Namun, Himpunan Intelektual Muslim
Indonesia (HILMI) menyatakan bahwa pengakuan tersebut hanyalah gimmick
geopolitik yang tidak akan mengubah realitas di lapangan.
“Jika ditelisik lebih dalam,
pengakuan ini tidak lebih dari sebuah gimmick geopolitik: manuver
simbolis penuh drama yang tidak mengubah realitas di lapangan,” bunyi kalimat
yang tertulis dalam Intelectual Opinion Nomor 19, Selasa (23/09/2025).
Lanjut dalam opini HILMI menyebutkan,
pengakuan Barat justru menegaskan betapa liciknya strategi politik
internasional yang diarahkan untuk membangun “Palestina versi Israel, yaitu
sebuah entitas tanpa kedaulatan militer, tanpa Gaza, tanpa senjata, dan tetap
di bawah bayang-bayang hegemoni Zionis,” sesal HILMI.
Oleh karena itu, HILMI mencoba dalam
opini yang mereka tulis untuk mengurai lapis demi lapis makna di balik
pengakuan itu, sekaligus menegaskan bahwa kemerdekaan sejati Palestina hanya
akan datang melalui persatuan umat Islam dan bukan lewat panggung sandiwara
diplomasi.
Pengakuan Barat: Antara Retorika dan
Realitas
Secara historis, Inggris adalah salah
satu aktor utama kelahiran Israel melalui Balfour Declaration (1917).
Kini, satu abad kemudian, Inggris kembali memainkan peran simbolis: mengakui
Palestina.
Namun motifnya jauh dari keikhlasan.
Ada empat tujuan strategis yang terselubung menurut opini HILMI dalam retorika
pengakuan negara Palestina oleh Barat.
“Pertama, cuci tangan atas
kejahatan Israel. Barat berusaha menutupi jejak keterlibatannya dalam mendukung
genosida dan apartheid yang dilakukan Israel selama puluhan tahun,”
sambung opini HILMI.
Kedua, demi
meredam tekanan publik internal generasi muda di Barat, terutama Gen Z, semakin
vokal mendukung Palestina dan menentang Israel. Pengakuan simbolis menjadi
katup pengaman agar pemerintah tidak kehilangan legitimasi.
Ketiga, sekadar
dalih seremonial ketika Israel
melanjutkan kejahatannya. Barat bisa berdalih, bahwa mereka telah mengakui
Palestina, selebihnya bukan tanggung jawab mereka lagi.
Keempat, memuluskan
agenda Israel. Menurut HILMI, Barat ingin memaksakan lahirnya negara Palestina
yang sesuai dengan desain Netanyahu dan sekutunya dengan kondisi Palestina yang
lemah, terpecah, dan mudah dikendalikan.
Dengan demikian, pengakuan Barat
justru adalah bentuk kejahatan lain. Bukan penyelesaian konflik, melainkan
penyelubungan agar Israel lebih leluasa melanjutkan agresinya.
PBB: Panggung Sandiwara Global
Adapun fungsi PBB, menurut HILMI
dalam opini tersebut, tidak lebih dari sekadar panggung retorika dalam isu
Palestina. Dukungan mayoritas Majelis Umum pun bersifat simbolis tanpa kekuatan
eksekusi.
“Sejak lama PBB telah menjadi
panggung retorika dalam isu Palestina. Resolusi demi resolusi tentang gencatan
senjata atau hak rakyat Palestina hampir selalu dimentahkan oleh veto Amerika
Serikat. Dukungan mayoritas di Majelis Umum pun bersifat simbolis, tanpa kekuatan
eksekusi,” jelas HILMI.
Selain itu, pernyataan para pemimpin
Barat di panggung PBB hanya sebatas emergency exit, yaitu pintu darurat
untuk cuci tangan dari tanggung jawab moral. Sementara di lapangan, Israel
terus melakukan ekspansi pemukiman di Tepi Barat, meratakan Gaza, dan berusaha
melenyapkan Hamas.
Beberapa hari lalu, kata HILMI,
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer di hadapan Donald Trump terang-terangan
menyatakan bahwa Palestina wajib “tanpa Hamas” dan menyebut Hamas sebagai
teroris. Pernyataan itu menegaskan bahwa pengakuan Barat hanyalah endorsement
terhadap proyek kolonial Israel.
