TintaSiyasi.id -- Pendidik dan Aktivis Muslimah Malaysia Iman Farhana berpendapat bahwa sistem kapitalis yang berakidah sekularisme menjadi penyebab hilangnya ketenangan dalam keluarga Muslim masa kini.
“Sadar atau
tidak, sebenarnya hari ini kita hidup dalam sebuah sistem yang sangat
bertentangan dengan hukum Islam. Sistem itu bernama sistem kapitalis, akidahnya
adalah sekularisme. Sekularisme adalah pemisahan antara agama dengan kehidupan.
Namun, sejauh mana sebenarnya rumah yang kita bangun hari ini benar-benar
mengikuti landasan Islam? Jadi, hilangnya ketenangan ini berpangkal dari
hilangnya Islam dalam rumah itu sendiri,” ujarnya dalam Siri Bicara Muslimah
Online di Facebook Muslimah HTM bertajuk Tatkala Rumah Surga
Berubah Menjadi Neraka, Sabtu (20/09/2025).
Menurut Iman,
setidaknya ada lima ciri utama rumah idaman keluarga Muslim.
Pertama,
rumah sebagai tempat yang tenang, haruslah aman. “Analogi hal ini dengan rumah
yang terancam perampokan. Supaya rumah aman dari perampok, biasanya pemilik
rumah akan melengkapinya dengan sistem keamanan seperti teralis, pagar, banyak
kunci, jenis kunci, hingga kondisi sekeliling rumah. Ini menunjukkan bahwa semua
orang mendambakan rumah yang aman lahir dan batin, serta rela melakukan apa
saja demi menjaganya,” tuturnya.
“Kenapa?
Karena kita tidak akan tenang bila suasana tidak aman. Tetapi saat kita berada
di tempat yang aman, tidak ada kasus (perampokan), kita merasa tenang. Atau
ketika sudah lama tidak ada isu (perampokan), kita pun kembali tenang. Itu soal
keamanan luar, apalagi bila rasa ‘aman’ itu justru semakin pudar dari dalam rumah.
Maka rumah yang sakinah, rumah yang seharusnya kita huni, adalah rumah yang
aman,” jelasnya.
Kedua,
rumah harus menjaga privasi karena itu adalah dasar kehormatan keluarga. “Kehadiran
orang luar secara tetap bisa mengganggu suasana islami di rumah,” jelasnya.
“Asas rumah
adalah suami, istri, dan anak-anak. Tidak tepat jika ada orang lain selain
mereka. Karena semakin banyak orang luar yang tinggal, semakin hilang privasi
kehidupan di dalam rumah,” tegasnya.
Ia
mengingatkan, menjaga privasi penting demi kelancaran pelaksanaan syariat,
khususnya bagi perempuan dan dalam sistem pergaulan keluarga Muslim.
“Terutama
kita sebagai perempuan. Rumah adalah ruang dan peluang untuk membuka sebagian
aurat kita. Bila hanya tinggal bersama keluarga inti—ayah, suami, dan
anak-anak—barulah kita bisa melepas sebagian aurat. Jadi rumah adalah privasi
kita, privasi suami-istri, juga privasi anak laki-laki dan perempuan,” katanya.
Ketiga,
rumah berfungsi sebagai tempat istirahat setelah seharian berjuang di luar.
“Bayangkan,
kita keluar bekerja, mengurus kewajiban, sudah lelah seharian, lalu pulang ke
rumah. Untuk apa? Untuk beristirahat. Tidak ada tempat lain yang seharusnya
lebih baik daripada rumah sebagai tempat beristirahat,” ujarnya.
Keempat,
rumah menjadi sumber kasih sayang yang membangun hubungan antaranggota
keluarga.
“Rumah ini
dihuni orang-orang yang paling sayang pada kita dan tempat tinggal orang yang
sangat kita cintai. Ketika orang-orang saling menyayangi tinggal bersama, hidup
dalam kasih sayang itu menenangkan. Ibu dan ayah saling membantu, saling
bertoleransi, saling memberi dan menerima. Itulah rumah yang kita dambakan,”
jelasnya.
Namun, imbuhnya,
ketenangan rumah bisa berubah jadi neraka bila dipenuhi konflik dan hilangnya
komunikasi.
“Ketika rumah
tangga jadi tempat pertengkaran, kekerasan, hidup dalam tekanan, ibu mengungkit
lelah mencari nafkah, ayah berselingkuh, komunikasi pun hilang, kasih sayang
lenyap. Maka tidak heran bila kini sering terdengar kasus pertengkaran hingga
saling bunuh. Banyak sekarang kasus anak membunuh ibu. Keadaan ini sungguh
mengerikan,” ujarnya memberi contoh realitas masa kini.
Menurutnya,
situasi seperti ini seharusnya tidak terjadi dalam keluarga Muslim karena rumah
sepatutnya menjadi tempat paling damai, dihuni orang yang saling dekat dan
mencintai. “Setiap anggota keluarga sejatinya bukan musuh, tetapi punya
tanggung jawab masing-masing,” ucapnya.
“Tetapi semua
kehilangan perannya, dan inilah kehancuran yang strategis. Bila ibu tidak
mendidik anak-anak, tidak mengingatkan suami akan tujuan rumah, sementara semua
sibuk dengan materialisme, maka rumah itu akan melahirkan anak-anak
materialistis, cinta hedonisme, cinta kebebasan, dan akhirnya bebas melakukan
apa saja,” sambungnya.
Kelima,
rumah adalah madrasah pertama yang membentuk akidah dan akhlak anak.
“Di rumah
inilah kita memperoleh ilmu akidah yang menumbuhkan cinta kepada Allah, cinta
kepada Nabi Muhammad saw.. Rumah yang menjadi madrasah pertama dengan Al-Qur’an
dan sunah sebagai pedoman hidup pasti akan melahirkan rumah yang sakinah,”
tegasnya.
Ia juga
menyoroti hilangnya peran ayah dalam banyak keluarga yang berdampak besar pada
pendidikan anak. “Saat ini kebanyakan ayah hanya dianggap pencari nafkah tanpa
terlibat dalam Pendidikan,” sesalnya.
“Kalau kita
lihat budaya di beberapa tempat, ayah dianggap hanya bekerja mencari uang.
Keterlibatan laki-laki dalam urusan rumah tangga hampir tidak ada. Peran ayah
hilang karena terlalu sibuk bekerja. Kadang karena tekanan sistem sekuler dan
kapitalis, seorang ayah terpaksa bekerja dua hingga tiga pekerjaan demi
keluarga,” bebernya.
Padahal, lanjutnya,
ibu dan ayah sama-sama punya peran penting mendidik. “Ayah seharusnya jadi
teladan bagi anak. Bayangkan, bila anak melihat ayah pulang hanya untuk main video
game, merokok vape, atau nongkrong hingga larut malam. Budaya pendidikan
hilang, suasana mendidik di rumah pun lenyap,” ucapnya dengan nada kecewa.
Lebih jauh,
ia menilai kesalahpahaman tentang standar rumah surga membuat kemaksiatan
dianggap biasa dalam keluarga, merusak nilai-nilai rumah idaman.
“Standar
ketenangan pun bergeser. Orang menganggap tenang itu saat bisa berkumpul dengan
keluarga sambil karaoke, berpelukan dengan sepupu, bercanda bebas, tanpa
menjaga batas syar’i. Semua itu terjadi di rumah yang seharusnya jadi
surga, tetapi malah dipenuhi aktivitas yang tidak mencerminkan surga,” katanya.
Sebagai
penutup, ia berpesan agar orang tua kembali menjalankan peran masing-masing dan
keluarga Muslim perlu keluar dari krisis kekeluargaan dengan mengelola rumah
berdasarkan syariat, bukan sistem sekuler-kapitalis.
“Kalau tidak
mau rumah itu hanya jadi kuburan. Berpeganglah pada Al-Qur’an dan sunah. Kita
tidak boleh jadi orang sekuler. Kita harus mengatur semua urusan hidup dengan
Islam. Kembalikan peran kita, peran ayah, peran ibu. Ibu harus paham tanggung
jawabnya, begitu juga ayah yang seharusnya berfungsi sebagai qawwam,
pelindung keluarga,” tegasnya.[] Aliya Ab Aziz