Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Program MBG, Perhimpunan Intelektual Muslim Dorong Solusi Berbasis Islam

Selasa, 23 September 2025 | 16:47 WIB Last Updated 2025-09-23T09:54:48Z

TintaSiyasi.id -- Menanggapi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah Indonesia pada awal tahun 2025 telah menjadi salah satu kebijakan sosial terbesar dalam sejarah menimbulkan perdebatan serius mengenai keberlanjutan fiskal, tantangan logistik, dan kerentanan terhadap fraud, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menyatakan MBG harus sejalan dengan kerangka dasar Islam yang pelaksanaannya mengadopsi prinsip keadilan dan tata kelola yang ketat.

 

“Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah Indonesia pada awal tahun 2025 telah menjadi salah satu kebijakan sosial terbesar dalam sejarah menimbulkan perdebatan serius mengenai keberlanjutan fiskal, tantangan logistik, dan kerentanan terhadap fraud, maka MBG harus sejalan dengan kerangka dasar Islam yang pelaksanaannya mengadopsi prinsip keadilan dan tata kelola yang ketat,” sebut HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Selasa (23/09/2025).

 

HILMI menegaskan bahwa hal itu merupakan tantangan sistemik. “Program ini menjanjikan lompatan besar untuk menurunkan prevalensi stunting (yang per 2023 masih mencapai 21,5 pesrsen) dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) nasional, kebijakan yang menargetkan 82,9 juta penerima dengan perkiraan anggaran awal mencapai Rp71 triliun,” sebut HILMI.

 

Best Practice Sejarah

 

Dalam perspektif Islam, HILMI menyebut bahwa penjaminan pangan rakyat sangat didorong karena merupakan bagian dari tujuan syariah (maqāṣid al-syarī‘ah), yakni menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs) dan menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl).

 

“Dukungan terhadap program penjaminan gizi ini diperkuat oleh dalil-dalil Al-Qur’an (seperti QS Quraisy: 3–4 dan QS Al-Ma‘ūn ) serta hadis, di mana ‘Imam adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”,” ujar menyebut menyitat hadis riwat Imam Bukhari-Muslim.

 

HILMI mengemukakan, sejarah Islam mencatat praktik nyata penanggulangan kelaparan oleh para pemimpin:


  1. Umar bin Khattab mendirikan dapur umum saat terjadi paceklik.

 

  1. Umar bin Abdul Aziz memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan di bawah kepemimpinannya.

 

  1. Imaret pada masa Kekhalifahan Ottoman menyediakan ribuan porsi makanan gratis setiap hari.

 

“Prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam MBG menurut pandangan Islam adalah makanan harus halal, tayib (bergizi dan baik), adil, dan tidak menimbulkan stigma pada penerima,” tutur HILMI.

 

Jalan Tengah dan Anti-Fraud

 

“Untuk mengatasi risiko fiskal dan tantangan logistik distribusi harian bagi puluhan juta anak di berbagai kondisi geografis, kami merekomendasikan delapan jalan tengah yang memadukan efisiensi model negara maju dengan nilai-nilai keadilan sosial Islam,” kata HILMU.

 

Fokus utama solusi mencakup:

 

  • Targeting cerdas: prioritas harian harus diberikan kepada kelompok rentan, seperti balita, ibu hamil, dan siswa kelas awal SD.

 

  • Pengawasan digital: untuk meminimalisir risiko fraud (seperti mark-up harga, kolusi vendor, atau data penerima fiktif), program harus menerapkan pengawasan digital, termasuk penggunaan geo-tag dan timestamp, serta melakukan audit acak dengan uji laboratorium.

 

  • Desain anti-inflasi: belanja pemerintah yang masif berpotensi mengganggu pasar dan menaikkan harga komoditas bagi masyarakat umum. Solusinya adalah menggunakan kontrak multi-pemasok dan memperkuat buffer stock Bulog.

 

  • Pendanaan diversifikasi: selain mengandalkan APBN, program MBG dapat didukung melalui sumber pendanaan alternatif seperti wakaf produktif dan Corporate Social Responsibility (CSR) pangan.

 

  • Keterlibatan publik: orang tua dan guru didorong menjadi pengawas sosial untuk memastikan makanan benar-benar bergizi, aman, dan tepat sasaran.

