TintaSiyasi.id -- Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang penuh dengan hirupan teknologi, sibuknya rutinitas, dan dahsyatnya tarikan dunia, manusia seringkali melupakan hakikat dirinya. Padahal, dalam hidup yang sementara ini, setiap nikmat yang hadir bukanlah tanpa maksud. Ia adalah amanah dari Allah, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dan di sinilah letak pentingnya kita memahami kembali dua fondasi kehidupan: Syukur dan Kemerdekaan dalam Tauhid.
1. Hakikat Syukur: Tidak Menggunakan Nikmat untuk Maksiat
Banyak orang menyangka bahwa syukur cukup dengan ucapan “Alhamdulillah”. Padahal, syukur sejati jauh melampaui sekadar lisan. Ia adalah pengakuan dalam hati, pengucapan dalam lisan, dan penggunaan nikmat dalam amal ketaatan kepada Allah.
“Syukur itu bukan sekadar kata, tapi sikap. Ia menuntut kita menjaga nikmat agar tidak berubah menjadi alat durhaka.”
Kaki yang diberi kemampuan melangkah, apakah ia membawa kita ke majelis ilmu atau ke tempat maksiat? Mata yang bisa melihat, apakah ia dipakai untuk memandang yang halal atau malah untuk melihat yang haram? Harta yang berlimpah, apakah kita gunakan untuk membantu sesama atau justru untuk memperkuat ego dan kesombongan?
Inilah hakikat syukur: tidak menggunakan nikmat-nikmat Allah untuk berbuat maksiat kepada-Nya. Sebab, betapa banyak orang diberi rezeki melimpah, kekuasaan, pengaruh, namun ternyata semua itu hanya memperberat hisab mereka karena disalahgunakan.
2. Hakikat Kemerdekaan: Tauhid yang Murni
Kemerdekaan bukan semata-mata soal bebas dari penjajahan fisik. Kemerdekaan sejati adalah saat ruh terbebas dari segala bentuk penghambaan selain kepada Allah. Inilah esensi dari tauhid: hanya Allah tempat bergantung, hanya kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan.
“Barangsiapa yang bertauhid dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ia telah merdeka.”
Ketika seseorang masih diperbudak oleh ambisi dunia, status sosial, gengsi, atau bahkan popularitas—ia belum benar-benar merdeka. Karena ketundukan selain kepada Allah adalah bentuk perbudakan yang paling keji.
Dalam sejarah peradaban Islam, para nabi dan orang-orang shaleh meraih kemuliaan bukan karena dunia, tetapi karena tauhid yang murni dalam kehidupan mereka. Mereka berjalan di bumi dengan jiwa merdeka, meski secara duniawi kadang tampak sederhana. Tapi kemuliaan mereka memancar dari dalam, karena hati mereka hanya bergantung kepada Allah semata.
3. Imam Junaid al-Baghdadi: Tanda Allah Berpaling
Sebuah kalimat yang menggugah dari tokoh sufi besar, Imam Junaid al-Baghdadi, semakin memperdalam makna ini:
“Tanda Allah berpaling dari seorang hamba adalah ketika hamba itu disibukkan dengan sesuatu yang tidak berguna.”
Renungan ini sangat mendalam. Betapa banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan nikmat hidup yang kita buang untuk hal-hal yang tidak memberi manfaat akhirat. Scroll media sosial berjam-jam tanpa arah, berbicara tanpa hikmah, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang tanpa makna—semuanya bisa jadi tanda berpalingnya Allah dari diri kita.
Na’udzubillah. Semoga Allah tidak menjadikan kita termasuk hamba yang dijauhkan dari-Nya, hanya karena kita lalai dan tenggelam dalam perkara yang sia-sia.
4. Menyatukan Syukur dan Kemerdekaan dalam Tauhid
Jika kita menyadari bahwa:
• Syukur sejati adalah ketaatan, dan
• Kemerdekaan sejati adalah tauhid,
• serta tanda berpalingnya Allah adalah keterikatan pada hal yang sia-sia,
maka sudah seharusnya kita mengatur ulang arah hidup kita.
Setiap hari harus menjadi proyek penghambaan dan pembebasan ruhani. Setiap nikmat harus menjadi wasilah mendekat kepada-Nya. Setiap waktu yang lewat harus menjadi sarana memperbanyak amal, bukan justru membuat Allah menjauh karena kelalaian kita.
5. Penutup: Jadilah Hamba yang Bersyukur dan Merdeka
Allah telah memberi kita nikmat yang tak terhingga: iman, waktu, kesehatan, keluarga, dan kesempatan bertobat. Maka jangan sampai nikmat-nikmat itu menjadi bumerang yang membawa kita kepada kesesatan.
Mari kita jadikan syukur sebagai jalan untuk menjaga nikmat dan tauhid sebagai pondasi meraih kemerdekaan sejati. Jangan biarkan dunia yang fana ini menjauhkan kita dari Allah, Sang Pemilik segala nikmat dan kebebasan.
"Sesungguhnya hanya kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan."
Doa dan Harapan
Ya Allah, jadikanlah kami hamba-Mu yang bersyukur, yang menggunakan nikmat-Mu dalam ketaatan.
Jadikan hati kami merdeka, hanya bergantung pada-Mu.
Jauhkan kami dari segala kesibukan yang melalaikan.
Dan dekatkan kami pada amal yang mengundang rahmat dan cinta-Mu.
Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)