Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

MUI: Kita Belum Merdeka secara Non Fisik

Rabu, 27 Agustus 2025 | 11:52 WIB Last Updated 2025-08-27T04:57:26Z

TintaSiyasi.id -- Di tengah gegap gempita perayaan hati ulang tahun (HUT) ke-80 tahun kemerdekaan Indonesia, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesja (MUI) KH. Muhyiddin Junaidi menyampaikan bahwa sebenarnya negeri ini belum merdeka secara non fisik.

"Kita belum merdeka secara non fisik, ya dari sisi psikis, sosiologis, ekonomi dan politik," tuturnya dalam program live discussion dengan tema 80 Tahun Proklamasi: Rakyat Benar Merdeka? di kanal YouTube Media Umat, Rabu (24/8/25). 

Ia mengatakan negeri ini memang sudah terbebas dari penjajahan fisik namun secara psikis kemerdekaan itu belum dapat dirasakan. 

"Kita masih menyaksikan, begitu banyak peraturan perundangan yang dibuat hanya untuk memenuhi kelompok tertentu. Siapa kelompok tertentu ini? Sekelompok kecil manusia dengan the power of money. Mereka bisa menentukan arah negeri yang tercinta ini," jelasnya.

Itulah mengapa disebut belum merdeka, lanjutnya, karena masih dikuasai oleh segelintir orang yang menjadi sang pemenang. "Kita berada di kelompok yang loses (kalah) bukan the winners (pemenang)," ucapnya.

"Kita berbicara lantang menyuarakan kebenaran, minta agar keadilan  ditegakkan. Tetapi kita justru dituduh sebagai kelompok barisan sakit hati, kelompok radikal, pendukung HTI dan FPI yang sudah dibubarkan itu kata mereka. Padahal tujuan kita hanya mengingatkan. Kenapa? Karena begitu banyak kezaliman yang dilakukan para penguasa," jelasnya.

Betapa menyedihkannya, ungkap Kiai, dalam rentang waktu 10 atau 15 tahun terakhir ini, para ketua umum partai ternyata menjadi bagian integral dari kelompok oligarki. 

"Karena itu, anggotanya sangat takut kepada keputusan ketum partai. Kalau mereka melawan kebijakan partai, nanti terkena sanksi Penggantian Antar Waktu (PAW). Jadi, Anggota Dewan lebih takut kepada kebijakan ketum daripada takut kepada Allah Swt," ungkapnya.

Dengan demikian, kritiknya, masyarakat tidak bisa berharap banyak pada anggota DPR yang biasa disebut sebagai wakil rakyat itu, yang senantiasa mengumbar janji akan memperjuangkan hak-hak rakyat. Padahal nyatanya, mereka butuh rakyat hanya pada saat kontestasi politik, realitanya setelah berkuasa justru sibuk mensejahterakan diri dan kelompoknya, bukan rakyat.

"Ya, ini sangat menyedihkan. Oleh karena itu, kita semua, apalagi tokoh ulama, kiai, pakar, cendikiawan punya tanggung jawab moral untuk terus menyuarakan keadilan, menuntut keadilan," pungkasnya.[]Tenira

Opini

×
Berita Terbaru Update