TintaSiyasi.id -- Runtuhnya bangunan pondok pesantren di Sidoarjo disikapi oleh Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) bahwa takdir bukanlah dalih, melainkan cermin yang memantulkan kelemahan iman, ilmu, dan sistem yang belum selaras.
“Akhirnya, musibah ini memang takdir
Allah. Kita wajib ikhlas, tetapi takdir bukan untuk dijadikan dalih, melainkan cermin.
Ia memantulkan kelemahan iman, ilmu, dan sistem yang belum selaras,” sebut
HILMI di dalam Intellectual Opinion No. 021, Senin (13/10/2025).
HILMI menyatakan, jika takdir dipahami
secara benar, maka keimanan akan menumbuhkan tanggung jawab. “Dari individu
lahir kesadaran akan amanah ilmu. Dari masyarakat tumbuh budaya berpikir dan
akuntabilitas. Dari negara terbangun sistem yang melindungi kehidupan,” beber
HILMI.
“Takdir bukan untuk membuat kita
diam, tetapi untuk mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan hukum-Nya agar
manusia belajar darinya. Dengan memahami sunatullah, memperbaiki sistem, dan
menegakkan keadilan, kita tidak sekadar ikhlas dan bersabar atas musibah — kita
menunaikan iman dalam bentuk yang paling nyata: tanggung jawab ikhtiar kolektif,”
terang HILMI.
Lanjut HILMI, runtuhnya bangunan
pondok pesantren di Sidoarjo yang menelan korban jiwa mengguncang nurani banyak
orang. “Namun yang menarik perhatian bukan hanya musibahnya, melainkan juga
pernyataan sang pimpinan pondok, ‘Saya kira memang ini takdir dari Allah. Jadi
semuanya harus bisa bersabar, dan mudah-mudahan diberi ganti yang lebih baik.’,”
kutip HILMI.
“Ungkapan ini terdengar menenangkan,
bahkan tampak penuh keimanan. Tetapi di baliknya tersimpan persoalan mendasar:
bagaimana umat Islam memahami “takdir” dalam konteks hukum alam dan tanggung
jawab manusia? Apakah setiap musibah cukup disikapi dengan kata “sabar”, atau
justru menjadi alarm bagi kesalahan sistem yang harus dibenahi?” tutur HILMI.
Takdir dan Sunatullah
HILMI menerangkan, dalam ajaran
Islam, takdir bukan sekadar keputusan gaib yang menimpa manusia tanpa sebab. “Ia
adalah wujud dari hukum Allah yang berlaku tetap, disebut sunatullah. Allah
telah menetapkan keteraturan alam: gravitasi, kekuatan material, keseimbangan
struktur, dan hukum mekanika. Bila hukum-hukum ini diabaikan, kehancuran
menjadi konsekuensi pasti. Kutipan QS al-Fath: 23 berbunyi, ‘Itulah sunatullah
yang telah berlaku sejak dahulu, dan engkau tidak akan menemukan perubahan pada
sunatullah itu.’,” kata HILMI.
“Artinya, saat bangunan roboh karena
salah hitung struktur, bahan tak sesuai spec, atau pengawasan lalai,
maka keruntuhan itu bukan kebetulan, tetapi akibat langsung pelanggaran
terhadap sunatullah. Menyebutnya “takdir Allah” memang benar, tetapi bukan
berarti Allah meniadakan sebab-akibat, namun karena manusia sendiri mengabaikan
hukum-Nya,” ulas HILMI
“Sayangnya, banyak yang memahami
takdir secara fatalistik, seolah Allah menentukan tanpa keterlibatan manusia.
Padahal, tauhid justru menuntut pengakuan bahwa hukum alam adalah bagian dari
kehendak Allah. Melanggar hukum itu berarti menentang sunatullah,” tandas HILMI.
Peran Individu: Amanah dan Ikhtiar
Musibah, jelas HILMI, mestinya jadi cermin
bagi setiap Muslim, khususnya yang memimpin lembaga pendidikan. Nabi bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari-Muslim).
“Artinya, pimpinan pesantren memiliki
tanggung jawab moral, profesional, dan spiritual untuk memastikan keselamatan
santrinya. Ketika membangun fasilitas publik seperti asrama, ruang belajar,
atau masjid, maka prinsip-prinsip ilmu teknik, keselamatan, dan pengawasan
wajib dijalankan. Mengabaikannya bukan sekadar mal-administratif,
[tetapi] pelanggaran Amanah,” ungkap HILMI.
