Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI: Pengakuan Barat terhadap Negara Palestina Hanyalah Gimmick Geopolitik Tanpa Mengubah Realisasi Lapangan

Minggu, 28 September 2025 | 17:44 WIB Last Updated 2025-09-28T10:47:13Z

TintaSiyasi.id -- Dalam beberapa bulan terakhir, dunia internasional dihebohkan dengan keputusan sejumlah negara Barat—Inggris, Kanada, Australia, dan lainnya—yang menyatakan pengakuan terhadap negara Palestina yang terlihat sebagai capaian diplomatik besar, dan banyak kalangan menyambut dengan euforia, bahkan menyebutnya sebagai tanda bahwa Palestina telah “menang”.

 

Namun, Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menyatakan bahwa pengakuan tersebut hanyalah gimmick geopolitik yang tidak akan mengubah realitas di lapangan.

 

“Jika ditelisik lebih dalam, pengakuan ini tidak lebih dari sebuah gimmick geopolitik: manuver simbolis penuh drama yang tidak mengubah realitas di lapangan,” bunyi kalimat yang tertulis dalam Intelectual Opinion Nomor 19,  Selasa (23/09/2025).

 

Lanjut dalam opini HILMI menyebutkan, pengakuan Barat justru menegaskan betapa liciknya strategi politik internasional yang diarahkan untuk membangun “Palestina versi Israel, yaitu sebuah entitas tanpa kedaulatan militer, tanpa Gaza, tanpa senjata, dan tetap di bawah bayang-bayang hegemoni Zionis,” sesal HILMI.

 

Oleh karena itu, HILMI mencoba dalam opini yang mereka tulis untuk mengurai lapis demi lapis makna di balik pengakuan itu, sekaligus menegaskan bahwa kemerdekaan sejati Palestina hanya akan datang melalui persatuan umat Islam dan bukan lewat panggung sandiwara diplomasi.

 

Pengakuan Barat: Antara Retorika dan Realitas

 

Secara historis, Inggris adalah salah satu aktor utama kelahiran Israel melalui Balfour Declaration (1917). Kini, satu abad kemudian, Inggris kembali memainkan peran simbolis: mengakui Palestina.

 

Namun motifnya jauh dari keikhlasan. Ada empat tujuan strategis yang terselubung menurut opini HILMI dalam retorika pengakuan negara Palestina oleh Barat.

 

Pertama, cuci tangan atas kejahatan Israel. Barat berusaha menutupi jejak keterlibatannya dalam mendukung genosida dan apartheid yang dilakukan Israel selama puluhan tahun,” sambung opini HILMI.

 

Kedua, demi meredam tekanan publik internal generasi muda di Barat, terutama Gen Z, semakin vokal mendukung Palestina dan menentang Israel. Pengakuan simbolis menjadi katup pengaman agar pemerintah tidak kehilangan legitimasi.

 

Ketiga, sekadar dalih seremonial  ketika Israel melanjutkan kejahatannya. Barat bisa berdalih, bahwa mereka telah mengakui Palestina, selebihnya bukan tanggung jawab mereka lagi.

 

Keempat, memuluskan agenda Israel. Menurut HILMI, Barat ingin memaksakan lahirnya negara Palestina yang sesuai dengan desain Netanyahu dan sekutunya dengan kondisi Palestina yang lemah, terpecah, dan mudah dikendalikan.

 

Dengan demikian, pengakuan Barat justru adalah bentuk kejahatan lain. Bukan penyelesaian konflik, melainkan penyelubungan agar Israel lebih leluasa melanjutkan agresinya.

 

PBB: Panggung Sandiwara Global

 

Adapun fungsi PBB, menurut HILMI dalam opini tersebut, tidak lebih dari sekadar panggung retorika dalam isu Palestina. Dukungan mayoritas Majelis Umum pun bersifat simbolis tanpa kekuatan eksekusi.

 

“Sejak lama PBB telah menjadi panggung retorika dalam isu Palestina. Resolusi demi resolusi tentang gencatan senjata atau hak rakyat Palestina hampir selalu dimentahkan oleh veto Amerika Serikat. Dukungan mayoritas di Majelis Umum pun bersifat simbolis, tanpa kekuatan eksekusi,” jelas HILMI.

 

Selain itu, pernyataan para pemimpin Barat di panggung PBB hanya sebatas emergency exit, yaitu pintu darurat untuk cuci tangan dari tanggung jawab moral. Sementara di lapangan, Israel terus melakukan ekspansi pemukiman di Tepi Barat, meratakan Gaza, dan berusaha melenyapkan Hamas.

