Namun, pada tanggal 10 Agustus
2025 lalu, Anas Al-Sharif dinyatakan meninggal dunia ketika tentara Israel
menyerang tenda Al-Jazeera. Empat jurnalis lainnya juga ikut menjadi korban
nyawa atas serangan tersebut.
Muslim Intelektual Inggris Taji
Mustafa mengatakan bahwa Anas Al-Sharif adalah salah satu reporter Gaza yang
paling berani. Kematian Anas menurutnya menjadi tanda pembungkaman terhadap jurnalis
yang selama lebih dari satu dekade menunjukkan kepada dunia tentang
gambar-gambar dan berita tanpa filter dari tempat yang dijadikan paling
berbahaya di dunia.
“Wajah dan suara Al-Jazeera yang
teguh di Gaza, telah gugur. Kematiannya menandai pembungkaman salah satu
reporter Gaza yang paling berani. Seorang pria yang selama lebih dari satu
dekade membawakan dunia gambar dan berita tanpa filter dari salah satu tempat
paling berbahaya di dunia,” tulisnya dalam akun X milik pribadinya @tajimsutafa,
pada Senin (11/08/2025)
Lanjut Taji menuliskan, Anas
Al-Sharif lahir di Gaza pada tahun 1989 dan tumbuh besar di bawah blokade, sehingga
menyaksikan langsung perang, pengepungan, dan krisis kemanusiaan yang kelak
membentuk karyanya.
“Bergabung dengan Al-Jazeera, ia
segera dikenal karena laporannya yang tenang namun menguras emosi. Sering kali
disiarkan di tengah suara tembakan dan ledakan,” sambung Taji dalam tulisannya.
Menurutnya juga, Anas Al-Sharif bukanlah jurnalis biasa, melainkan putra Gaza
yang berani untuk berbicara kepada dunia, dan bertekad bahwa tidak ada
kekejaman terhadap rakyat Gaza yang akan luput dari perhatian.
Karir Anas Al-Sharif ditandai
dengan ketangguhan yang luar biasa. Pada Desember 2023, ayahnya Jamal Al-Sharif
tewas, ketika serangan udara Israel menghancurkan rumah keluarganya di kamp
pengungsi Jabalia. Terlepas dari duka yang mendalam, Anas kembali ke lapangan,
menyatakan bahwa kebenaran harus terus ditegakkan.
“Seluruh dunia Arab dan
sekitarnya mengenal empati sekaligus keberanian Anas. Pada Juli 2025, dalam
sebuah siaran langsung ia menangis tersedu-sedu saat menggambarkan kelaparan
yang dialami anak-anak Gaza. Sebuah momen yang tak terduga namun menangkap sisi
kemanusiaannya yang mendalam dan beban tak tertahankan yang dipikul oleh mereka
yang mendokumentasikan penderitaan tersebut,” sambungnya lagi.
Atas komitmen terhadap kebenaran
di tengah ancaman kata Taji, Anas Al-Sharif telah dianugerahi Penghargaan
Pembela Hak Asasi Manusia 2024 oleh Amnesty International, yang mengakui
perannya dalam mengungkap kejahatan perang dan memperkuat suara warga sipil
Gaza.
Bahkan di bawah ancaman
pembunuhan dan kampanye hitam yang terus-menerus, Anas tidak pernah berhenti.
Siaran terakhirnya di awal Agustus 2025 menunjukkan masih sedang berada di
lapangan, dan memegang mikrofon di tengah reruntuhan, kekacauan, serta masih
menolak untuk membiarkan Gaza dilupakan.
Anas Al-Sharif tidak hanya
meninggalkan segudang karya jurnalistik, tetapi juga warisan keberanian moral.
Laporannya kini menjadi bagian dari catatan sejarah penderitaan dan
ketangguhan.
“Anas mengatakan, ‘Putuskan apa
pun yang ingin kau putuskan. Liputan kami terus berlanjut.’ Semoga Allah
menerimanya di antara para syuhada, menghibur keluarga yang berduka, dan
membalas pengorbanannya dengan tempat terbaik di surga. Suaranya mungkin tak
lagi terdengar di layar kaca, tetapi kesaksiannya akan bergema dari generasi ke
generasi,“ pungkasnya.[] M. Siregar