TintaSiyasi.id -- Indonesia memasuki usia 80 tahun kemerdekaannya. Namun, di balik gegap gempita perayaan, realitas di lapangan justru menghadirkan ironi. Bendera memang telah berkibar selama delapan dekade, tetapi rakyat masih terhimpit beban hidup, generasi dirampas potensinya, dan negeri ini masih tunduk pada hegemoni sistem asing.
Di sektor ekonomi, gelombang PHK (pemutusan hubungan kerja) terus menghantam. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, pada paruh pertama 2025 saja, sekitar 30 ribu pekerja kehilangan pekerjaan. Angka ini melonjak dari 24.036 pada April menjadi 26.455 di Mei, dan tembus 30 ribu di Juni. Tidak berhenti di situ, data Januari–April 2025 menunjukkan 81 perusahaan memecat 54.252 karyawan dari sektor tekstil, alas kaki, elektronik, logistik, hingga perhotelan. Ancaman lebih besar mengintai: 3 juta pekerja tekstil berisiko ter-PHK akibat penurunan permintaan dan perubahan pasar global.
Bagi rakyat, ini berarti penghasilan yang menurun, tabungan yang tergerus, dan daya beli yang merosot, sementara harga kebutuhan pokok terus melambung. Akibatnya, kelas menengah yang dulu menjadi penopang ekonomi terancam tergelincir ke jurang kemiskinan.
Lebih jauh dari krisis ekonomi, terjadi pula penjajahan pemikiran. Generasi muda dibombardir propaganda seperti deradikalisasi, Islam moderat, dan dialog antaragama. Sekilas terdengar mulia, namun sesungguhnya ini adalah strategi untuk menjauhkan umat Islam dari pemikiran sahih yang lahir dari akidah. Umat diarahkan agar tidak lagi berpikir politik, apalagi memperjuangkan penerapan Islam secara total.
Fakta ini mengungkap bahwa kemerdekaan Indonesia selama ini hanya sebatas fisik, bukan hakiki. Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya dan umat Islam bebas berpikir serta hidup sesuai syariat. Jika rakyat masih kelaparan, pendidikan dan kesehatan mahal, lapangan kerja sulit, dan pemikiran umat terjajah, maka kemerdekaan itu masih semu.
Akar Masalah: Kapitalisme Sekuler
Akar dari semua persoalan ini adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini menempatkan kepentingan ekonomi di atas kemanusiaan. Negara berperan sebagai regulator yang mempermudah investasi korporasi besar, bukan pelindung rakyat. Sumber daya alam dikeruk demi keuntungan swasta, sementara hasilnya tidak kembali ke masyarakat. Mekanisme pasar yang diagungkan hanya melahirkan kesenjangan: kapitalis semakin kaya, rakyat makin miskin.
Lebih buruk lagi, kapitalisme sekuler menolak campur tangan agama dalam pengaturan kehidupan. Akibatnya, kebijakan publik tidak berpijak pada syariat, melainkan pada kalkulasi untung-rugi. Inilah mengapa masalah kemiskinan, pengangguran, dan rusaknya generasi terus berulang meski rezim berganti.
Solusi: Islam Kaffah
Islam kaffah menawarkan sistem yang berbeda total, adil, dan berpihak pada rakyat. Beberapa strategi sistem Islam dalam menjamin kemerdekaan hakiki bagi setiap individu rakyat.
Pertama, dalam sistem Islam, sumber daya alam, energi, hutan, dan tambang dikuasai negara dan hasilnya dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk investor asing atau segelintir elite.
Kedua, Islam juga mewajibkan negara memenuhi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap individu rakyat tanpa diskriminasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketiga, negara membangun industri nasional yang kuat untuk menciptakan lapangan kerja luas, bukan bergantung pada investasi asing yang sarat syarat.
Keempat, tanah diberikan kepada rakyat yang mau menghidupkannya, sehingga tidak ada lahan tidur atau monopoli kepemilikan.
Kelima, adanya jaminan sosial. Fakir miskin, anak yatim, dan kelompok rentan mendapat santunan dari baitulmal tanpa proses birokratis yang mempersulit.
Selain itu, sistem Islam menjaga kemurnian pemikiran umat. Negara tidak memberi ruang bagi ide-ide yang bertentangan dengan akidah Islam. Pendidikan, media, dan kebijakan publik diarahkan untuk membentuk masyarakat yang taat kepada Allah, bukan masyarakat yang tunduk pada ideologi asing.
Jalan Perubahan Hakiki
Kemerdekaan hakiki tidak akan datang hanya dengan menunggu atau berharap pada perubahan kosmetik. Geliat perubahan memang mulai terlihat di masyarakat, namun banyak yang belum menyentuh akar masalah: keberadaan sistem kapitalisme itu sendiri. Perubahan sejati hanya akan terwujud melalui gerakan dakwah Islam ideologis yang terarah dan konsisten, memimpin umat untuk meninggalkan sistem kufur dan menegakkan Islam kaffah di bawah naungan khilafah.
Penutup
Delapan puluh tahun lalu, bangsa ini bersatu mengusir penjajah fisik. Hari ini, tantangannya adalah mengusir penjajah sistem dan pemikiran. Selama rakyat masih dibiarkan miskin, generasi dibajak ideologinya, dan hukum Allah diabaikan, maka kemerdekaan hanyalah slogan tahunan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)
Kemerdekaan hakiki hanya akan terwujud ketika Islam kaffah tegak, mengatur seluruh aspek kehidupan, dan melindungi umat dari segala bentuk penjajahan. Saat itulah rakyat akan sejahtera, generasi akan mulia, dan negeri ini benar-benar merdeka di hadapan manusia, serta tunduk sepenuhnya kepada Allah.
Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)