 

Beberapa hari lalu, kata HILMI, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer di hadapan Donald Trump terang-terangan menyatakan bahwa Palestina wajib “tanpa Hamas” dan menyebut Hamas sebagai teroris. Pernyataan itu menegaskan bahwa pengakuan Barat hanyalah endorsement terhadap proyek kolonial Israel.

 

Euforia Sesaat: Gencatan Senjata Januari 2025

 

Ketika gencatan senjata diumumkan pada Januari 2025, banyak pihak menyambutnya dengan euforia. Narasi “Palestina sudah menang” bergaung di media.

 

Akan tetapi kata HILMI, gencatan tersebut hanyalah taktik Israel untuk bernafas sejenak, memperbaiki logistik, dan mengisi ulang persenjataan.

 

“Sejarah membuktikan, Israel tidak pernah berhenti menyerang karena kalah, melainkan karena kebutuhan taktis. Setelah masa jeda itu, Israel kembali dengan agresi yang lebih brutal, menghantam Gaza dan mempercepat pencaplokan Tepi Barat,“ ungkap HILMI.

 

Karenanya, euforia kemenangan simbolis sangat berbahaya ibarat sedang meninabobokan publik dunia Islam, membuat mereka merasa perjuangan selesai, padahal musuh justru sedang menyiapkan pukulan lebih keras.

 

Harga Mahal Palestina

 

Akibat gimmick pengakuan merdeka dari negara Barat, Palestina menanggung beban luar biasa seperti kian terpecahnya politik internal yang sudah lama terjadi diantara Fatah dan Hamas, sementara rakyat sipil menjadi korban.

 

Kemudian membentuk peta wilayah yang terfragmentasi mulai dari Gaza dihancurkan, Tepi Barat terkepung pemukiman Yahudi, hingga Yerusalem ditelan Israel.

 

Di sisi lain, menurut HILMI, dunia Arab semakin pasif. Alih-alih melawan, banyak negara Arab justru menormalisasi hubungan dengan Israel demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

 

“Semua ini  membuat Palestina semakin sulit bertahan, apalagi merdeka,” tegas HILMI.

 

 

Jalan Satu-Satunya: Persatuan Umat Islam

 

Selanjutnya HILMI menjelaskan, bahwa Israel hanya tunduk pada bahasa kekuatan. Pada perang 1948, 1973, maupun perlawanan Hizbullah 2006, Israel mundur karena menghadapi perlawanan bersenjata yang nyata. Retorika diplomasi semata tidak pernah membuat Israel goyah.

 

Karena itu, masa depan Palestina hanya akan terbuka jika umat Islam dapat mewujudkan tiga langkah berikut.

 

Pertama, kepentingan nasional digeser menjadi kepentingan umat. Selama penguasa Muslim hanya memikirkan kurs stabil dan investasi asing, Palestina tidak akan jadi prioritas. Mereka harus sadar bahwa membela Palestina adalah amanah umat, bukan isu politik luar negeri belaka,” terang HILMI.

 

Kedua, memberikan tekanan terhadap semua dimensi yang berhubungan dengan Israel baik ekonomi (memutus rantai suplai energi ke Barat dan Israel), politik (mengisolasi Israel di forum internasional), dan militer (menyediakan daya gentar nyata).

 

Ketiga, dunia Islam harus bersatu. Dengan dua miliar Muslim di dunia, kekuatan gabungan tersebut akan menjadi faktor penentu yang tidak bisa ditandingi oleh Israel maupun sekutu Baratnya.

 

“Seorang ulama pernah berkata, Israel hanya berdiri karena dunia Islam tertidur. Saat dunia Islam bangun, Israel akan bubar dengan sendirinya.” imbuh HILMI selanjutnya.

 

HILMI meyakini bahwa pengakuan Barat terhadap Palestina adalah basa-basi politik, bukan kemenangan substantif. PBB hanyalah panggung sandiwara, dan gencatan senjata hanyalah taktik musuh.

 

Sebab realitas di lapangan menunjukkan Israel terus melanjutkan proyek kolonialnya dengan dukungan penuh Amerika Serikat dan sekutu Barat.

 

“Palestina hanya akan benar-benar merdeka jika umat Islam kembali sadar bahwa kepentingan nasional sempit (“nasionalisme”) harus dilebur dalam kepentingan besar umat (“ukhuwah”). Tanpa itu, Israel akan terus menancapkan kuku penjajahannya hingga Palestina hanya tinggal nama,” pungkas HILMI.[] M. Siregar

Opini

×
Berita Terbaru Update