Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Krisis Ibu yang Penyayang

Jumat, 26 September 2025 | 06:28 WIB Last Updated 2025-09-25T23:28:14Z
TintaSiyasi.id -- Di saat ombak Pantai Sigandu, Jawa Barat, sedang berdeburan, di situlah ditemukan dua jasad tak bernyawa tergeletak. Mereka adalah kakak beradik usia 6 dan 3 tahun. Konon, nyawa mereka melayang setelah diracuni oleh ibu kandung mereka sendiri, UM (31). Kemudian, ibu mereka yakni UM ikut menjemput ajalnya dengan bunuh diri.

Masih di Jawa Barat, kasus yang sama juga terjadi di daerah Banjaran. Dua bocah berusia 9 tahun dan 11 bulan harus merenggut nyawanya setelah ibu mereka meracuni mereka.

Kemudian juga, persis seperti kasus sebelumnya, setelah meracuni anaknya, ibu EN (34) mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Oleh KPAI, kasus-kasus seperti ini digolongkan dalam kasus filisida maternal, yakni tindakan sengaja orang tua membunuh anaknya.

Dua kasus di atas bukan hanya sekali dua kali terjadi, namun sudah kesekian kalinya, dan mungkin setelah itu masih akan terulang kembali. Kasus-kasus seperti ini seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga, bahwa status ibu bukan sekadar status biasa, melainkan sebuah rute kehidupan yang harus dijalani dengan sungguh-sungguh.

Ibu adalah sumber kasih sayang untuk seorang anak, bukan justru menjadi sumber kekerasan bagi mereka. Jika terdapat kasus ibu melakukan kekerasan bahkan membunuh anaknya, dapat dipastikan terdapat suatu hal yang telah mengganggu kejiwaan ibu tersebut, seperti beban ekonomi, keluarga, atau permasalahan rumah tangga.

Namun sebenarnya, kasus filisida maternal ini tidak hanya dapat dilihat dari persoalan ibu yang dianggap kehilangan naluri keibuannya. Bukan pula semata dilihat sebagai persoalan personal keluarga saja. Tidak dapat dimungkiri, banyak faktor di balik kasus ini. Faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan saling berhubungan, sehingga menjadi problematika sistemik. Ini artinya, sistem kitalah yang sedang tidak waras sehingga individu di bawahnya pun ikut tidak waras.

Sistem hari ini menciptakan tekanan dalam segala jenis kehidupan, terlebih dalam hal ekonomi. Hal tersebut tentunya sangat dirasakan oleh para ibu dari masyarakat bawah. Tarif listrik yang semakin melonjak, biaya sekolah yang tak wajar, ditambah peran suami yang semakin terkikis, membuat mental seorang ibu perlahan-lahan hancur dan tak mampu menahan emosinya ketika mengasuh buah hati.

Begitulah secuil potret gelap dalam kehidupan sistem sekularisme-kapitalis. Dari sisi ekonomi, negara di bawah sistem ini memang menyerahkan urusan tersebut kepada masing-masing individu dengan prinsip survival of the fittest, sebagaimana di tanah air kita. Bahkan dalam urusan pendidikan dan kesehatan pun negara lebih banyak berlepas diri.

Berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dalam Islam, setiap ibu dijamin dan dibimbing supaya dapat sungguh-sungguh merealisasikan peran keibuannya. Kebutuhan nafkahnya dipastikan benar-benar dipenuhi oleh para suami. Bahkan sekalipun mereka telah menjadi janda, tanggung jawab nafkah pun dipindahtangankan kepada para wali mereka. Oleh karena itu, dalam Islam penguasa wajib menjamin para suami mendapat pekerjaan yang layak dan mencukupi nafkah keluarga.

Bentuk lain pemuliaan wanita juga tampak tatkala mereka memasuki bulan Ramadan dalam keadaan hamil atau menyusui. Mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan tetap diberi kewajiban mengganti di luar bulan Ramadan. Hal ini ditujukan untuk menjaga kesehatan diri sang ibu dan buah hati.

Dari sini jelas, bahwa krisis ibu akan benar-benar berhenti tatkala sistem mulia itu terwujud kembali di tengah-tengah kita. Sistem itu tiada lain adalah sistem Islam, satu-satunya sistem berlandaskan agama yang diridai Allah SWT.

Oleh: Haniyyah 
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update