Euforia Sesaat: Gencatan Senjata
Januari 2025
Ketika gencatan senjata diumumkan
pada Januari 2025, banyak pihak menyambutnya dengan euforia. Narasi “Palestina
sudah menang” bergaung di media.
Akan tetapi kata HILMI, gencatan
tersebut hanyalah taktik Israel untuk bernafas sejenak, memperbaiki logistik,
dan mengisi ulang persenjataan.
“Sejarah membuktikan, Israel tidak
pernah berhenti menyerang karena kalah, melainkan karena kebutuhan taktis.
Setelah masa jeda itu, Israel kembali dengan agresi yang lebih brutal,
menghantam Gaza dan mempercepat pencaplokan Tepi Barat,“ ungkap HILMI.
Karenanya, euforia kemenangan simbolis
sangat berbahaya ibarat sedang meninabobokan publik dunia Islam, membuat mereka
merasa perjuangan selesai, padahal musuh justru sedang menyiapkan pukulan lebih
keras.
Harga Mahal Palestina
Akibat gimmick pengakuan
merdeka dari negara Barat, Palestina menanggung beban luar biasa seperti kian
terpecahnya politik internal yang sudah lama terjadi diantara Fatah dan Hamas,
sementara rakyat sipil menjadi korban.
Kemudian membentuk peta wilayah yang
terfragmentasi mulai dari Gaza dihancurkan, Tepi Barat terkepung pemukiman
Yahudi, hingga Yerusalem ditelan Israel.
Di sisi lain, menurut HILMI, dunia
Arab semakin pasif. Alih-alih melawan, banyak negara Arab justru menormalisasi
hubungan dengan Israel demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
“Semua ini membuat Palestina semakin sulit bertahan,
apalagi merdeka,” tegas HILMI.
Jalan Satu-Satunya: Persatuan Umat
Islam
Selanjutnya HILMI menjelaskan, bahwa
Israel hanya tunduk pada bahasa kekuatan. Pada perang 1948, 1973, maupun
perlawanan Hizbullah 2006, Israel mundur karena menghadapi perlawanan
bersenjata yang nyata. Retorika diplomasi semata tidak pernah membuat Israel
goyah.
Karena itu, masa depan Palestina
hanya akan terbuka jika umat Islam dapat mewujudkan tiga langkah berikut.
“Pertama, kepentingan nasional
digeser menjadi kepentingan umat. Selama penguasa Muslim hanya memikirkan kurs
stabil dan investasi asing, Palestina tidak akan jadi prioritas. Mereka harus
sadar bahwa membela Palestina adalah amanah umat, bukan isu politik luar negeri
belaka,” terang HILMI.
Kedua, memberikan
tekanan terhadap semua dimensi yang berhubungan dengan Israel baik ekonomi
(memutus rantai suplai energi ke Barat dan Israel), politik (mengisolasi Israel
di forum internasional), dan militer (menyediakan daya gentar nyata).
Ketiga, dunia Islam
harus bersatu. Dengan dua miliar Muslim di dunia, kekuatan gabungan tersebut
akan menjadi faktor penentu yang tidak bisa ditandingi oleh Israel maupun
sekutu Baratnya.
“Seorang ulama pernah berkata, Israel
hanya berdiri karena dunia Islam tertidur. Saat dunia Islam bangun, Israel akan
bubar dengan sendirinya.” imbuh HILMI selanjutnya.
HILMI meyakini bahwa pengakuan Barat terhadap
Palestina adalah basa-basi politik, bukan kemenangan substantif. PBB hanyalah
panggung sandiwara, dan gencatan senjata hanyalah taktik musuh.
Sebab realitas di lapangan
menunjukkan Israel terus melanjutkan proyek kolonialnya dengan dukungan penuh
Amerika Serikat dan sekutu Barat.
“Palestina hanya akan benar-benar
merdeka jika umat Islam kembali sadar bahwa kepentingan nasional sempit
(“nasionalisme”) harus dilebur dalam kepentingan besar umat (“ukhuwah”). Tanpa
itu, Israel akan terus menancapkan kuku penjajahannya hingga Palestina hanya
tinggal nama,” pungkas HILMI.[] M. Siregar