TintaSiyasi.id -- Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra, mengatakan bahwa menjadi pemimpin bukanlah tentang sekadar berkuasa tetapi bagaimana menggunakan kekuasaan untuk mengurus rakyat.
"Menjadi pemimpin bukanlah tentang sekadar berkuasa, tetapi tentang bagaimana menggunakan kekuasaan itu untuk mengurus rakyat," ungkapnya dalam tulisannya dikutip TintaSiyasi.id, Kamis (4/9/2025).
Ia menjelaskan, kepemimpinan dalam ranah politik seharusnya mengemban misi kesejahteraan rakyat, bukan sekadar pencapaian kekuasaan. Tanpa visi, integritas, dan komitmen, kekuasaan hanya akan melahirkan pemerintahan yang kering makna dan kehilangan kepercayaan publik.
Dalam sistem demokrasi yang kekuasaan diperebutkan seringkali menjadikan orang hanya sekedar ingin berkuasa. Sementara rakyat tak diurus, sebab mereka bukan orang yang punya kompetensi, hanya sekedar populer dan punya uang. Akhirnya saat berkuasa, lupa rakyat dan hanya menumpuk-numpuk harta. Bahkan banyak yang tak mau tahu tentang halal dan haram.
“Mereka sibuk menumpuk harga, meski dengan jalan korupsi. Padahal berpolitik itu bukan tentang sekedar berkuasa, tapi amanah rakyat yang harus ditunaikan dan dipertanggungjawabkan," tuturnya.
Kemudian, dalam sistem demokrasi, secara normative, kekuasaan merupakan amanah yang diberikan oleh rakyat kepada individu atau kelompok untuk mengelola negara dan memastikan terpenuhinya kebutuhan publik. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit politisi yang hanya menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir, bukan sebagai alat untuk melayani.
"Fenomena ini berbahaya karena berpotensi menciptakan pemerintahan yang otoriter, korup, dan jauh dari aspirasi rakyat. Jika pemimpin hanya mengejar jabatan tanpa niat tulus melayani, maka kesejahteraan rakyat akan terabaikan. Inilah yang terjadi saat ini di negeri ini. Akhirnya rakyat marah dan muak kepada para penguasa yang saat pemilu dipilih karena obral janji setinggi langit," ungkapnya.
Selanjutnya, ia memberikan paradigma kekuasaan yang sehat menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek. Artinya, rakyat bukan sekadar "target" kampanye atau "alat" pengumpulan suara, melainkan mitra dalam pembangunan. John Locke dalam teori kontrak sosial menegaskan bahwa kekuasaan politik sah hanya jika dibangun atas dasar persetujuan rakyat dan dijalankan untuk kepentingan umum. Jika pemimpin mengabaikan suara rakyat, maka legitimasi kekuasaannya patut dipertanyakan.
"Masalah muncul ketika kekuasaan justru menjauhkan pemimpin dari rakyat. Pemimpin sibuk dengan urusan elite, negosiasi politik, atau konsesi kepada oligarki, sementara kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja diabaikan. Hal ini tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga meningkatkan ketimpangan sosial dan ketidakpercayaan publik terhadap negara," urainya.
Untuk menghindari kekuasaan yang kosong nilai, Ahnad menjelaskan bahwa dibutuhkan kepemimpinan yang visioner dan beretika. Visioner berarti memiliki pandangan jangka panjang tentang pembangunan, bukan hanya kepentingan lima tahunan. Beretika berarti mengedepankan nilai keadilan, kejujuran, dan keberpihakan pada kelompok rentan.
Ia memberikan contoh, dalam konteks Indonesia, banyak contoh menunjukkan kesenjangan antara janji politik dan implementasi nyata. Misalnya, program-program unggulan yang hanya menjadi "pajangan" tanpa pelaksanaan maksimal. Atau janji reformasi birokrasi yang tidak menyentuh akar masalah korupsi dan inefisiensi. Pemimpin daerah maupun nasional kerap lebih fokus pada "branding politik" daripada penguatan pelayanan publik.
"Padahal, tantangan Indonesia sangat kompleks: kemiskinan struktural, ketimpangan wilayah, kerusakan lingkungan, serta ancaman intoleransi. Semua ini membutuhkan pemimpin yang betul-betul hadir untuk rakyat, bukan hanya aktif saat musim kampanye," terangnya.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk kritis dalam memilih pemimpin, dan bagi para calon pemimpin untuk merenungi kembali motivasi mereka apakah mereka benar-benar ingin melayani, atau hanya sekadar ingin menguasai.[] Alfia Purwanti