TintaSiyasi.id -- Baru-baru ini, publik digemparkan oleh temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dana bantuan sosial (bansos) sebesar Rp2,1 triliun yang mengendap di lebih dari 10 juta rekening penerima selama lebih dari tiga tahun.
Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono menyebut dana bansos yang mengendap mayoritas berada di rekening dormant di atas 5 tahun. Jumlah saldo sebesar Rp 1,3 triliun yang tersebar di kurang lebih 6 juta rekening.
Danang mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kemensos untuk menindaklanjuti dana bansos yang masih nganggur lebih dari 5 tahun itu. Akan dibahas apakah dana tersebut akan ditarik lagi ke negara atau ada mekanisme lainnya.(detik.com, 6/8/2025)
Miris memang, dana sebesar itu justru “Tidur nyenyak” di tengah gelombang kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi yang masih menjadi wajah muram negeri ini. Ini bukan sekadar cerita tentang kesalahan teknis, melainkan potret buram dari gagalnya sebuah sistem dalam mengurusi rakyatnya.
Secara teori, bansos adalah salah satu instrumen negara dalam menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Di dalamnya ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, hingga kesempatan kerja. Namun di lapangan, praktiknya jauh panggang dari api.
Kesalahan pendataan, lemahnya pengawasan, dan amburadulnya birokrasi membuat bansos sering salah sasaran. Bahkan, dalam laporan PPATK tahun 2024, ditemukan setengah juta rekening penerima bansos digunakan untuk transaksi judi online (judol).
Tak cukup sampai di situ, kini muncul fakta bahwa triliunan dana justru tidak digunakan, dibiarkan mengendap begitu saja. Ini menunjukkan bahwa bansos kerap menjadi solusi jangka pendek yang tak pernah menyentuh akar persoalan.
Kemiskinan Bukan Takdir, Tapi Akibat Salah Kelola
Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa kemiskinan tetap mengakar kuat di negeri yang kekayaan alamnya melimpah ruah? Bukankah tanah kita subur, laut kita luas, dan perut bumi kita penuh harta? Jawabannya sederhana tapi menohok, yaitu negara sedang salah urus.
Negara ini menerapkan sistem kapitalisme-sekuler, yang menjadikan ekonomi sebagai lahan basah untuk keuntungan segelintir elite. Rakyat bukan dipandang sebagai pihak yang harus diurus, melainkan objek statistik belaka. Negara tak hadir sebagai pengurus (raa’in), tapi hanya sebagai regulator, yaitu penengah antara rakyat yang papa dan pemilik modal yang rakus.
Sistem ini telah melahirkan struktur ekonomi yang timpang. Sumber daya alam yang semestinya menjadi milik publik malah dikuasai swasta dan Asing. Pendapatan negara dari hasil bumi pun tidak kembali kepada rakyat, tetapi justru dinikmati oleh segelintir elite. Maka, bagaimana bisa rakyat sejahtera jika mereka tidak punya akses terhadap kekayaan di negeri mereka sendiri?
Seperti yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, akar dari ketimpangan dan kemiskinan adalah sistem kapitalisme itu sendiri. Sistem ini telah menafikan peran negara sebagai pelayan umat dan justru menjadikannya pelayan kepentingan para pemodal.
Islam Sistem Kehidupan yang Mengangkat Martabat Rakyat
Islam tidak memandang kemiskinan sebagai komoditas atau alat politik. Dalam pandangan Islam, negara wajib hadir sebagai pelindung dan pengurus rakyat, bukan sekadar “Pemberi bantuan musiman.”
Rasulullah Saw. bersabda,
"Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus." (HR Bukhari dan Muslim)
Negara dalam Islam, yaitu khilafah akan menjamin kebutuhan dasar setiap individu, seperti pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Negara juga membuka akses luas bagi setiap laki-laki dewasa untuk bekerja dan menafkahi keluarganya. Bagi mereka yang lemah dan tidak mampu, negara bertanggung jawab penuh.
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah menjelaskan bahwa negara Islam memiliki mekanisme yang rapi dan terstruktur dalam mengatur dana publik melalui baitulmal.
Dalam struktur baitulmal, ada seksi khusus santunan yang menangani distribusi bantuan kepada fakir, miskin, musafir, orang berutang, dan pihak-pihak yang membutuhkan. Tak hanya itu, sistem Islam menjamin bahwa seluruh administrasi berjalan dengan akurat dan amanah. Dari pendataan hingga distribusi dilakukan oleh para amil yang bukan hanya kompeten secara teknis, tapi juga memiliki keimanan dan kesadaran bahwa setiap tindakan mereka akan dihisab oleh Allah Ta'ala.
Mari kita menengok sejarah. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., sistem pendataan warga sangat rinci, termasuk lamanya seseorang memeluk Islam dan berapa kali ia ikut jihad. Administrasi semacam ini tidak hanya digunakan untuk pungutan zakat, tetapi juga untuk penyaluran bantuan. Hasilnya? Tidak ada dana bansos yang mengendap tanpa sebab. Tidak ada pula rakyat yang kelaparan di tengah gemerlapnya kas negara.
Sementara di masa kini, sistem demokrasi sekuler hanya mampu menampilkan “Politik pencitraan.” Bansos menjadi komoditas elektoral. Data dimanipulasi, anggaran dikorupsi, dan rakyat tetap miskin di negeri yang kaya.
Oleh karena itu, sistem rusak kapitalisme tidak bisa diperbaiki, tapi harus diganti.
Bukan hanya pelaksananya yang bermasalah, tapi sistemnya memang sudah bobrok dari pondasinya. Kenapa? Karena kapitalisme membiarkan keserakahan menjadi norma, menghalalkan segala cara demi laba. Maka, wajar jika bansos pun tak lepas dari penyimpangan. Ia bisa digunakan untuk judi, bisa pula sekadar dipakai sebagai alat kampanye.
Sudah saatnya umat sadar: kita tidak butuh reformasi kecil-kecilan. Kita butuh revolusi sistemik. Islam tidak mengajarkan “Tambal sulam,” tapi perubahan total menuju sistem yang bersumber dari wahyu. Allah Ta'ala berfirman,
“Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, baginya kehidupan yang sempit.” (QS Thaha: 124)
Dan Rasulullah Saw. bersabda,
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya...” (HR Muslim)
Maka, melihat kemiskinan yang terus melilit, bansos yang terus salah sasaran, dan sistem yang terus menzalimi, apakah kita akan diam saja? Ataukah kita berani mengambil langkah untuk mengganti sistem ini dengan Islam kaffah?
Sadarlah, temuan PPATK hanyalah satu dari sekian banyak bukti kegagalan kapitalisme dalam mengurusi umat. Triliunan rupiah bansos mengendap tanpa manfaat, jutaan rakyat tetap menderita. Ini bukan masalah teknis, ini soal sistemik.
Islam tidak menjanjikan surga dunia, tetapi Islam telah terbukti mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan. Dalam naungan Khilafah Islamiah, setiap kebijakan dirancang untuk meraih ridha Allah dan memenuhi hak rakyat. Tidak ada “Bansos nganggur,” tidak ada “Data siluman,” dan tidak ada pengkhianatan amanah.
Kini, keputusan ada di tangan kita, tetap bertahan dalam sistem tambal sulam yang korup dan timpang, atau bangkit bersama sistem Islam yang adil dan menyeluruh. Karena sejatinya, kesejahteraan bukan diukur dari berapa besar bansos yang dikucurkan, tetapi dari seberapa benar sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis