Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kebobrokan Demokrasi dalam Pandangan Islam

Sabtu, 13 September 2025 | 11:43 WIB Last Updated 2025-09-13T04:43:26Z

TintaSiyasi.id -- Pendahuluan. Demokrasi sering dipandang sebagai sistem terbaik ciptaan manusia yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat. Namun, dari sudut pandang Islam, demokrasi menyimpan banyak kelemahan fundamental. Islam bukanlah sekadar agama ritual, tetapi sistem hidup yang sempurna (syumul). Mencakup politik, ekonomi, sosial, dan hukum. Oleh karena itu, ketika Islam diposisikan berhadapan dengan demokrasi, muncul pertanyaan besar, apakah demokrasi benar-benar sesuai dengan Islam?

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem kufur karena meletakkan kedaulatan pada manusia, bukan pada Allah. Pandangan ini sejalan dengan prinsip pokok dalam Islam bahwa hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah.

1. Demokrasi: Kedaulatan di Tangan Manusia

Prinsip utama demokrasi adalah vox populi vox dei, yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan. Artinya, manusia diberi kewenangan mutlak menentukan hukum, tanpa batas. Inilah letak kebobrokan paling mendasar.
Islam menegaskan dalam Al-Qur’an:

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Yusuf: 40).

Maka, ketika demokrasi menyerahkan kewenangan membuat hukum kepada parlemen, sesungguhnya ia telah merampas hak Allah. Inilah bentuk nyata isyraakul hukm (menyekutukan Allah dalam hukum).

2. Demokrasi Melahirkan Hukum Buatan yang Bertentangan dengan Syariat

Dalam praktiknya, demokrasi memungkinkan hukum berubah-ubah sesuai mayoritas. Sesuatu yang haram dalam Islam bisa saja dianggap halal oleh parlemen. Contoh nyata:
• Legalisasi riba di sektor perbankan.
• Legalisasi perzinaan melalui aturan kebebasan individu.
• Legalisasi minuman keras, bahkan narkoba di beberapa negara.
• Legalisasi pernikahan sejenis di Barat.
Semua itu lahir dari demokrasi yang menjadikan akal manusia sebagai standar kebenaran, bukan wahyu.

3. Demokrasi adalah Oligarki Terselubung

Secara teori, demokrasi menjanjikan kedaulatan rakyat. Namun, dalam praktik, demokrasi hanya menguntungkan segelintir elit politik dan pemilik modal. Rakyat hanya menjadi alat untuk memenangkan kursi, lalu dilupakan setelah pemilu.
Fenomena money politics, korupsi berjamaah, kolusi, dan nepotisme adalah penyakit kronis demokrasi. Di Indonesia, setiap periode pemilu selalu diwarnai politik uang. Akibatnya, lahir pemimpin bukan karena kualitas, tetapi karena modal.
Islam berbeda. Kepemimpinan dalam Islam bukanlah rebutan kursi, melainkan amanah. Khalifah dipilih untuk menerapkan syariat, bukan memenuhi ambisi pribadi atau kelompok.

4. Demokrasi Memuja Kebebasan Tanpa Batas

Demokrasi menegakkan empat pilar kebebasan:
1. Kebebasan beragama.
2. Kebebasan berpendapat.
3. Kebebasan kepemilikan.
4. Kebebasan pribadi.
Sekilas terdengar indah, namun hakikatnya justru menjerumuskan. Kebebasan beragama melahirkan pluralisme ekstrem, yang menyamakan semua agama. Kebebasan berpendapat melegalkan penghinaan terhadap Nabi Saw. atas nama “hak berekspresi”. 

Kebebasan kepemilikan melahirkan kapitalisme rakus. Kebebasan pribadi menjadikan manusia bebas berzina, berpakaian telanjang, hingga merusak tatanan keluarga.
Islam mengenal kebebasan, tetapi bukan tanpa batas. Islam membatasi kebebasan dengan hukum syariat agar kebebasan itu tidak berubah menjadi kerusakan.

5. Demokrasi Menyuburkan Sekularisme

Demokrasi lahir dari pemisahan agama dan politik (sekularisme). Dalam demokrasi, agama hanya ditempatkan di masjid, gereja, atau kuil, sementara urusan negara ditentukan manusia.
Padahal Islam justru datang untuk mempersatukan keduanya. Rasulullah Saw. adalah teladan bukan hanya sebagai nabi, tetapi juga sebagai kepala negara yang menegakkan hukum Allah. Islam menolak pemisahan agama dan politik, karena keduanya adalah satu kesatuan.

6. Sistem Islam: Solusi  Cerdas  atas Kebobrokan Demokrasi

Jika demokrasi rapuh dan bobrok, apa penggantinya? Jawabannya adalah sistem Islam (Khilafah).
Dalam sistem Islam:
• Kedaulatan milik syariat: hukum diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, bukan hasil voting.
• Khalifah sebagai pelaksana hukum Allah, bukan pembuat hukum.
• Syura (musyawarah) tetap ada, tetapi hanya sebatas pendapat teknis, bukan merubah halal-haram.
• Keadilan ditegakkan tanpa diskriminasi, karena standar hukum adalah wahyu, bukan kepentingan elit.
Sistem ini terbukti tegak berabad-abad lamanya, melahirkan peradaban agung yang adil, kuat, dan membawa rahmat bagi seluruh alam.

Penutup

Demokrasi, betapapun indah slogannya, pada hakikatnya menyimpan kebobrokan mendasar. Ia menuhankan manusia, melahirkan hukum buatan yang rusak, menjadikan kekuasaan permainan modal, dan membuka pintu kebebasan tanpa batas.
Islam datang dengan sistem yang sempurna, menempatkan Allah sebagai sumber hukum, Rasul sebagai teladan, dan syariat sebagai pedoman hidup.

Oleh karena itu, umat Islam semestinya tidak silau dengan demokrasi, tetapi kembali kepada sistem Allah yang telah terbukti membawa kejayaan. Islam kaffah di bawah naungan syariat-Nya.

Dr. N.Faqih Syarif H, M.Si. 
Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa

Opini

×
Berita Terbaru Update