Dalam Fikih Islam dikenal konsep dhamān
— kewajiban menanggung akibat kelalaian yang menimbulkan kerugian. “Maka, iman
kepada takdir bukan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab, tetapi
pengingat bahwa setiap tindakan akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan
akhirat,” urai HILMI.
“Individu beriman tidak hanya berkata
“ini takdir Allah”, melainkan berkata “ini akibat dari kelalaian kita melanggar
sunatullah.” Keimanan sejati justru mendorong manusia belajar, memperbaiki
diri, dan mencegah mudarat. Sebab iman tanpa ikhtiar adalah kejumudan, dan
takdir tanpa tanggung jawab adalah kekeliruan teologis,” lugas HILMI.
Peran Budaya: Opini Publik dan
Fatalisme Kolektif
“Di luar tanggung jawab pribadi, kita
menghadapi problem budaya yang serius: fatalisme kolektif. Setiap kali bencana,
narasi yang muncul di ruang publik cenderung seragam — “ini cobaan”, “ini
ujian”, “mari bersabar dan ikhlas”. Kalimat itu meneduhkan, tetapi seringkali
juga menumpulkan kesadaran kritis. Masyarakat terbiasa menenangkan diri, bukan
mencari sebab dan memperbaiki sistem,” tutur HILMI.
Padahal, menurut HILMI, Islam
mendorong umatnya untuk berpikir sebab-akibat. “Al-Qur’an dengan tegas
menyatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.’,” nukil
HILMI dari Al-Qur’an surah ar-Ra‘d ayat 11.
“Budaya fatalistik ini berakar dari
pandangan yang memisahkan iman dan ilmu. Dalam banyak kasus, rasa tabu untuk
“mengkritik” dianggap bagian kesabaran. Padahal, sabar yang benar adalah tetap
tenang sambil memperjuangkan perbaikan. Sabar bukan lalu diam,” tambah HILMI
menerangkan.
Dalam rilisnya, HILMI juga menyebut
perlunya ikhtiar kolektif berupa opini publik yang sehat — yang memahami iman
tidak meniadakan akal, dan tawakal tidak berarti pasrah pada kesalahan. “Ulama,
akademisi, dan media bertanggung jawab besar membentuk kesadaran baru: bahwa
mengkritisi kelalaian bukan berarti melecehkan takdir atau menghina keikhlasan,
tetapi justru menghormati hukum Allah yang rasional,” lugas HILMI.
“Dalam sejarah Islam, pengawasan
sosial atau hisbah adalah bagian dari ibadah. Khalifah Umar bin Khattab
pernah berkata, ‘Seandainya seekor keledai mati di Irak karena jalan rusak, aku
khawatir Allah akan menuntutku.’ Itulah iman yang melahirkan akuntabilitas publik,”
imbuh HILMI.
Peran Negara: Menegakkan Sistem yang
Adil
HILMI mengatakan, aspek ketiga — dan
paling menentukan — adalah peran negara. Negara memiliki amanah besar dalam
melindungi jiwa warganya. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin adalah pengurus,
dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
“Pernyataan belasungkawa dan
kunjungan pejabat ke lokasi bencana adalah wujud empati, tetapi belum cukup.
Negara harus memastikan bahwa setiap bangunan publik, memenuhi standar
keselamatan. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperkuat regulasi dan pengawasan
konstruksi. Sertifikasi teknis bagi bangunan pendidikan harus diwajibkan.
Pengawasan tak boleh hanya administratif, tetapi juga teknis dan berkala. Jika
ditemukan unsur kelalaian, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” sebut
HILMI lagi.
Lebih jauh, HILMI menegaskan, negara
harus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keselamatan struktural. “Pesantren
tidak boleh dianggap bangunan “sederhana” yang dibangun swadaya, karena di
dalamnya terdapat nyawa manusia dan masa depan generasi muda. Sistem pendidikan
Islam justru harus menjadi teladan penerapan ilmu dan etika professional,” HILMI
menyarankan.
“Negara yang menegakkan keadilan
struktural bukan berarti melawan takdir, tetapi menegakkan amanah Allah melalui
sistem yang benar. Sebab hukum yang ditegakkan adil adalah bagian dari ibadah
sosial,” pungkas HILMI.[] Rere
