Karena menurutnya, itu kunci. “Berikutnya itu adalah setelah melangkah yang penting itu visinya jelas. Lalu kemudian melakukan amal ya kamu lakukan nanti Allah akan melihat Allah akan membimbing Allah akan mengarahkan anak-anak kita. Pendidikan itu di tengah cengkeraman (sistem Kapitalisme) itu yang paling penting kemudian nanti selain pemikiran ya kemudian berikutnya itu adalah aspek yang terkait dengan keteladanan. Nah hari ini orang tua itu kan pengen anaknya pengen jadi seperti Sayidina Ali tapi dia nggak ngasih contoh," singgungnya.
Ia menilai, faktanya anak-anak zaman sekarang tidak ketemu sosok para sahabat. “Kalau tidak bisa memberikan contoh setidaknya dia bisa menggambarkan dengan sosoknya. Entah itu dengan misalnya menghadirkan sirahnya, atau macam-macam itu kan juga bagian dari proses. Kalau baca di dalam Al-Qur’an bagaimana ayat-ayat qasas (cerita) di masa lalu, misalnya tentang Ashabul Kahfi, Luqman, tentang bagaimana nabi-nabi terdahulu itu, itu kan ayat-ayat kisah,” jelasnya.
Ketika ayat-ayat itu, lanjutnya, sampai kepada Nabi, kemudian Nabi ceritakan kepada para sahabat, pada saaat itu sahabat-sahabat masih muda. “Kita membayangkan, hal itu juga salah satu metode bagaimana metode pendidikan, selain keteladanan, juga pendidikan diberikan kisah, sirah, dan dihadirkan sosok-sosok tadi. Sehingga ketika anak tidak bisa melihat sosok yang sempurna pada orang tuanya karena memang tidak ada yang sempurna, dia itu paling tidak sudah punya mindset yang ditanamkan di dalam sirah tadi," paparnya.
Lanjutnya, itu cara menetralisir pengaruh-pengaruh tadi. “Sekarang kan sosok keteladanan tidak ada. yang dilihat itu di YouTube, yang dilihat itu apa yang di handphone-handphone mereka. Anime macam-macam gitu sehingga sosok itu yang masuk di dalam dirinya gitu. Ketika sosok itu yang masuk ke dalam dirinya kalau sosoknya bener enggak masalah, kalau sosoknya enggak bener kan jadi masalah. Nah, itulah yang kemudian terjadi hari ini nah sementara orang tua tidak bisa melakukan detoksifikasi terhadap racun-racun, toksik-toksik yang ke dalam tubuh anaknya tadi. Nah jadi di sini yang menjadi tantangan kita. Kalau kita melihat ya di antaranya agar bagaimana mencari ilmu itu apa berhasil itu kan harus ada istilahnya membersamai guru,” paparnya.
Ia menilai, guru pertama itu bapak-ibunya di rumah. “Ketika guru yang pertama itu bapak dan ibunya di rumah itu maka insya Allah kalau bapak ibunya itu bisa memberikan keteladanan yang baik. Kemudian Nabi itu kan tidak hanya serius dalam arti punya visi misi tujuan langkah-langkah dalam sehari-hari, tapi Nabi itu juga jenaka dan humoris. Sehingga ketika Nabi itu mendidik para sahabat enggak ada istilahnya membuat bosan, enggak ada,” terangnya.
Nabi itu, katanya, luar biasa. “Nah ini juga sisi lain yang penting jadi kadang-kadang karena kita itu terlalu serius jadi tidak perlu bergurau sama anak. Akhirnya anaknya jadi bete (boring time atau bosa), ini kan contoh. Itu harus seimbang di dalam pendidikan tadi. Enggak boleh hanya salah satu aspek tadi. Maka kata Nabi itu, kamu harus berikan semua hak tubuhmu itu haknya. Ketika misalnya dia tidak diberikan haknya tadi akan protes, dengan berapa kemudian muncul masalah pengasuhan yang bermasalah seperti toxic parenting," pungkasnya. [] Munamah