Gaza, sebuah nama yang telah berusia ribuan tahun. Sejak abad ke-15 hingga ke-13 Sebelum Masehi (SM), Gaza tercatat di dalam dokumen Mesir kuno sebagai kota penting di wilayah Syam, pusat administrasi dan militer Mesir di pesisir Laut Tengah.
Setelah itu, Gaza pernah menjadi bagian dari negeri Kana'an, lalu dikuasai bangsa Filistin pada abad ke-12 SM, menjadikannya kota pelabuhan utama di jalur perdagangan Laut Tengah.
Berabad-abad kemudian bangsa Asyur, Babel, Persia, Yunani hingga Romawi, silih berganti merebut Gaza. Pada masa Romawi Bizantium, sekitar abad ke-1 SM hingga abad ke-5 Masehi, Gaza berkembang sebagai pusat perdagangan, pendidikan, dan kebudayaan.
Hari ini, Gaza sedang menghadapi ujian paling berat. Sejak Oktober 2023 hingga 2025, lebih dari 60.000 rakyat Gaza telah gugur akibat agresi Zionis Yahudi. Ratusan ribu lainnya luka-luka, rumah sakit runtuh, sekolah hancur, air bersih hilang, listrik padam, dan banyak keluarga kehilangan seluruh anggotanya.
Kota yang dulu hidup kini menjadi simbol penderitaan manusia modern. Namun, Gaza bukan sekadar tanah penderitaan. Gaza adalah bumi yang menjadi tempat berkumpulnya kebaikan. Kebaikan dalam kesabaran menghadapi musibah, kebaikan dalam melawan penindasan dengan keyakinan yang kokoh. [] Dewi Srimurtiningsih