TintaSiyasi.id -- Presiden Prabowo Subianto kembali melakukan reshuffle kabinet untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu kurang dari setahun sejak dilantik pada Oktober 2024. Pada Rabu, 17 September 2025, publik kembali menyaksikan deretan pelantikan pejabat baru. Sebelumnya, reshuffle jilid kedua telah berlangsung pada 8 September 2025. Pola ini menandakan kegamangan yang nyata dalam mengelola pemerintahan, sekaligus memperlihatkan kelemahan struktural dalam sistem yang dianut.
Reshuffle terbaru ini melibatkan posisi penting, Menteri BUMN, Wakil Menteri Kehutanan, Kepala Komunikasi Kantor Presiden, Kepala Staf Kepresidenan, hingga Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Bahkan, beberapa kursi strategis lain seperti Menko Polhukam, Menpora, Wamenaker, dan Wamenkop turut diganti. Alasan formalnya tentu untuk memperkuat pelaksanaan program Asta Cita—delapan program prioritas Presiden yang mencakup ketahanan pangan, pertahanan, penciptaan lapangan kerja, pembangunan manusia, pemerataan ekonomi, transformasi teknologi, serta keadilan sosial.(kompas.com, 17/9/2025)
Namun, bagi rakyat, reshuffle berulang ini hanya terlihat sebagai perombakan wajah tanpa menyentuh akar persoalan. Seperti pepatah, “Ganti baju tapi tetap tubuh yang sama.” Persoalan mendasar negeri ini tidak terletak pada siapa yang duduk di kursi menteri, tetapi pada sistem yang melandasi cara mereka bekerja.
Sistem Kapitalisme: Mesin Rusak yang Dipaksa Berjalan
Pergantian menteri di bawah sistem kapitalisme ibarat mengganti sopir mobil mogok tanpa mengganti mesinnya yang memang rusak sejak awal. Tidak peduli berapa kali sopir diganti, mobil tetap tidak akan berjalan. Demikian pula dengan reshuffle, wajah baru mungkin memberi kesan segar, tetapi kebijakan tetap berputar dalam lingkaran yang sama, yaitu kapitalisme-sekularisme.
Negara masih bertumpu pada pajak dan utang sebagai sumber utama APBN. Sumber daya alam dikuasai korporasi, sementara rakyat hanya mendapat sisanya. Ketimpangan sosial semakin melebar. Semua itu membuktikan, permasalahan bukan pada individu pejabat, melainkan sistem kapitalisme yang rapuh.
Allah SWT telah mengingatkan dalam firman-Nya, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha: 124)
Sistem yang berpaling dari aturan Allah hanya akan melahirkan penderitaan. Itulah yang dirasakan rakyat hari ini, meski reshuffle dilakukan berulang kali selama sistemnya tetap sama, yaitu kapitalisme sekuler, maka bisa ditebak jika nanti hasil kebijakan yang dihasilkan pun tetap akan berpihak kepada korporat bukan rakyat.
Reshuffle: Antara Harapan dan Realita
Secara teori, reshuffle dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja, menyesuaikan strategi, dan mempercepat pencapaian program prioritas. Namun, dalam praktiknya, reshuffle lebih sering menjadi alat politik untuk menampung kepentingan partai koalisi, mengakomodasi tuntutan kelompok tertentu, atau meredam konflik internal.
Alhasil, rakyat kembali menjadi penonton yang hanya bisa berharap, meski sudah tahu ending ceritanya, yaitu harga-harga tetap melambung, lapangan kerja sulit didapat, dan kesenjangan sosial semakin terasa lebar.
Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah laksana penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah pelayan rakyat, bukan pelayan kepentingan politik atau ekonomi segelintir orang.
Solusi Islam: Bukan Sekadar Reshuffle, tapi Perubahan Sistemis
Islam menawarkan solusi yang lebih mendasar. Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), kekuasaan dijalankan berdasarkan syariat, bukan kepentingan partai atau oligarki. Menteri dalam Islam (yang disebut mu‘awin) dipilih karena kapasitas, integritas, dan komitmen pada hukum Allah, bukan karena hasil lobi politik.
Negara mengelola sumber daya alam sebagai kepemilikan umum, bukan menyerahkannya kepada korporasi. Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis ini menjadi dasar bahwa kekayaan alam harus dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Dengan begitu, APBN tidak bertumpu pada pajak rakyat atau utang ribawi, melainkan pada pengelolaan harta milik umum.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam menegaskan, dalam khilafah, reshuffle tidak dilakukan karena tekanan politik, melainkan murni demi perbaikan kinerja sesuai syariat. Sistem Islam memastikan kesinambungan kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan elite.
Rakyat Butuh Perubahan Hakiki, Bukan Kosmetik Politik
Reshuffle kabinet yang dilakukan berkali-kali hanya membuktikan kegagalan sistem kapitalisme dalam menyejahterakan rakyat. Mengganti wajah tanpa menyentuh akar masalah sama saja dengan menunda penderitaan.
Perubahan sejati hanya akan terwujud dengan mengganti sistem, dari kapitalisme menuju Islam kaffah. Firman Allah Swt., “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah: 50)
Sudah saatnya umat mengarahkan energi dan harapan pada perubahan yang hakiki, yakni tegaknya Khilafah Islamiyah. Bukan sekadar reshuffle wajah, melainkan perombakan total menuju sistem yang diridhai Allah. Itulah jalan keluar sejati, bukan sekadar kosmetik politik yang meninabobokan rakyat sementara waktu. []
Nabila Zidane
Jurnalis