TintaSiyasi.id -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengungkapkan rencananya untuk mengambil alih kendali militer penuh atas jalur Gaza. Pernyataan itu ia sampaikan di tengah tekanan global atas operasi militer yang telah berlangsung hampir dua tahun di wilayah tersebut. Namun Netanyahu menjelaskan bahwa Israel tidak berencana memerintah Gaza secara langsung, tetapi menyerahkan wilayah itu kepada kekuatan Arab, tanpa menyebutkan negara mana saja yang akan dilibatkan. Ia pun tak menjelaskan bentuk tata kelola yang akan dijalankan. Pernyataan ini muncul menjelang pertemuan terbatas kabinet keamanan Israel yang akan membahas strategi militer terbaru di Gaza. (cnbcindonesia.com, 08/08/2025)
Sungguh pernyataan Netanyahu tentang Full Occupation (Pendudukan Penuh) adalah upaya untuk menggiring opini bahwa selama ini Zionis tidak ingin mengambil alih Gaza. Pernyataan ini sedikit banyak akan mempengaruhi berjalannya opini tentang pembebasan Palestina yang sudah berjalan. Operasi ini berlangsung di tengah tekanan global dan kritik tajam atas dampak kemanusiaan yang ditimbulkan, termasuk ribuan korban sipil dan kehancuran infrastruktur Gaza. Sungguh pernyataan ini bisa berpotensi menggiring opini bahwa Zionis sebagai pihak yang tidak bersalah atau tidak memiliki keinginan untuk mengambil alih Gaza.
Namun faktanya Israel telah menguasai sekitar 75% wilayah Gaza, sementara 25% sisanya masih dihuni oleh mayoritas warga sipil dan diyakini menjadi lokasi para sandera. Operasi militer terbaru, seperti Gideon’s Chariots, telah memperluas kontrol militer Israel, meskipun intensitasnya tidak setinggi yang diperkirakan sebelumnya. Menteri pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa rencana untuk memindahkan seluruh populasi Palestina dari Gaza, yang memicu tuduhan pelanggaran HAM dan potensi kejahatan perang. Padahal kenyataannya operasi ini berlangsung di tengah tekanan global dan kritik tajam atas dampak kemanusiaan yang ditimbulkan, termasuk ribuan korban sipil dan kehancuran infrastruktur Gaza.
Sementara kelaparan di Gaza makin menunjukkan krisis kemanusiaan yang sangat serius dan membutuhkan bantuan internasional segera. Krisis pangan ini merupakan hasil dari kebijakan sistematis yang mempersempit akses terhadap kebutuhan dasar. Blokade berkepanjangan yang dilakukan oleh Israel telah menghambat bantuan kemanusiaan dan mengisolasi 2 juta warga dari dunia luar. WHO melaporkan, setidaknya ada 63 kasus malnutrisi pada Juli 2025, termasuk 24 di antaranya dialami oleh balita. Tingkat malnutrisi akut global di Gaza meningkat tiga kali lipat sejak Juni, dengan hampir satu dari lima anak di bawah lima tahun mengalami malnutrisi akut. (Tirto.id, 1 Agustus 2025)
Inilah kenyataannya bahwa Zionis masih menduduki wilayah Palestina melakukan genosida dengan senjata dan menciptakan bencana kelaparan di sana bukan hanya itu, pernyataan Netanyahu ini juga dapat dilihat sebagai upaya pengalihkan isu sebenarnya, yakni penjajahan Zionis atas Gaza dan tepi barat. Pernyataan tersebut memungkinkan negara Arab membangun kembali Palestina sebagaimana hasil konferensi sebelum-sebelumnya di Mesir. Rencana “Full Occupation” atau pengambilalihan penuh jalur Gaza oleh Israel telah memicu kekhawatiran global dan kecaman dari berbagai pihak, termasuk Indonesia, PBB, dan negara-negara Arab.
Seharusnya umat harus memahami bahwa sebagai umat yang meyakini sesama muslim adalah saudara, umat Islam harus sadar bahwa Palestina telah dijajah sejak 75 Tahun. Dan Gaza malah menjadi sasaran perluasan wilayah jajahan Zionis. Banyak Muslim di seluruh dunia yang menyayangkan betapa lemahnya respons negara-negara Arab dan muslim terhadap agresi Israel. Dalam sistem kapitalisme global dianggap oleh sebagian kalangan sebagai penyebab utama ketimpangan dan ketidakadilan, termasuk dalam konflik Palestina. Penerapan kapitalisme sering dikaitkan dengan kepentingan ekonomi dan politik yang melanggengkan penjajahan dan eksploitasi.
Sejatinya kondisi hari ini bentuk penjajahan yang telah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu. Namun syariat telah menetapkan bahwa penjajahan harus dilawan sampai penjajah disingkirkan. Namun syariat ini tidak bisa optimal dilakukan sebab perisai umat Islam Khilafah telah runtuh 1924 lalu. Perlawanan yang ada pada hari ini hanya bisa dilakukan dengan kekuatan sekelompok umat Islam di Gaza adalah sebuah komunitas yang didukung oleh negara Adidaya AS. Jelas perang ini sudah tidak fair. Oleh karena itu, Gaza dan Palestina hanya akan bisa dibebaskan dengan kekuatan militer dan aktivitas jihad fisabilillah. Namun jihad fisabilillah hanya bisa dilakukan secara sempurna dengan komando dari seorang khalifah yang melaksanakan kewajiban jihad di jalan Allah.
Seandainya jika ada khilafah perang antara Zionis dan Palestina akan fair. Sebab perang itu diwakili negara vs negara, bukan umat Islam vs negara adidaya. Untuk itu umat Islam harus memiliki kesadaran penuh untuk mengambilkan perisai kaum muslimin yang hilang, yakni Daulah Khilafah. Demikian umat hari ini, harus berjuang bersama kelompok dakwah ideologis yang mengikuti metode dakwah Rasulullah SAW. Dengan keikhlasan, kesabaran dan keteguhan terhadap metode dakwah ini, Insya Allah pertolongan Allah tidak akan lama lagi dan Palestina bisa segera dibebaskan dengan kemerdekaan yang hakiki.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Sandrina Luftia
Aktivis Muslimah