pernyataan belasungkawa dan kunjungan pejabat ke lokasi bencana adalah wujud empati, tetapi belum cukup. Negara harus memastikan bahwa setiap bangunan publik, memenuhi standar keselamatan. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperkuat regulasi dan pengawasan konstruksi. Sertifikasi teknis bagi bangunan pendidikan harus diwajibkan. Pengawasan tak boleh hanya administratif, tetapi juga teknis dan berkala. Jika ditemukan unsur kelalaian, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” sebut HILMI lagi.

 

Lebih jauh, HILMI menegaskan, negara harus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keselamatan struktural. “Pesantren tidak boleh dianggap bangunan “sederhana” yang dibangun swadaya, karena di dalamnya terdapat nyawa manusia dan masa depan generasi muda. Sistem pendidikan Islam justru harus menjadi teladan penerapan ilmu dan etika professional,” HILMI menyarankan.

 

“Negara yang menegakkan keadilan struktural bukan berarti melawan takdir, tetapi menegakkan amanah Allah melalui sistem yang benar. Sebab hukum yang ditegakkan adil adalah bagian dari ibadah sosial,” pungkas HILMI.[] Rere

 

Opini

×
Berita Terbaru Update