TintaSiyasi.id -- Baru-baru ini anggota DPR mendapatkan kenaikan tunjangan. Selain gaji bulanan senilai Rp6–7 juta, anggota legislatif juga menerima kenaikan tunjangan bensin, beras, dan perumahan. Dengan demikian, total gaji dan tunjangan mereka mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan.
Banyak pihak menilai kenaikan tunjangan tersebut tidak sebanding dengan kinerja mereka yang belum optimal mewakili rakyat. Apalagi kenaikan ini terjadi di tengah situasi ekonomi rakyat yang sulit. Kebijakan tersebut sangat tidak sensitif terhadap keadaan rakyat yang mereka wakili di Senayan.
Lebih-lebih, kenaikan tunjangan anggota DPR sangat tidak sejalan dengan prinsip efisiensi pemerintah. Dalam situasi rakyat menghadapi gelombang PHK, kenaikan pajak, pemblokiran rekening, pengambilalihan aset terlantar, dan berbagai masalah ekonomi lainnya, kebijakan ini jelas menambah beban rakyat. Alih-alih menyelesaikan persoalan, justru menimbulkan keresahan. Hal ini memicu reaksi keras, bahkan muncul suara yang meminta agar DPR dibubarkan, sebagaimana aksi unjuk rasa mahasiswa dan berbagai pihak akhir-akhir ini.
Jabatan Ajang Mencari Cuan
Sistem demokrasi adalah sistem politik transaksional. Artinya, setiap orang yang maju dalam kontestasi politik demokrasi membutuhkan biaya yang mahal. Karena itu, saat menjabat mereka berusaha keras untuk mengembalikan modal, bahkan memperoleh keuntungan material yang besar.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mahal. Siapa yang populer, dialah yang mendapat suara elektoral besar. Untuk menjadi populer, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Adakalanya modal tersebut diperoleh dari para oligarki sebagai sponsor. Akibatnya, pejabat dalam sistem demokrasi tidak fokus mewakili kepentingan rakyat. Mereka justru lebih mementingkan pihak yang membiayai, sekaligus memaksimalkan jabatan untuk melanggengkan kekuasaan.
Dengan demikian, penguasa sejati dalam sistem demokrasi adalah para oligarki (pemilik modal). Para pejabat hanyalah pihak yang sibuk mengurus kepentingan pribadi dan golongannya. Fakta ini jelas terlihat dalam kebijakan kenaikan tunjangan wakil rakyat di tengah situasi rakyat yang kian melarat.
Demokrasi hanya melahirkan elit politik yang rakus dengan prinsip kebebasan, termasuk kebebasan kepemilikan. Halal dan haram tidak menjadi pertimbangan. Akibatnya, para pejabat mengambil harta rakyat atas nama pajak. Mereka berfoya-foya dan hidup mewah dengan harta rakyat tanpa peduli kesengsaraan yang menimpa kalangan bawah.
Demokrasi adalah sistem yang rusak dari akarnya. Wajar bila melahirkan pejabat yang serakah dan rakyat yang menderita.
Jabatan Amanah Dunia Akhirat
Berbeda dengan sistem demokrasi, sistem pemerintahan Islam memiliki landasan akidah Islam. Tidak ada pemisahan antara agama dengan negara (sekularisme). Institusi Daulah Islam (Khilafah) hadir semata-mata sebagai metode (thariqah) untuk menerapkan syariat Islam secara totalitas.
Oleh karenanya, kewenangan membuat hukum ada di tangan Syara’ (Allah Swt), sedangkan kekuasaan berada di tangan umat. Pemilihan Khalifah dilakukan oleh wakil rakyat (majlis umat) dengan akad untuk menerapkan syariat Islam.
Adapun rakyat memilih anggota majlis umat dengan akad: pertama, untuk melakukan pemilihan Khalifah; kedua, mengawasi kebijakan para pejabat negara agar tetap sesuai syariat Islam; ketiga, mengoreksi (muhasabah) kebijakan penguasa yang dinilai melanggar syariat-Nya; keempat, memberi masukan kepada Khalifah terkait berbagai urusan umat.
Dalam sistem Islam, anggota majlis umat tidak memiliki wewenang membuat hukum dan undang-undang. Legalisasi hukum semata-mata ada di tangan Allah Swt. Khalifah berkewajiban mengadopsi syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.
Dengan akad yang demikian, rakyat hanya akan memilih orang yang bertakwa sebagai wakil mereka.
Siapa pun yang menjadi anggota majlis umat memiliki kesadaran penuh akan kewajiban sebagai muslim, yaitu saling menasihati dalam kebenaran. Itu adalah bentuk tanggung jawab dakwah dan dorongan akidah, bukan semata mengejar popularitas. Terlebih, jabatan majlis umat tidak mendapatkan gaji tetap. Kalaupun ada, hanya berupa tunjangan dari Baitul Mal.
Dalam sistem Islam, jabatan bukan ajang mencari cuan. Jabatan adalah amanah yang berat di sisi manusia dan akan dihisab di Yaumil Akhirat. Dalam banyak kisah para sahabat, seperti Umar bin Khattab, justru menangis ketika terpilih menjadi Khalifah. Banyak generasi salafus shalih yang khawatir tidak bisa berlaku adil saat menerima amanah kepemimpinan.
Bahkan, dikisahkan Umar bin Abdul Aziz—cicit dari Khalifah Umar bin Khattab—menyerahkan hampir seluruh hartanya ke Baitul Mal ketika terpilih menjadi Khalifah.
Demikianlah sistem Islam melahirkan sosok pemimpin yang beriman, bertakwa, dan adil. Oleh karenanya, sudah saatnya umat Islam mencampakkan sistem demokrasi dan hanya mengambil sistem Islam sebagai solusi atas permasalahan kehidupan.
Wallahu a’lam bish-shawab
Oleh: Umi Salamah
Komunitas Penulis Peduli Umat