TintaSiyasi.id -- Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana, menilai pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan dalam setiap rezeki kita ada hak orang lain bisa lewat zakat, wakaf, pajak. sebagai politisasi bentuk agama dalam bentuk baru.
"Disinilah letak bahayanya pajak, dipoles demikian rupa dengan bahasa agama agar tampak seolah-olah sama dengan zakat padahal ini upaya melegitimasi kapitalisme dengan menggunakan agama. Inilah politisasi agama dalam bentuk baru," paparnya di akun TikTok agung.wisnuwardana, Selasa (19/8/2025).
Pernyataan Sri Mulyani itu kedengarannya manis, tetapi kata Agung di sinilah masalahnya pajak dan zakat itu sangat berbeda dalam Islam. Zakat hanya berlaku bagi mereka yang hartanya yang sudah memenuhi nisab dan haul. Artinya yang kena zakat hanya orang kaya. Sementara pajak dalam kapitalisme dipukul rata kesemua orang, kaya maupun miskin. Bahkan rakyat kecil tetap dipaksa membayar pajak, sementara kekayaan alam justru diserahkan kepada swasta dan asing.
"Agama dipakai untuk membenarkan kebijakan kapitalis yang makin menjerat rakyat. Kalau serius mau berbicara ekonomi Islam, jangan hanya jargon, Islam harus diterapkan secara kaffah dalam naungan khilafah. Hanya dengan sistem inilah zakat bisa berjalan sesuai dengan syariat. Kekayaan alam dikelola untuk umat dan pajak tidak menjadi tulang punggung negara," paparnya.
Pernyataan Sri Mulyani bahwa komunisme itu buruk karena membuat orang tidak punya motivasi kerja dan solusinya adalah ekonomi Islam dijadikan jalan ketiga, kedengaran memang indah. Tetapi faktanya, sistem ekonomi yang dipakai di negeri ini tetap kapitalis. APBN masih bertumpu pada pajak bukan pada pengelolaan kekayaan alam dan berbagai kepemilikan yang syar'i sebagaimana ajaran Islam.
"Kalau tidak semua pidato tentang ekonomi Islam hanya menjadi gula-gula untuk menutupi wajah asli kapitalisme yang makin mencekik rakyat," pungkasnya.[] Alfia Purwanti