Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Empat Prinsip Perbedaan Pemerintahan Khilafah dan Sistem Lainnya

Senin, 15 September 2025 | 21:24 WIB Last Updated 2025-09-15T14:24:45Z

TintaSiyasi.id -- Ahli Fikih Islam K.H. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. merinci empat prinsip perbedaan pemerintahan khilafah dan sistem lainnya di YouTube Al-Khilafah.

 

Perlu dirinci prinsip-prinsip apa yang harus ada supaya sistem pemerintahan bisa disebut khilafah. Inilah yang membedakan khilafah dengan Arab Saudi, walaupun mereka mengklaim dasar negara adalah akidah Islam dan syariat,” papar Kiai Shiddiq, Senin (15/09/2025).

 

Empat prinsip tersebut, menurut Kiai Shiddiq dijelaskan dalam kitab Nizamul Hukmi Fil Islam karya Imam Taqiuddin An-Nabhani dan Syekh Abdul Qadim Zalum. “Pertama, السِّيَادَةُ لِلَِشَّرْعِ, kedaulatan di tangan Asy-Syari’,” sebutnya

 

“Otoritas untuk membuat hukum atau peraturan hanya milik Allah. Manusia tidak memiliki hak untuk menetapkan mana yang halal atau haram, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-An'am ayat 57, إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ,” jelasnya.

 

Ini adalah prinsip fundamental yang berarti tidak boleh ada hukum selain hukum Islam yang diterapkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,” lugas Kiai.

 

Kedua, السُّلْطَانُ لِلْأمَّةِ, kekuasaan di tangan umat. “Kekuasaan dalam pemerintahan Islam dipegang oleh umat, bukan oleh golongan atau keluarga tertentu,” kata Kiai Shiddiq.

 

“Pemimpin atau khalifah adalah hasil pilihan umat melalui proses baiat (sumpah setia), bukan karena keturunan atau penunjukan,” imbuhnya.

 

Meskipun mirip demokrasi dalam hal pemimpin dipilih oleh umat, Kiai Shiddiq tegas menyebut khilafah berbeda, yaitu terletak pada hukum yang akan diterapkan setelah pemimpin berkuasa.

 

“Dalam khilafah wajib menerapkan syariat, sedangkan dalam demokrasi tidak selalu,” tandasnya.

 

Ketiga, نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَاحِدٍ فَرْضٌ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ, wajib mengangkat satu khalifah untuk seluruh dunia. “Umat Islam di seluruh dunia wajib mengangkat hanya satu pemimpin atau khalifah,” serunya.

 

Kiai Shiddiq menukil hadis Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخِرَ مِنْهُمَا yang artinya jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”

 

Keempat, لِلْخَلِيْفَةِ حَقُّ التَّبَنّي الْأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ وَهُوَ سُنُّ الدُّسْتُوْرِ وَالْقَانُوْنِ, hanya khalifah yang berhak men-tabanni hukum-hukum syariat berupa dustur dan qanun.

 

“Hanyak khalifah yang berhak mengadopsi hukum-hukum syariat serta melegislasikan undang-undang dasar dan undang-undang,” tandasnya.

 

Kiai Shiddiq menyatakan, hak legislasi itu ada pada khalifah, bukan pada majelis umat. “Inilah yang membedakan dengan sistem demokrasi. Sumber hukum yang dilegislasi harus berasal dari Al-Qur'an dan sunah,” lugas Kiai.

 

Khilafah Mustahil?

 

“Mengenai pandangan bahwa menyatukan umat Islam di bawah satu khilafah adalah mustahil, hal itu bukanlah kemustahilan jika ada kehendak atau niat,” ucap Kiai.

 

Ia mencontoh negara-negara besar seperti Cina dan India yang penduduknya miliaran namun bisa bersatu. “Yang menyatukan umat Islam adalah akidah Islam, bukan kesamaan etnis atau bangsa,” terangnya.

 

Mengutip pendapat Syekh Takqiyuddin An-Nabhani, 'umat' (الأمة) didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang diikat oleh akidah yang sama. “Berbeda dengan 'bangsa' (الشعب) yang diikat oleh satu keturunan,” sebutnya.

 

“Akidah Islam dapat diyakini oleh etnis atau bangsa manapun, sehingga secara potensial dapat menjadi alat pemersatu global bagi umat Islam,” pungkasnya.[] Rere

 

 

Opini

×
Berita Terbaru Update