Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pajak dalam Islam, Kiai Hafidz: Istilahnya Dharibah

Senin, 25 Agustus 2025 | 08:00 WIB Last Updated 2025-08-25T01:00:46Z

Tintasiyasi.ID -- Menurut Khadim Ma’had Syaraful Haramain Kiai Hafidz Abdurrahman, M.A. bahwa di dalam Islam juga dikenal adanya pajak, yang disebut dengan istilah dharibah.

 

“Apakah ada pajak dalam Islam?” Iya, Islam juga dikenal adanya pajak dengan istilah dharibah,” ujarnya di laman Instagram pribadinya har.030324, Selasa (19/08/2025).

 

Sebab, lanjutnya, ada dijelaskan di dalam kitab-kitab Fikih yang ditulis para ulama dahulu itu membahas yang namanya dharibah.

 

“Jadi dharibah ini adalah istilah yang digunakan dalam kitab Fikih Islam untuk menyebut adanya kewajiban yang ditetapkan negara kepada warga negara agar memberikan hartanya kepada negara,” tegasnya.

Ketentuan Dharibah


“Pertanyaannya, harta ini ditetapkan oleh negara untuk apa? Yaitu ketika negara punya kewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar rakyatnya,” jelasnya.

 

Kiai Hafidz membeberkan, kebutuhan dasar yang dijamin oleh negara itu ada dua. “Pertama, kebutuhan yang terkait dengan kebutuhan pribadi, yaitu sandang, pangan, papan. Kedua, kebutuhan kolektif yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan,” sebutnya.

 

“Itu menjadi kewajiban negara untuk memastikan bahwa rakyatnya semuanya punya akses yang sama. Tidak ada satu pun di antara mereka, kepala per kepala, jangan mengalami kekurangan,” tegasnya.

 

“Ketika negara tidak memiliki dana yang cukup untuk memastikan sampainya layanan terkait dengan kebutuhan mereka tadi, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sedangkan negara tidak ada dana, maka kewajiban itu kembali kepada umat,” terangnya.

 

Karena kewajiban itu dikembalikan kepada umat, ia melanjutkan, maka negara punya hak untuk mengambil dari umat, dan di sini umat wajib untuk memberikan hartanya.

 

“Maka inilah yang disebut oleh fukaha dengan istilah dharibah, pungutan wajib yang ditetapkan oleh negara untuk membiayai kebutuhan dasar tadi,” ulasnya.

 

“Tetapi perlu dicatat. Pertama, meskipun demikian, kebolehannya pajak tadi dilakukan karena terpaksa. Kedua, diambil hanya untuk memenuhi kebutuhan saja, tidak boleh lebih. Ketiga, diambil tidak setiap orang tetapi laki-laki yang punya kemampuan,” tandasnya.

 

“Jadi ketika dia diterapkan untuk semua kepala, nah, itu yang tidak boleh, atau melebihi kebutuhan, itu juga yang tidak boleh,” tutupnya.[] Titin Hanggasari

Opini

×
Berita Terbaru Update