Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pejabat dan Lisan: Cermin Akhlak Penguasa

Kamis, 04 September 2025 | 19:42 WIB Last Updated 2025-09-04T12:42:10Z
TintaSiyasi.id -- Di tengah isu kabur ke Singapura, rumah anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, dikepung massa di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sabtu (30/8/2025) sore. Aksi tersebut dipicu ucapan kontroversial Sahroni yang mengecam keras desakan publik agar DPR dibubarkan menyusul kabar kenaikan tunjangan anggota dewan. Alih-alih merespons dengan bijak, Sahroni justru menyebut wacana pembubaran DPR sebagai hal yang “tolol” dan melabeli pengusung wacana itu sebagai “manusia tolol sedunia.”

Tak pelak, pernyataan tersebut menyulut amarah rakyat yang sudah lama muak dengan kelakuan wakilnya. Puncaknya, Sahroni pun dicopot dari posisinya sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI, dan kini hanya bertugas sebagai anggota biasa. (kompas.com, 30/8/2025)

Fenomena ini kembali menyingkap satu hal mendasar, yaitu betapa rendahnya kualitas akhlak dan lisan sebagian pejabat negeri. Mereka lupa, amanah jabatan adalah beban berat, bukan kesempatan untuk merendahkan rakyat yang justru menjadi sumber legitimasi mereka.

Demokrasi Melahirkan Pejabat Bermental Rendah

Kejadian Ahmad Sahroni hanyalah puncak gunung es. Sistem demokrasi yang berbasis kepentingan elit dan uang membuat pejabat tidak merasa benar-benar bertanggung jawab pada rakyat. Mereka hanya loyal pada partai dan sponsor politiknya. Maka wajar, ketika rakyat menuntut pembubaran DPR karena muak dengan tunjangan fantastis, mereka malah dicaci dengan kata “tolol.”

Demokrasi telah gagal mencetak pejabat berakhlak. Yang lahir justru pejabat yang sibuk memperkaya diri, sementara rakyat yang mengkritik dicap hina.

Islam Menuntut Akhlak Luhur pada Pejabat

Dalam Islam, pejabat bukan sekadar penguasa yang memegang kekuasaan, melainkan pelayan umat.

Rasulullah saw. bersabda:
 “Sayyidul qaum khadimuhum.”
Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka. (HR. Abu Dawud)

Hadis ini menegaskan, jabatan bukan untuk dipamerkan atau dijadikan alat penghinaan, melainkan untuk melayani. Seseorang yang sudah menerima amanah kepemimpinan wajib menjaga akhlaknya, terlebih ucapannya.

Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 70:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”

Lisan seorang pejabat mencerminkan kualitas iman dan akhlaknya. Jika lisannya kotor, menghina rakyat, maka ia sedang mempertontonkan kerusakan moral yang akan merusak kepercayaan publik.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa lidah bisa menjadi sumber kebinasaan terbesar manusia jika tidak dijaga. Terlebih bagi penguasa, ucapan sembrono bisa melukai hati umat, bahkan menimbulkan keresahan sosial.

Ulama salaf sangat menekankan adab pemimpin terhadap rakyat. Umar bin Khattab ra., seorang khalifah besar, bahkan menangis ketika memikirkan hisab di akhirat atas kepemimpinannya. Ia pernah berkata:

Seandainya seekor keledai tersandung di Irak, aku takut Allah akan menanyakan kepadaku mengapa tidak meratakan jalan untuknya.

Perhatikanlah, seekor keledai saja dipikirkan Umar, apalagi rakyat yang lapar, marah, atau tersakiti karena lisannya.

Sementara itu, Imam Nawawi menegaskan, pemimpin wajib menjaga lisannya agar tidak menyakiti rakyat, karena menyakiti rakyat berarti mengundang murka Allah.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Pejabat adalah Raa’in, Bukan Penguasa Angkuh

Pendiri Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam menekankan bahwa pejabat negara dalam sistem Islam adalah raa’in (penggembala) yang wajib mengurus urusan umat sesuai syariat Allah.

Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Konsep ini jauh dari mentalitas pejabat demokrasi hari ini yang sering kali arogan, merasa rakyat tak layak bicara, bahkan menghina aspirasi mereka. Dalam Islam, pemimpin bukan raja yang berkuasa atas rakyat, melainkan pelayan yang memastikan kebutuhan mereka terpenuhi, menjaga lisan, dan menebar kasih sayang.

Karakter Pejabat dalam Sistem Islam

Islam menawarkan teladan yang sangat kontras. Dalam sejarah khilafah, pejabat dicetak untuk menjadi:

1. Amanah. Pejabat menjaga harta umat, bukan menggerogotinya.

2. Tawadhu’. Rendah hati, bahkan takut dipuji.

3. Berkata benar. Tidak pernah mencela rakyat, melainkan menasihati dengan lembut.

4. Mengutamakan rakyat. Hingga rela lapar asal rakyat kenyang.

5. Takut hisab Allah. Sehingga selalu menjaga lisannya.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah teladan terbaik. Beliau sampai memadamkan lampu minyak negara saat membicarakan urusan keluarganya, agar tidak tercampur antara urusan pribadi dan urusan umat.

Bayangkan jika pejabat hari ini meniru adab Umar bin Abdul Aziz. Tidak ada lagi ucapan yang melukai hati rakyat. Tidak ada lagi tunjangan gila-gilaan sementara rakyat lapar.

Jadi, ucapan Ahmad Sahroni hanyalah potret dari kebobrokan demokrasi yang gagal mencetak pejabat berakhlak. Dalam Islam, pejabat wajib menjaga lisan, karena lisan adalah cermin akhlak dan iman. Seorang pejabat tidak boleh merendahkan rakyat, apalagi menghina dengan kata-kata kotor.

Islam menuntut pejabat untuk berkata benar, jujur, lembut, dan penuh kasih sayang. Mereka adalah pelayan, bukan penguasa angkuh. Sebagaimana sabda Nabi saw.:

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim)

Maka, solusinya bukan sekadar mencopot pejabat arogan, tetapi mengganti sistem yang melahirkan mereka. Demokrasi harus ditinggalkan. Umat membutuhkan sistem Islam, yaitu Khilafah Islamiyah, yang mampu mencetak pejabat berakhlak mulia, takut pada Allah, menjaga lisannya, dan sungguh-sungguh mengurus rakyatnya.


Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update