TintaSiyasi.id -- Tragedi memilukan kembali mengguncang dunia pendidikan Islam. Gedung lantai empat Pondok Pesantren Al Khaziny ambruk dan menimpa para santri yang tengah melaksanakan salat Asar di lantai dua. Berdasarkan data BNPB, Minggu (5/10/2025), terhitung pukul 06.30 WIB sampai 12.00 WIB, tim gabungan telah menemukan 12 jenazah dan satu lagi potongan tubuh manusia dari balik reruntuhan bangunan lantai empat musala. Penemuan itu menambah data jumlah korban meninggal dunia menjadi 37 orang dan bagian tubuh menjadi dua potongan. (news.detik.com, 05/10/2025)
Duka mendalam menyelimuti keluarga, masyarakat, dan seluruh umat Islam. Namun di balik kesedihan ini, muncul pertanyaan besar, mengapa peristiwa semacam ini bisa berulang?
Dugaan awal menunjukkan bahwa penyebab utama ambruknya bangunan adalah karena lemahnya konstruksi dan buruknya pengawasan. Bangunan empat lantai yang seharusnya dibangun dengan perhitungan matang justru runtuh hanya dalam hitungan detik. Hal ini memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan teknis terhadap bangunan pendidikan, terutama di lembaga-lembaga keagamaan yang tidak sepenuhnya berada di bawah kendali langsung pemerintah.
Lebih ironis lagi, sebagian besar pondok pesantren di Indonesia dibangun dari hasil swadaya masyarakat berupa sumbangan wali santri, donatur, dan alumni. Keterbatasan dana menyebabkan proses pembangunan sering dilakukan seadanya dengan bahan bangunan murah, tidak ada pengawasan dari tenaga ahli, dan minim standar keamanan. Akibatnya, keselamatan santri yang menempati gedung tersebut menjadi taruhannya.
Tragedi ini menunjukkan satu fakta pahit terkait tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan telah digeser menjadi beban masyarakat. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang berperan besar dalam mencetak generasi berakhlak dan berilmu, justru sering terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan nasional.
Alih-alih menyediakan dana, pemerintah sering menyerahkan sepenuhnya urusan pendirian dan pemeliharaan pesantren kepada pihak yayasan atau masyarakat. Padahal, pendidikan adalah hak dasar warga negara dan tanggung jawab negara secara langsung. Ketika pondok-pondok harus berdiri dengan modal sumbangan, maka standar keselamatan dan mutu pun sulit dijaga.
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu kebutuhan mendasar yang wajib dipenuhi negara bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh membiarkan pendidikan dikelola secara swadaya tanpa dukungan sistemik. Islam mewajibkan negara menyediakan fasilitas pendidikan dengan standar keamanan, kenyamanan, dan kualitas terbaik baik bagi lembaga negeri maupun swasta.
Dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi Al-Islam hlm. 537—538 yang ditulis oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, negara Islam memiliki mekanisme pembiayaan pendidikan. Ada dua sumber pendapatan baitulmal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi dan dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, kewajiban pembiayaan tersebut dibebankan kepada kaum muslim hingga terpenuhi. Dengan pemasukan yang banyak dari baitulmal, negara Islam akan merawat dan merenovasi gedung dan sarana prasarana sekolah agar senantiasa dalam kondisi baik dan layak.
Dengan sistem ini, negara akan memastikan setiap bangunan pendidikan baik pesantren, sekolah umum, maupun madrasah dibangun dengan perencanaan matang, pengawasan ketat, dan standar keselamatan tinggi. Tidak ada alasan bahwa sekolah swasta tidak berhak mendapat perhatian. Dalam Islam, semua lembaga pendidikan yang mencerdaskan umat adalah bagian dari tanggung jawab negara.
Ambruknya gedung Ponpes Al Khaziny bukan sekadar musibah teknis, melainkan potret nyata dari kelalaian sistemik. Negara telah gagal menjalankan amanahnya untuk menjamin keselamatan peserta didik dan menyediakan fasilitas pendidikan yang layak.
Islam menawarkan solusi yang jelas dan menyeluruh yaitu negara bertanggung jawab penuh atas pendidikan rakyat, menyediakan sarana yang aman, bermutu, dan terjangkau bukan membebankan kepada masyarakat. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, tragedi semacam ini dapat dicegah, dan nyawa generasi muda tidak lagi menjadi korban kelalaian sistem yang abai terhadap tanggung jawabnya. Wallahu’alam bish showab.
Oleh: Lia Julianti
Aktivis Dakwah Tamansari Bogor