TintaSiyasi.id -- Ahli Fikih Islam K.H. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. merinci empat prinsip perbedaan pemerintahan khilafah dan sistem lainnya di YouTube Al-Khilafah.
“Perlu dirinci
prinsip-prinsip apa yang harus ada supaya sistem pemerintahan bisa disebut khilafah.
Inilah yang membedakan khilafah dengan Arab Saudi, walaupun mereka mengklaim
dasar negara adalah akidah Islam dan syariat,” papar Kiai Shiddiq, Senin (15/09/2025).
Empat prinsip tersebut, menurut Kiai
Shiddiq dijelaskan dalam kitab Nizamul Hukmi Fil Islam karya Imam
Taqiuddin An-Nabhani dan Syekh Abdul Qadim Zalum. “Pertama, السِّيَادَةُ لِلَِشَّرْعِ, kedaulatan di tangan Asy-Syari’,”
sebutnya
“Otoritas untuk membuat hukum atau
peraturan hanya milik Allah. Manusia tidak memiliki hak untuk menetapkan mana
yang halal atau haram, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-An'am ayat 57, إِنِ
الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ,” jelasnya.
“Ini adalah
prinsip fundamental yang berarti tidak boleh ada hukum selain hukum Islam yang
diterapkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,” lugas Kiai.
Kedua, السُّلْطَانُ لِلْأمَّةِ, kekuasaan di tangan umat. “Kekuasaan
dalam pemerintahan Islam dipegang oleh umat, bukan oleh golongan atau keluarga
tertentu,” kata Kiai Shiddiq.
“Pemimpin atau khalifah adalah hasil
pilihan umat melalui proses baiat (sumpah setia), bukan karena keturunan atau
penunjukan,” imbuhnya.
Meskipun mirip demokrasi dalam hal
pemimpin dipilih oleh umat, Kiai Shiddiq tegas menyebut khilafah berbeda, yaitu
terletak pada hukum yang akan diterapkan setelah pemimpin berkuasa.
“Dalam khilafah wajib menerapkan
syariat, sedangkan dalam demokrasi tidak selalu,” tandasnya.
Ketiga, نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَاحِدٍ فَرْضٌ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ, wajib
mengangkat satu khalifah untuk seluruh dunia. “Umat Islam di seluruh dunia
wajib mengangkat hanya satu pemimpin atau khalifah,” serunya.
Kiai Shiddiq menukil hadis Nabi
Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “إِذَا بُويِعَ
لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخِرَ مِنْهُمَا yang artinya jika dibaiat dua
orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
Keempat, لِلْخَلِيْفَةِ حَقُّ التَّبَنّي
الْأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ وَهُوَ سُنُّ الدُّسْتُوْرِ وَالْقَانُوْنِ, hanya khalifah yang berhak men-tabanni hukum-hukum
syariat berupa dustur dan qanun.
“Hanyak khalifah yang berhak
mengadopsi hukum-hukum syariat serta melegislasikan undang-undang dasar dan undang-undang,”
tandasnya.
Kiai Shiddiq menyatakan, hak
legislasi itu ada pada khalifah, bukan pada majelis umat. “Inilah yang membedakan
dengan sistem demokrasi. Sumber hukum yang dilegislasi harus berasal dari
Al-Qur'an dan sunah,” lugas Kiai.
Khilafah Mustahil?
“Mengenai pandangan bahwa menyatukan
umat Islam di bawah satu khilafah adalah mustahil, hal itu bukanlah
kemustahilan jika ada kehendak atau niat,” ucap Kiai.
Ia mencontoh negara-negara besar
seperti Cina dan India yang penduduknya miliaran namun bisa bersatu. “Yang
menyatukan umat Islam adalah akidah Islam, bukan kesamaan etnis atau bangsa,”
terangnya.
Mengutip pendapat Syekh Takqiyuddin
An-Nabhani, 'umat' (الأمة) didefinisikan sebagai sekumpulan
manusia yang diikat oleh akidah yang sama. “Berbeda dengan 'bangsa' (الشعب) yang diikat
oleh satu keturunan,” sebutnya.
“Akidah Islam dapat diyakini oleh
etnis atau bangsa manapun, sehingga secara potensial dapat menjadi alat
pemersatu global bagi umat Islam,” pungkasnya.[] Rere