 

“Dengan memadukan efisiensi dapur pusat (central kitchen) dan fleksibilitas kemitraan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal, disertai pengawasan ketat, MBG berpotensi menjadi warisan besar bangsa, alih-alih sekadar proyek populis, sesuai dengan nilai-nilai keadilan sosial Islam,” tandas HILMI.

 

Justifikasi Gizi dan SDM

 

HILMI menyatakan, MBG adalah investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas SDM, produktivitas, dan daya saing nasional. “Makanan bergizi di sekolah dipercaya meningkatkan presensi, konsentrasi, dan prestasi belajar,” ujar HILMI.

 

“Terkait skala dampak sosial, dengan target puluhan juta penerima, MBG berpotensi menjadi program transformasi sosial terbesar setelah program wajib belajar,” kata HILMI.

 

HILMI menganalisis, MBG bisa menjadi pengungkit ekonomi lokal. “Model dapur sekolah atau kemitraan UMKM dapat menyerap tenaga kerja dan menciptakan pasar stabil bagi produsen lokal (petani, nelayan, peternak),” ungkap HILMI.

 

“Dari segi arsitektur kelembagaan, pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN) melalui Peraturan Presiden memberikan kerangka koordinasi yang sebelumnya tersebar di berbagai Kementerian,” cetusnya.

 

Risiko dan Tantangan Sistemik

 

HILMI mencatat bahwa risiko sistemik MBG harus dikelola secara hati-hati. Tantangan utama meliputi:

 

• Risiko fiskal: estimasi biaya Rp 71 triliun di tahun pertama berpotensi menekan ruang fiskal dan dapat mengorbankan program kesehatan atau pendidikan penting lainnya.

 

• Tantangan logistik: distribusi makanan harian bagi puluhan juta anak di berbagai kondisi geografi adalah operasi logistik yang kompleks, berisiko keterlambatan, makanan basi, dan kualitas tidak seragam.

 

• Ancaman fraud: skala penerima yang sangat besar membuka ruang untuk mark-up harga per porsi, kolusi vendor, data penerima fiktif, dan laporan palsu.

 

• Risiko kesehatan: potensi kontaminasi bakteri dan keracunan massal jika dapur tidak higienis. Selain itu, risiko psikologis seperti stigma atau diskriminasi dapat muncul jika terjadi ketidakadilan porsi.

 

• Risiko inflasi pangan: belanja pemerintah yang masif berpotensi mengganggu pasar dan menaikkan harga komoditas bagi masyarakat umum.

 

• Risiko SDM: ahli gizi yang terbatas di sekolah dasar, tenaga dapur yang tidak terlatih standar higienitas, dan kurangnya auditor membuka ruang fraud.

 

Pembelajaran dari Negara Maju

 

HILMI mengutarakan, keberhasilan MBG terletak pada waktu dari masak hingga makanan dimakan (time-to-mouth atau TTM), yang idealnya harus kurang dari atau sama dengan dua jam untuk makanan panas dan empat jam untuk makanan dingin.

 

“Strategi yang direkomendasikan mencakup zonasi dapur radius 5–10 km, batch cooking terjadwal, serta penggunaan kontainer penyimpanan panas (hot holding container),” sebut HILMI.

 

“Dalam hal kemitraan lokal, pelibatan UMKM di kantin sekolah dapat menjamin makanan lebih segar dan mempercepat distribusi. Namun, tantangannya adalah standar food safety UMKM yang belum memadai, kapasitas terbatas, dan potensi kolusi,” tegas HILMI.

 

Hal itu, sebut HILMI, bisa diatasi dengan solusi kemitraan, dengan model kemitraan “Kantin-UMKM Partnership” yang disertai sertifikasi higienitas, pooling supply melalui koperasi, dan rotasi vendor.

HILMI menjelaskan, agar MBG juga didorong untuk belajar dari sistem yang sudah matang di negara maju.

 

“Pola umum yang diterapkan di Amerika Serikat (NSLP), Inggris (FSM), dan Jepang (Kyūshoku) meliputi standar gizi ketat, pengawasan food safety, dan nilai tambah pendidikan sosial. Jepang, misalnya, menggunakan dapur pusat besar (2.000–5.000 porsi/hari) dan melibatkan anak-anak dalam proses penyajian sebagai media pendidikan karakter,” tutup HILMI.[] Rere

 

 


Opini

×
Berita Terbaru Update