“Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
yang diluncurkan pemerintah Indonesia pada awal tahun 2025 telah menjadi salah
satu kebijakan sosial terbesar dalam sejarah menimbulkan perdebatan serius
mengenai keberlanjutan fiskal, tantangan logistik, dan kerentanan terhadap fraud,
maka MBG harus sejalan dengan kerangka dasar Islam yang pelaksanaannya
mengadopsi prinsip keadilan dan tata kelola yang ketat,” sebut HILMI kepada TintaSiyasi.ID,
Selasa (23/09/2025).
HILMI menegaskan bahwa hal itu
merupakan tantangan sistemik. “Program ini menjanjikan lompatan besar untuk
menurunkan prevalensi stunting (yang per 2023 masih mencapai 21,5
pesrsen) dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) nasional,
kebijakan yang menargetkan 82,9 juta penerima dengan perkiraan anggaran awal
mencapai Rp71 triliun,” sebut HILMI.
Best Practice Sejarah
Dalam perspektif Islam, HILMI
menyebut bahwa penjaminan pangan rakyat sangat didorong karena merupakan bagian
dari tujuan syariah (maqāṣid al-syarī‘ah), yakni menjaga jiwa (ḥifẓ
al-nafs) dan menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl).
“Dukungan terhadap program penjaminan
gizi ini diperkuat oleh dalil-dalil Al-Qur’an (seperti QS Quraisy: 3–4 dan QS
Al-Ma‘ūn ) serta hadis, di mana ‘Imam adalah penggembala, dan ia bertanggung
jawab atas rakyatnya.”,” ujar menyebut menyitat hadis riwat Imam
Bukhari-Muslim.
HILMI mengemukakan, sejarah Islam
mencatat praktik nyata penanggulangan kelaparan oleh para pemimpin:
- Umar bin Khattab mendirikan dapur umum saat
terjadi paceklik.
- Umar bin Abdul Aziz memastikan tidak ada rakyat
yang kelaparan di bawah kepemimpinannya.
- Imaret pada masa Kekhalifahan Ottoman
menyediakan ribuan porsi makanan gratis setiap hari.
“Prinsip dasar yang harus dipenuhi
dalam MBG menurut pandangan Islam adalah makanan harus halal, tayib (bergizi
dan baik), adil, dan tidak menimbulkan stigma pada penerima,” tutur HILMI.
Jalan Tengah dan Anti-Fraud
“Untuk mengatasi risiko fiskal dan
tantangan logistik distribusi harian bagi puluhan juta anak di berbagai kondisi
geografis, kami merekomendasikan delapan jalan tengah yang memadukan efisiensi
model negara maju dengan nilai-nilai keadilan sosial Islam,” kata HILMU.
Fokus utama solusi mencakup:
- Targeting cerdas: prioritas harian harus
diberikan kepada kelompok rentan, seperti balita, ibu hamil, dan siswa
kelas awal SD.
- Pengawasan digital: untuk meminimalisir risiko fraud
(seperti mark-up harga, kolusi vendor, atau data penerima fiktif),
program harus menerapkan pengawasan digital, termasuk penggunaan geo-tag
dan timestamp, serta melakukan audit acak dengan uji laboratorium.
- Desain anti-inflasi: belanja pemerintah yang
masif berpotensi mengganggu pasar dan menaikkan harga komoditas bagi
masyarakat umum. Solusinya adalah menggunakan kontrak multi-pemasok
dan memperkuat buffer stock Bulog.
- Pendanaan diversifikasi: selain mengandalkan
APBN, program MBG dapat didukung melalui sumber pendanaan alternatif
seperti wakaf produktif dan Corporate Social Responsibility (CSR)
pangan.
- Keterlibatan publik: orang tua dan guru didorong
menjadi pengawas sosial untuk memastikan makanan benar-benar bergizi,
aman, dan tepat sasaran.
“Dengan memadukan efisiensi dapur
pusat (central kitchen) dan fleksibilitas kemitraan usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM) lokal, disertai pengawasan ketat, MBG berpotensi menjadi
warisan besar bangsa, alih-alih sekadar proyek populis, sesuai dengan
nilai-nilai keadilan sosial Islam,” tandas HILMI.
Justifikasi Gizi dan SDM
HILMI menyatakan, MBG adalah
investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas SDM, produktivitas, dan
daya saing nasional. “Makanan bergizi di sekolah dipercaya meningkatkan
presensi, konsentrasi, dan prestasi belajar,” ujar HILMI.
“Terkait skala dampak sosial, dengan
target puluhan juta penerima, MBG berpotensi menjadi program transformasi
sosial terbesar setelah program wajib belajar,” kata HILMI.
HILMI menganalisis, MBG bisa menjadi
pengungkit ekonomi lokal. “Model dapur sekolah atau kemitraan UMKM dapat
menyerap tenaga kerja dan menciptakan pasar stabil bagi produsen lokal (petani,
nelayan, peternak),” ungkap HILMI.
“Dari segi arsitektur kelembagaan, pembentukan
Badan Gizi Nasional (BGN) melalui Peraturan Presiden memberikan kerangka
koordinasi yang sebelumnya tersebar di berbagai Kementerian,” cetusnya.
Risiko dan Tantangan Sistemik
HILMI mencatat bahwa risiko sistemik
MBG harus dikelola secara hati-hati. Tantangan utama meliputi:
• Risiko fiskal:
estimasi biaya Rp 71 triliun di tahun pertama berpotensi menekan ruang fiskal
dan dapat mengorbankan program kesehatan atau pendidikan penting lainnya.
• Tantangan logistik:
distribusi makanan harian bagi puluhan juta anak di berbagai kondisi geografi
adalah operasi logistik yang kompleks, berisiko keterlambatan, makanan basi,
dan kualitas tidak seragam.
• Ancaman fraud:
skala penerima yang sangat besar membuka ruang untuk mark-up harga per
porsi, kolusi vendor, data penerima fiktif, dan laporan palsu.
• Risiko kesehatan:
potensi kontaminasi bakteri dan keracunan massal jika dapur tidak higienis.
Selain itu, risiko psikologis seperti stigma atau diskriminasi dapat muncul
jika terjadi ketidakadilan porsi.
• Risiko inflasi
pangan: belanja pemerintah yang masif berpotensi mengganggu pasar dan menaikkan
harga komoditas bagi masyarakat umum.
• Risiko SDM:
ahli gizi yang terbatas di sekolah dasar, tenaga dapur yang tidak terlatih
standar higienitas, dan kurangnya auditor membuka ruang fraud.
Pembelajaran dari Negara Maju
HILMI mengutarakan, keberhasilan MBG
terletak pada waktu dari masak hingga makanan dimakan (time-to-mouth
atau TTM), yang idealnya harus kurang dari atau sama dengan dua jam untuk
makanan panas dan empat jam untuk makanan dingin.
“Strategi yang direkomendasikan
mencakup zonasi dapur radius 5–10 km, batch cooking terjadwal, serta
penggunaan kontainer penyimpanan panas (hot holding container),” sebut
HILMI.
“Dalam hal kemitraan lokal, pelibatan
UMKM di kantin sekolah dapat menjamin makanan lebih segar dan mempercepat
distribusi. Namun, tantangannya adalah standar food safety UMKM yang
belum memadai, kapasitas terbatas, dan potensi kolusi,” tegas HILMI.
Hal itu, sebut HILMI, bisa diatasi
dengan solusi kemitraan, dengan model kemitraan “Kantin-UMKM Partnership” yang
disertai sertifikasi higienitas, pooling supply melalui koperasi, dan
rotasi vendor.
HILMI menjelaskan, agar MBG juga
didorong untuk belajar dari sistem yang sudah matang di negara maju.
“Pola umum yang diterapkan di Amerika
Serikat (NSLP), Inggris (FSM), dan Jepang (Kyūshoku) meliputi standar
gizi ketat, pengawasan food safety, dan nilai tambah pendidikan sosial.
Jepang, misalnya, menggunakan dapur pusat besar (2.000–5.000 porsi/hari) dan
melibatkan anak-anak dalam proses penyajian sebagai media pendidikan karakter,”
tutup HILMI.[] Rere