TintaSiyasi.id -- Merespons usulan solusi dua negara yang digaungkan berbagai pihak atas penjajahan yang terjadi di Palestina, Ketua Aliansi Pengacara Muslim Internasional Chandra Purna Irawan, S.H., M.H., mengatakan, siapapun yang mengusulkan solusi dua negara adalah bentuk kejahatan hukum.
"Siapapun yang mengusulkan solusi dua negara adalah kejahatan hukum, dengan alasan, pertama, mengukuhkan pengakuan terhadap Israel, kedua, atas dasar apa mereka menentukan nasib atas tanah bangsa lain," paparnya di akun Facebook Chandra Purna Irawan, Jumat (26/9/2025).
Dia menegaskan bahwa tawaran solusi dua negara antara Israel dan Palestina sama sekali tidak dapat diterima, dan hanya didukung oleh mereka yang berada dalam keputus-asaan. Inilah kejahatan di balik solusi dua negara.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa penjajahan Israel atas Palestina tidak dimulai pada 7 Oktober 2023, melainkan jauh sebelum itu. Penjajahan Zionis Yahudi telah berlangsung sejak lama, dimulai setelah melemahnya dan runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Turki Utsmani). Dia mengatakan, yang terjadi di Palestina bukanlah sebuah konflik, melainkan kolonialisme Zionis-Yahudi terhadap rakyat Palestina, yang melibatkan perampasan, pencurian, dan pengusiran mereka dari tanah airnya secara paksa.
"Kolonialisme ini bermula dari Perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916 antara Inggris dan Prancis. Dalam perjanjian tersebut, Inggris dan Prancis membagi-bagi peninggalan wilayah Khilafah Utsmaniyah di kawasan Arab," jelasnya.
Ia menjelaskan, dalam perjanjian itu menegaskan bahwa Prancis menguasai wilayah Suriah, Lebanon, dan koloni-koloni di Afrika (seperti Mesir, Ethiopia, Libya, dan lainnya), sementara Inggris mendapatkan koloni di wilayah Irak dan Yordania. Adapun Palestina, khususnya Kota Tua (Old City), ditetapkan sebagai wilayah dengan status internasional.
Pada tahun 1917, pemerintah Inggris melalui Menteri Luar Negeri-nya, Arthur Balfour, mengirim surat kepada pemimpin Yahudi Inggris, Lord Rothschild, yang menyatakan bahwa pemerintah Inggris menyerahkan Palestina kepada mereka. Surat ini dikenal sebagai Deklarasi Balfour," paparnya.
Oleh karena itu, kata Chandra, penjajahan harus dihilangkan, penjajahnya harus diusir. Menerima penjajah seperti menerima perampok yang akan menjarah dan mengambil rumah seseorang, lalu ditawarkan bagi dua terhadap rumah tersebut.
"Saya dan atas nama lembaga, menolak gagasan solusi negara di tanah Palestina, dengan alasan hanya akan mengukuhkan pengakuan terhadap Israel dan solusi tersebut tidak akan menyelesaikan penjajahan," tegasnya.
Melanggar Hukum Internasional
Selain itu, solusi dua negara atas masalah Palestina yang menurut Chnadra justru tetap melanggengkan penjajahan juga melanggar hukum internasional. Dalam pasal 1 ayat (2) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyatakan 'Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa berdasarkan penghormatan terhadap asas persamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari semua banga'.
Kemudian, pasal 55 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB, berbunyi "PBB akan mendorong… penghormatan universal terhadap, dan ketaatan kepada, hak asasi manusia dan kebebasan dasar untuk semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama.”
Selanjutnya, dalam butir 1 Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514 (XV) menjelaskan, “Penaklukan terhadap rakyat asing dan penjajahan merupakan penyangkalan terhadap hak asasi manusia, bertentangan dengan Piagam PBB, dan menghambat perdamaian dan kerja sama dunia.” Butir 2 Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514 (XV) : “Semua bangsa memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri…”
"Butir 5 Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514 (XV): “Penindasan terhadap rakyat harus segera dan tanpa syarat diakhiri…”
Pasal 49 Konvensi Jenewa IV: “Pemindahan paksa oleh kekuatan pendudukan terhadap penduduk sipil dari wilayah yang didudukinya adalah dilarang.” “Kekuatan pendudukan tidak boleh memindahkan penduduknya sendiri ke wilayah yang diduduki.” Pasal 8(2) (b)(viii) Statuta Roma – Mahkamah Pidana Internasional (ICC): 'Pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh kekuatan pendudukan, dari bagian penduduknya sendiri ke dalam wilayah yang didudukinya merupakan kejahatan perang," pungkasnya.[] Alfia Purwanti