TintaSiyasi.id -- Menjawab pertanyaan apakah realistis khilafah akan tegak tidak lama lagi, padahal kondisi umat Islam sebaliknya, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan jika khilafah itu adalah sebuah kewajiban dan bukan soal realistis atau tidak realistis, sehingga harus diperjuangkan.
“Khilafah itu adalah sebuah
kewajiban, maka ini bukan soal realistis atau tidak realistis, tetapi ini
sesuatu yang memang harus diperjuangkan,” lugasnya dalam Maulid Nabi Muhammad
SAW 1447 H: Satu Risalah, Satu Umat, Satu Tujuan di YouTube One
Ummah TV, Sabtu (27/09/2025).
UIY menerangkan, ketika berbicara
tentang cita-cita, maka cita-cita itu harus diletakkan secara tepat. “Ini
cita-cita sekadar sebuah keinginan ataukah kewajiban?” ujarnya.
“Jika cita-cita ini adalah sebuah
kewajiban, dan cita-cita tegaknya khilāfah itu adalah sebuah kewajiban, maka bukan
soal realistis atau tidak realistis, tetapi ini sesuatu yang memang harus
diperjuangkan,” tegasnya.
Ketika sesuatu harus diperjuangkan, UIY mengatakan
bahwa yang dipikirkan adalah bagaimana membuat cita-cita itu menjadi mungkin.
“Jikalau kita berbicara tentang kondisi di mana
cita-cita itu didengungkan, maka sama sekali tidak realistis. Ketika Rasulullah
saw. mengatakan ,لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ, pasti akan ditaklukkan
Konstantinopel. Bagaimana realistis? Lah, wong Nabi ketika mengucapkan
itu menjelang Perang Khandak, dalam posisi yang sangat tertekan. Mereka harus
menghadapi pasukan sekutu,” ungkapnya.
Ustaz Ismail menggambarkan, pasukan
bukan datang dari satu dua kabilah, tetapi dari sekian banyak kabilah. “Jumlahnya
lima kali lipat lebih besar. Umat Islam ketika itu disebut-sebut kurang lebih
sekitar 2.000, sementara lawannya 10.000, dalam posisi tertekan,” ungkap UIY.
“Kalau dalam posisi tertekan,
bagaimana bisa bicara tentang penaklukan Konstantinopel? Bahkan dengan lafaz
pasti, لَتُفْتَحَنَّ
الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ,” ujarnya meyakinkan.
“Konstantinopel hari itu adalah
sebuah kota yang sangat masyhur selain Roma. Kalau sekarang barangkali seperti
New York atau London. Sama sekali tidak realistis,” lugasnya.
UIY menyebut, ketika para sahabat mendengar
Nabi mengucapkan itu, dia memandang sebagai sebuah بِشَارَة (kabar gembira), sebagai sebuah kabar
gembira yang bukan dilihat sebagai sebuah cita-cita kosong yang kemudian
dinilai cita-cita itu dengan keadaan mereka hari itu.
“Karena itu, tak pernah kita membaca
ada catatan sahabat itu merespons dengan nyinyir, misalnya ya, ‘Ngimpi kali, ye.’
“Utopis" atau apa pun seperti yang sering kita dengar sebagian umat Islam
ketika mendengar cita-cita Islam ini hari,” bebernya.
Tetapi mereka justru memandangnya itu
sebagai sebuah visi yang akan mereka wujudkan di suatu hari nanti, tambahnya, visi
itu memberi arah perjuangan mereka.
“Dan betul, jikalau tidak ada
perkataan Nabi seperti itu, mungkin tidak akan pernah lahir Muhammad Al-Fatih,
anak dari Sultan Murad II. Sultan Murad II ini anak dari Mehmed I. Mehmed I anak dari Bayezid I. Bayezid I anak
dari Murad I. Murud I anak dari Orhan Gazi. Orhan Gazi anak dari Osman I. Osman
I anak Ertuğrul Gazi,” ujar UIY menyebut silsilah Muhammad Al-Fatih.
Lanjut dikatakan, dari namanya dienal
اَلْخِلَافَةُ
الْعُثْمَانِيَّة (Khilāfah Utsmaniyah). “Ertuğrul Adalah anak
lelaki dari Sulaiman Syah. Sulaiman Syah ini pemimpin kabilah Kayi, sebuah
kabilah yang hidup nomaden dengan 400 tenda, 2.000 warganya,” kisahnya.
UIY menyebut, Sulaiman Syah telah
meletakkan dasar-dasar perjuangan yang sangat kokoh, akidah yang luar biasa,
kerinduan kepada akhirat, kecintaan kepada jihad dan syahid.
“Lahirlah Ertuğrul yang mendidik atau
menggembleng anak lelakinya Orhan. Sejarah kemudian membuktikan bahwa
Konstantinopel, sebuah kota yang luar biasa bertahan lebih dari 1.000 tahun
dari musuh yang datang dari mana pun arahnya, takluk di bawah seorang pemuda 21
tahun,” ungkapnya.
“Mengapa sampai begitu? Karena Muhammad
Al-Fatih betul-betul menginginkan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi, فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ
ذَلِكَ الْجَيْشُ,” sebut UIY.
Ia menyebutkan jika jarak antara Muhammad
Al-Fatih dengan moyangnya Sulaiman 825 tahun. “Satu kurun yang sangat panjang
dan tak pernah umat Islam yang lurus, yang punya akidah dan pemikiran yang
benar mengatakan bahwa itu adalah cita-cita utopis,” tegasnya.
“Sejarah kemudian membuktikan, meski
itu baru terwujud pada kurun waktu yang amat panjang sesudahnya,” tandasnya.
“Demikianlah mestinya umat Islam itu
memandang setiap cita-cita. Cita-cita itu sebuah kewajiban atau bukan? Kalau
itu sebuah kewajiban, maka cita-cita itu harus diletakkan sebagai satu visi
yang membawa kita untuk bergerak ke arah sana,” tutur UIY.
Jika ini hari tidak memiliki
kemampuan, UIY mengatakan bahwa harus membangun kemampuan sedemikian sehingga
cita-cita itu bisa terwujud, sebagaimana yang dilakukan oleh kabilah Hayi tadi.
Ia menyesalkan, saat ini tidak ada
atau kurang ada cita-cita di tengah-tengah umat Islam, karena umat Islam sudah
dilanda oleh pesimisme.
“Di samping dilanda juga oleh
penyakit wahn, yaitu, حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ, cinta kepada dunia berlebih-lebihan
dan takut kepada mati. Cinta kepada dunia, berlebihan, dan takut kepada mati,”
bebernya.
Akibatnya, UIY melihat cita-cita yang
mulia itu dipandang sebagai sebuah beban yang kemudian dinilai dengan kondisi
faktual ini hari. “Lalu mereka mengatakan bahwa ini cita-cita tidak realistis,
bahkan utopis. Bukan utopis, sulit iya, tetapi bukan perkara atau bukan hal
yang tidak mungkin,” sebutnya.
“Utopis itu sesuatu yang tidak
mungkin terjadi. Menegakkan benang basah. Jangankan lagi benang basah, benang
kering pun tak bisa kita tegakkan. Mempertemukan utara dengan selatan
sekaligus, ya itu utopis.
UIY menegaskan, jika menegakkan
sesuatu yang sudah dijanjikan oleh Allah Swt. itu bukanlah utopis. “Sikap
seperti inilah yang harus kita tanamkan kepada diri kita dan diri umat ini hari,”
pungkasnya.[] Rere