TintaSiyasi.id -- Pernahkah kita berpikir, kenapa negeri yang tanahnya subur, lautnya kaya, dan rakyatnya dermawan ini justru punya generasi yang kekurangan gizi? Ironi itu seperti menampar nurani siapa pun yang masih punya hati. Di tengah jargon “bonus demografi”, kita malah dihadapkan pada fakta bonus tragedi, yaitu anak-anak stunting, gizi buruk, dan krisis kesehatan mental.
Bahkan, menurut data yang disinggung Ustaz Ismail Yusanto dalam diskusi MBG, Sarat Masalah? di kanal YouTube UIY Official, (5/10/2025), Indonesia berada di urutan ke-10 untuk kasus stunting di Asia Tenggara. Padahal, generasi Z dan Alfa inilah yang akan menentukan wajah negeri ini di masa depan. Tapi bagaimana mungkin mereka akan menjadi generasi unggul jika sejak bayi sudah berhadapan dengan ketimpangan gizi dan kemiskinan struktural? Masalahnya bukan sekadar nasi yang tak cukup di piring, tapi paradigma yang salah di kepala para pengambil kebijakan.
Negara Kapitalis: Sibuk Ngatur Proyek, Lupa Ngatur Rakyat
Di atas kertas, negara memang tampak “peduli” dengan berbagai program, seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), Bansos, dan seribu skema populis lainnya. Tapi kalau kita telisik dengan jernih, semua itu hanyalah solusi tambal sulam yang berakar dari paradigma kapitalis–sekuler.
Dalam pandangan kapitalisme, negara hanya bertugas sebagai regulator, bukan penanggung jawab kesejahteraan. Maka tak heran kalau rakyat lapar dianggap statistik, bukan tragedi.
Kapitalisme memandang manusia sebagai mesin produksi, bukan sebagai amanah Ilahi. Akibatnya, kebijakan publik pun disusun dengan logika pasar, mana yang untung, mana yang bisa dijadikan proyek.
Padahal dalam pandangan Islam, tugas negara jauh lebih mulia, yaitu ri’ayah su’unil ummah, mengurus urusan umat.
Sebagaimana ditegaskan Ustaz Ismail Yusanto, “Negara dalam Islam wajib memastikan terpenuhinya dua jenis kebutuhan: personal dan komunal.”
Kebutuhan personal itu sandang, pangan, papan (tiga hal paling mendasar) dalam hidup manusia. Sedangkan kebutuhan komunal mencakup pendidikan, kesehatan, keamanan, dan infrastruktur publik.
Tapi coba lihat hari ini. Untuk sekadar makan bergizi saja, banyak keluarga harus berjuang setengah mati. Pendidikan dan kesehatan memang katanya “gratis”, tapi kenyataannya biaya tambahan mencekik. Bahkan akses terhadap fasilitas umum di daerah 3T (tertinggal, terpencil, dan perbatasan) jauh dari kata layak.
Inilah wajah asli negara kapitalis yang cenderung sibuk membangun jalan tol untuk investor, tapi lupa memperbaiki jalan menuju kesejahteraan rakyatnya.
Kemiskinan Struktural: Lahir dari Paradigma yang Sakit
Kalau bicara angka, data Bappenas menyebutkan sekitar 24 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (Rp20.000 per hari). Tapi jika memakai standar Bank Dunia (Rp35.000 per hari), jumlah itu melonjak jadi lebih dari 170 juta orang.
Artinya, lebih dari separuh rakyat negeri ini hidup dengan kondisi “miskin tapi tidak tercatat miskin.”
Tragis, bukan? Masalahnya bukan karena rakyat malas, tapi karena sistemnya menindas. Dalam paradigma kapitalis, kekayaan alam dikuasai segelintir korporasi, sementara rakyat hanya kebagian remah subsidi.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fil Islam menjelaskan, “Sumber daya alam adalah milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh dikuasai individu atau swasta. Negara wajib mengelolanya dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.”
Tapi apa yang terjadi hari ini? Energi, tambang, dan sumber pangan justru diprivatisasi. Negara malah berperan sebagai calo bagi korporasi asing. Maka, mustahil rakyat sejahtera jika paradigma dasarnya masih kapitalistik.
Islam Punya Solusi Sistemis
Berbeda dengan kapitalisme yang menuhankan pasar, Islam membangun sistem ekonomi berbasis tanggung jawab negara.
Negara dalam Islam bukan sekadar pengatur, tapi pelayan umat (raa’in), sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Itulah konsep ri’ayah su’unil ummah sebuah pandangan hidup yang menempatkan negara sebagai penjaga hak dasar setiap warganya. Dalam sistem khilafah, negara akan:
Pertama, memastikan terpenuhinya kebutuhan personal (sandang, pangan, papan) setiap individu. Negara akan membuka lapangan kerja halal, mengatur distribusi kepemilikan, dan memastikan tak ada satu pun warga yang kelaparan.
Kedua, menjamin kebutuhan komunal, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik, tanpa biaya. Layanan ini bukan “subsidi”, tapi hak yang dijamin syariat.
Ketiga, mengelola kekayaan alam secara langsung, bukan diserahkan ke swasta. Hasil pengelolaan inilah yang menjadi sumber utama kas negara.
Keempat, menghapus pajak sebagai sumber utama pendapatan, karena dalam Islam, negara cukup dengan pos zakat, fai’, kharaj, jizyah, dan pengelolaan SDA.
Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sampai-sampai tidak ada lagi penerima zakat. Bukan karena rakyat pelit, tapi karena sistem Islam berhasil menyejahterakan rakyatnya sampai tuntas. Bandingkan dengan hari ini, di mana bantuan sosial pun masih jadi alat politik lima tahunan.
Anak Bukan Statistik, tapi Amanah Umat
Anak-anak kita bukan sekadar angka dalam laporan stunting atau kemiskinan. Mereka adalah amanah umat yang kelak akan memikul beban peradaban.
Jika sejak kecil saja mereka sudah dibiarkan tumbuh dalam sistem yang abai, maka jangan harap kita bisa menuai generasi yang kuat, cerdas, dan berakhlak.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.” (TQS. Al-Isra: 31)
Ayat ini bukan hanya larangan fisik membunuh, tapi juga teguran keras terhadap sistem yang membuat anak-anak kehilangan hak hidup layak. Membiarkan mereka kelaparan, kehilangan akses pendidikan, dan rusak mentalnya itu juga bentuk pembunuhan perlahan atas masa depan umat.
Oleh karena itu, sudah saatnya kembali ke sistem yang benar. Krisis gizi, kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan adalah cermin retak dari peradaban kapitalistik. Kita boleh punya banyak program, tapi tanpa mengubah paradigma dasarnya, semua akan berakhir pada lingkaran gagal yang sama.
Karena itu, solusi sejati bukanlah menambah dana bantuan, tapi mengganti sistem yang salah. Kita perlu sistem yang berpihak pada manusia, bukan pada pasar. Kita perlu sistem yang tunduk kepada Allah, bukan kepada oligarki.
Dan itu hanya bisa terwujud dengan Islam kaffah dalam naungan Khilafah Islamiah yang menjalankan fungsi ri’ayah su’unil ummah secara utuh.
Sebab, pada akhirnya, bukan program yang akan menyelamatkan generasi kita, tapi paradigma yang benar. Dan paradigma itu bukan kapitalisme, tapi Islam. []
Nabila Zidane
Jurnalis