Bagi KPK, mekanisme ini rawan membuka ruang kebocoran informasi. Deputi Penindakan KPK Asep Guntur mengungkapkan, “Ketika izin penggeledahan harus melalui sistem peradilan biasa, bukan tidak mungkin bocor. Informasi akan sampai duluan ke pihak yang sedang diperiksa.” Pernyataan ini menggambarkan keresahan KPK dalam menghadapi tindak pidana korupsi yang semakin sistematis, terstruktur, dan masif.
Fakta berbicara, hingga pertengahan 2025, publik dikejutkan oleh berbagai skandal korupsi berskala raksasa. Salah satunya kasus PT Pertamina Patra Niaga beserta anak usahanya dalam pengelolaan minyak mentah 2018—2023, yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp968,5 triliun. Kasus lain menyeret Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto terkait suap dan penghalangan penyidikan dalam perkara Harun Masiku, serta dugaan korupsi dana iklan fiktif Bank BJB senilai Rp222 miliar.
Adanya dugaan pelemahan KPK bukanlah isu baru. Sejak berdiri sebagai lembaga independen berdasarkan UU No. 30/2002, KPK berkali-kali berhadapan dengan tekanan politik. Puncaknya terjadi pada 2019, ketika revisi UU KPK melahirkan UU No. 19/2019 yang mengurangi independensi lembaga ini. Beberapa poin kontroversial adalah pembentukan Dewan Pengawas, kewenangan SP3, dan alih status pegawai menjadi ASN. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi pun kandas, memperkuat dugaan bahwa oligarki politik dan ekonomi ingin membatasi daya gigit KPK.
Alasan yang kerap diajukan pemerintah bahwa KPK menghambat investasi tidak pernah meyakinkan publik. Faktanya, yang paling ditakuti para elite adalah kemampuan penyadapan KPK yang berkali-kali membongkar skandal besar, mulai dari penyuapan Menteri Kehutanan MS Kaban (2007) hingga hakim MK Akil Mochtar (2015). Revisi RUU HAP 2025 ini dipandang sebagai kelanjutan strategi pelemahan melalui jalur legislasi.
Maraknya Korupsi Dampak Diterapkannya Sistem Demokrasi Sekuler
Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit kronis, bukan sekadar masalah individu, melainkan buah dari sistem yang diterapkan. Sistem demokrasi sekuler memisahkan agama dari kehidupan publik. Standar kebijakan bukan lagi halal dan haram, melainkan manfaat dan keuntungan materi. Akibatnya, kontrol internal (takwa) memudar, sementara kontrol eksternal pun melemah karena masyarakat kian individualistik.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitab Nizham al-Islam menegaskan bahwa kerusakan negara lahir dari diterapkannya sistem kufur.
“Selama hukum Allah tidak diterapkan, kezaliman akan merajalela dan kemungkaran menjadi norma,” tulisnya.
Realitas demokrasi yang berbiaya mahal juga melahirkan politik transaksional. Kandidat legislatif dan eksekutif rela menggadaikan kebijakan demi sponsor politik, yang kemudian menuntut “Balas budi” berupa proyek atau kebijakan menguntungkan.
Kegagalan Sanksi Positif Hukum
Hukum positif di negeri ini terbukti gagal menciptakan efek jera. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rata-rata hukuman koruptor hanya dua tahun penjara. Jaksa Pinangki, yang merugikan negara triliunan rupiah, bahkan hanya menjalani satu tahun satu bulan kurungan setelah banding. Sementara sel tahanan koruptor kerap diberitakan mewah, lengkap dengan fasilitas hiburan, kontras dengan kondisi napi rakyat kecil.
Rasulullah Saw mengingatkan,
“Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kamu adalah karena apabila orang terhormat mencuri mereka membiarkannya, tetapi jika orang lemah mencuri mereka menegakkan hukuman kepadanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan pentingnya keadilan hukum tanpa pandang bulu, sesuatu yang absen dalam sistem sekarang.
Islam Solusi Ideologis dan Komprehensif
Islam memandang jabatan sebagai amanah, bukan ladang memperkaya diri. Rasulullah Saw bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(Muttafaq ‘alaih).
Seorang khalifah atau amir bukan hanya dituntut kapabel, tetapi juga bertakwa, sebab kepemimpinan adalah amanah yang kelakdipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Mujadalah ayat 7 mengingatkan,
“Tidakkah kamu perhatikan bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia adalah yang keempat. Tiada lima orang melainkan Dia adalah yang keenam. Tidak yang kurang dari itu dan tidak (pula) yang lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada; kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini menanamkan kesadaran mendalam bahwa pengawasan Allah meliputi seluruh perbuatan manusia. Kesadaran ini adalah fondasi kontrol internal yang mencegah seseorang melakukan korupsi, bahkan tanpa pengawasan manusia.
Mekanisme Antikorupsi dalam Khilafah
Dalam sistem khilafah, mekanisme pencegahan dan penindakan korupsi bersifat menyeluruh,
Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai landasan sistem pendidikan. Setiap individu dididik untuk bertakwa sehingga sadar bahwa korupsi adalah dosa besar yang akan dihisab di akhirat.
Kedua, menanamkan dalam jiwa bahwa jabatan sebagai amanah.
Penguasa dipilih karena kemampuan dan ketakwaannya, bukan karena kekuatan modal. Tidak ada politik transaksional karena jabatan tidak diperjualbelikan.
Ketiga, diberlakukan sanksi takzir yang menjerakan.
Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam Nizhamul Uqubat halaman 78-89 menjelaskan bahwa takzir bagi koruptor dapat berupa denda, penjara, tasyhir (pengumuman publik), cambuk, hingga hukuman mati, disesuaikan berat ringannya kejahatan.
Keempat, sistem sederhana dan murah. Struktur khilafah yang tunggal dan tidak berlapis mencegah kebocoran anggaran serta menghindarkan biaya politik yang mahal.
Jadi, korupsi di Indonesia bukan sekadar persoalan teknis kelembagaan, tetapi persoalan ideologis. Selama demokrasi sekuler tetap dipertahankan, revisi undang-undang apa pun hanya akan jadi kosmetik.
Islam, melalui sistem khilafah, menawarkan solusi menyeluruh, seperti landasan akidah, kepemimpinan amanah, hukum tegas, dan sistem sederhana.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,
“Tidak ada jalan untuk mengakhiri kezaliman dan kebobrokan kecuali dengan mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya khilafah.”
Maka, hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah, pemerintahan yang bersih, adil, dan sejahtera dapat terwujud. Bukan sekadar mimpi, tetapi janji Allah dan sunnah Rasul-Nya. Allahuakbar.
Nabila Zidane
Jurnalis