TintaSiyasi.id -- Post Power Syndrome adalah kondisi psikologis yang sering muncul ketika seseorang kehilangan posisi, jabatan atau kekuasaan yang sebelumnya memberi rasa penting dan diakui. Ia merasa kosong, tidak lagi dibutuhkan, bahkan kehilangan arah hidup. Namun Al-Qur’an telah jauh hari memberi obat hati bagi siapa pun yang mengalaminya.
1. Menyadari Bahwa Kemuliaan Hanya Milik Allah
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah.”
(QS. Fathir: 10).
Jabatan hanyalah titipan, bukan sumber kemuliaan sejati. Saat manusia kehilangan jabatan, ia sesungguhnya hanya dikembalikan pada fitrahnya, yaitu menjadi hamba Allah yang tidak memiliki apa-apa kecuali rahmat dan kasih sayang-Nya.
Ayat ini mengingatkan, bahwa izzah (kehormatan) bukan milik kekuasaan, melainkan milik Allah dan orang-orang beriman yang tetap tawadhu di hadapan-Nya.
2. Hidup Tidak Berakhir Setelah Jabatan Berakhir
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56).
Maka, tujuan hidup sejati bukanlah menjadi pejabat, direktur, atau pemimpin besar. Melainkan menjadi ‘abdullah, hamba Allah yang beribadah dan memberi manfaat.
Setelah masa kekuasaan berakhir, masa pengabdian baru dimulai. Beribadah dengan amal, ilmu, dan kebaikan yang lebih tulus tanpa pamrih dunia.
3. Mengingat Bahwa Dunia Ini Fana dan Sementara
“Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
(QS. Ali ‘Imran: 185).
Ayat ini menjadi rem spiritual bagi jiwa yang goncang kehilangan posisi. Dunia adalah panggung sementara, bukan tempat abadi. Ketika tirai jabatan tertutup, yang tersisa bukan kursi kekuasaan, melainkan nilai dan amal yang ditinggalkan.
4. Menemukan Ketenangan dalam Zikir dan Tafakur
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28).
Ketika kesepian melanda, saat panggilan hormat tak lagi datang, dzikir menjadi sahabat sejati. Mengingat Allah meluruhkan rasa kehilangan, menenangkan kegelisahan, dan menumbuhkan kesadaran bahwa cinta Allah jauh lebih tinggi daripada pujian manusia.
5. Melihat Jabatan sebagai Amanah, Bukan Identitas Diri
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
(QS. An-Nisa’: 58).
Jabatan adalah amanah, bukan identitas.
Ketika amanah itu telah usai, maka yang tersisa adalah tanggung jawab dan hisab di sisi Allah. Maka, orang bijak tidak bersedih ketika jabatan pergi karena yang ia jaga adalah integritas dan keberkahan amalnya.
6. Menyadari Bahwa Fase Hidup Terbaik Adalah Kembali Berbuat untuk Akhirat
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.”
(QS. Al-Qashash: 77).
Ketika masa kekuasaan usai, bukan berarti produktivitas berhenti. Justru saat itulah waktu terbaik untuk fokus membangun amal jariyah: membimbing generasi muda, membangun masjid, menulis, berdakwah, dan memberi manfaat kepada umat.
Renungan Penutup
Kehilangan jabatan bukanlah akhir, tetapi pintu menuju kematangan spiritual.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa harga diri manusia bukan pada posisi yang ia duduki, tetapi pada keteguhan imannya, keikhlasannya, dan manfaatnya bagi sesama.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Thalaq: 2–3).
Maka, obat terbaik post power syndrome adalah takwa, sabar, syukur, dan dzikir.
Sebab, siapa yang hatinya masih hidup dengan iman, tak akan pernah kehilangan makna, sekalipun dunia menanggalkan semua gelarnya.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo