Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sekularisme Menghilangkan Ketenangan Rumah Keluarga Muslim

Senin, 22 September 2025 | 21:41 WIB Last Updated 2025-09-22T14:41:25Z

TintaSiyasi.id -- Pendidik dan Aktivis Muslimah Malaysia Iman Farhana berpendapat bahwa sistem kapitalis yang berakidah sekularisme menjadi penyebab hilangnya ketenangan dalam keluarga Muslim masa kini.

 

“Sadar atau tidak, sebenarnya hari ini kita hidup dalam sebuah sistem yang sangat bertentangan dengan hukum Islam. Sistem itu bernama sistem kapitalis, akidahnya adalah sekularisme. Sekularisme adalah pemisahan antara agama dengan kehidupan. Namun, sejauh mana sebenarnya rumah yang kita bangun hari ini benar-benar mengikuti landasan Islam? Jadi, hilangnya ketenangan ini berpangkal dari hilangnya Islam dalam rumah itu sendiri,” ujarnya dalam Siri Bicara Muslimah Online di Facebook Muslimah HTM bertajuk Tatkala Rumah Surga Berubah Menjadi Neraka, Sabtu (20/09/2025).

 

Menurut Iman, setidaknya ada lima ciri utama rumah idaman keluarga Muslim.

 

Pertama, rumah sebagai tempat yang tenang, haruslah aman. “Analogi hal ini dengan rumah yang terancam perampokan. Supaya rumah aman dari perampok, biasanya pemilik rumah akan melengkapinya dengan sistem keamanan seperti teralis, pagar, banyak kunci, jenis kunci, hingga kondisi sekeliling rumah. Ini menunjukkan bahwa semua orang mendambakan rumah yang aman lahir dan batin, serta rela melakukan apa saja demi menjaganya,” tuturnya.

 

“Kenapa? Karena kita tidak akan tenang bila suasana tidak aman. Tetapi saat kita berada di tempat yang aman, tidak ada kasus (perampokan), kita merasa tenang. Atau ketika sudah lama tidak ada isu (perampokan), kita pun kembali tenang. Itu soal keamanan luar, apalagi bila rasa ‘aman’ itu justru semakin pudar dari dalam rumah. Maka rumah yang sakinah, rumah yang seharusnya kita huni, adalah rumah yang aman,” jelasnya.

 

Kedua, rumah harus menjaga privasi karena itu adalah dasar kehormatan keluarga. “Kehadiran orang luar secara tetap bisa mengganggu suasana islami di rumah,” jelasnya.

 

“Asas rumah adalah suami, istri, dan anak-anak. Tidak tepat jika ada orang lain selain mereka. Karena semakin banyak orang luar yang tinggal, semakin hilang privasi kehidupan di dalam rumah,” tegasnya.

 

Ia mengingatkan, menjaga privasi penting demi kelancaran pelaksanaan syariat, khususnya bagi perempuan dan dalam sistem pergaulan keluarga Muslim.

 

“Terutama kita sebagai perempuan. Rumah adalah ruang dan peluang untuk membuka sebagian aurat kita. Bila hanya tinggal bersama keluarga inti—ayah, suami, dan anak-anak—barulah kita bisa melepas sebagian aurat. Jadi rumah adalah privasi kita, privasi suami-istri, juga privasi anak laki-laki dan perempuan,” katanya.

 

Ketiga, rumah berfungsi sebagai tempat istirahat setelah seharian berjuang di luar.

 

“Bayangkan, kita keluar bekerja, mengurus kewajiban, sudah lelah seharian, lalu pulang ke rumah. Untuk apa? Untuk beristirahat. Tidak ada tempat lain yang seharusnya lebih baik daripada rumah sebagai tempat beristirahat,” ujarnya.

 

Keempat, rumah menjadi sumber kasih sayang yang membangun hubungan antaranggota keluarga.

 

“Rumah ini dihuni orang-orang yang paling sayang pada kita dan tempat tinggal orang yang sangat kita cintai. Ketika orang-orang saling menyayangi tinggal bersama, hidup dalam kasih sayang itu menenangkan. Ibu dan ayah saling membantu, saling bertoleransi, saling memberi dan menerima. Itulah rumah yang kita dambakan,” jelasnya.

 

Namun, imbuhnya, ketenangan rumah bisa berubah jadi neraka bila dipenuhi konflik dan hilangnya komunikasi.

 

“Ketika rumah tangga jadi tempat pertengkaran, kekerasan, hidup dalam tekanan, ibu mengungkit lelah mencari nafkah, ayah berselingkuh, komunikasi pun hilang, kasih sayang lenyap. Maka tidak heran bila kini sering terdengar kasus pertengkaran hingga saling bunuh. Banyak sekarang kasus anak membunuh ibu. Keadaan ini sungguh mengerikan,” ujarnya memberi contoh realitas masa kini.

 

Menurutnya, situasi seperti ini seharusnya tidak terjadi dalam keluarga Muslim karena rumah sepatutnya menjadi tempat paling damai, dihuni orang yang saling dekat dan mencintai. “Setiap anggota keluarga sejatinya bukan musuh, tetapi punya tanggung jawab masing-masing,” ucapnya.

 

“Tetapi semua kehilangan perannya, dan inilah kehancuran yang strategis. Bila ibu tidak mendidik anak-anak, tidak mengingatkan suami akan tujuan rumah, sementara semua sibuk dengan materialisme, maka rumah itu akan melahirkan anak-anak materialistis, cinta hedonisme, cinta kebebasan, dan akhirnya bebas melakukan apa saja,” sambungnya.

 

Kelima, rumah adalah madrasah pertama yang membentuk akidah dan akhlak anak.

 

“Di rumah inilah kita memperoleh ilmu akidah yang menumbuhkan cinta kepada Allah, cinta kepada Nabi Muhammad saw.. Rumah yang menjadi madrasah pertama dengan Al-Qur’an dan sunah sebagai pedoman hidup pasti akan melahirkan rumah yang sakinah,” tegasnya.

 

Ia juga menyoroti hilangnya peran ayah dalam banyak keluarga yang berdampak besar pada pendidikan anak. “Saat ini kebanyakan ayah hanya dianggap pencari nafkah tanpa terlibat dalam Pendidikan,” sesalnya.

 

“Kalau kita lihat budaya di beberapa tempat, ayah dianggap hanya bekerja mencari uang. Keterlibatan laki-laki dalam urusan rumah tangga hampir tidak ada. Peran ayah hilang karena terlalu sibuk bekerja. Kadang karena tekanan sistem sekuler dan kapitalis, seorang ayah terpaksa bekerja dua hingga tiga pekerjaan demi keluarga,” bebernya.

 

Padahal, lanjutnya, ibu dan ayah sama-sama punya peran penting mendidik. “Ayah seharusnya jadi teladan bagi anak. Bayangkan, bila anak melihat ayah pulang hanya untuk main video game, merokok vape, atau nongkrong hingga larut malam. Budaya pendidikan hilang, suasana mendidik di rumah pun lenyap,” ucapnya dengan nada kecewa.

 

Lebih jauh, ia menilai kesalahpahaman tentang standar rumah surga membuat kemaksiatan dianggap biasa dalam keluarga, merusak nilai-nilai rumah idaman.

 

“Standar ketenangan pun bergeser. Orang menganggap tenang itu saat bisa berkumpul dengan keluarga sambil karaoke, berpelukan dengan sepupu, bercanda bebas, tanpa menjaga batas syar’i. Semua itu terjadi di rumah yang seharusnya jadi surga, tetapi malah dipenuhi aktivitas yang tidak mencerminkan surga,” katanya.

 

 

Sebagai penutup, ia berpesan agar orang tua kembali menjalankan peran masing-masing dan keluarga Muslim perlu keluar dari krisis kekeluargaan dengan mengelola rumah berdasarkan syariat, bukan sistem sekuler-kapitalis.

 

“Kalau tidak mau rumah itu hanya jadi kuburan. Berpeganglah pada Al-Qur’an dan sunah. Kita tidak boleh jadi orang sekuler. Kita harus mengatur semua urusan hidup dengan Islam. Kembalikan peran kita, peran ayah, peran ibu. Ibu harus paham tanggung jawabnya, begitu juga ayah yang seharusnya berfungsi sebagai qawwam, pelindung keluarga,” tegasnya.[] Aliya Ab Aziz

 

 

 

 

 

Opini

×
Berita Terbaru Update