TintaSiyasi.id -- Berita tentang fantastisnya tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat kembali menyita perhatian publik. Betapa tidak, gaji pokok anggota DPR sebesar Rp4,2 juta ternyata hanyalah puncak dari gunung es yang mengapung di lautan anggaran negara. Jika ditotal dengan tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, rumah dinas, asisten pribadi, hingga tunjangan beras dan bensin, maka pendapatan anggota DPR dapat menyentuh angka di atas Rp100 juta per bulan. (beritasatu.com, 20/8/2025)
Sungguh tak punya empati, di tengah rakyat yang bergulat dengan mahalnya harga bahan pokok, rendahnya upah minimum, dan sulitnya akses pendidikan maupun kesehatan yang layak, pemandangan ini sungguh menyayat hati. Lebih menyakitkan lagi ketika performa anggota DPR tidak sepadan dengan berbagai keistimewaan yang mereka nikmati. Rakyat bertanya-tanya, "Siapa sebenarnya yang mereka wakili?"
Kesenjangan seperti ini bukanlah kecelakaan atau kesalahan teknis semata, melainkan keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Dalam sistem ini, politik bukan lagi sarana untuk melayani rakyat, melainkan menjadi ajang transaksional yang didorong oleh kepentingan materi.
Demokrasi menempatkan akal manusia sebagai sumber hukum, menjadikan hawa nafsu dan kepentingan sebagai rujukan dalam menentukan arah kebijakan.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam menyatakan,
“Demokrasi adalah sistem kufur, karena menyerahkan hak pembuatan hukum kepada manusia, bukan kepada Allah. Dalam sistem ini, rakyat memilih wakil untuk membuat hukum, padahal hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah semata.”
Wakil rakyat dalam sistem demokrasi sesungguhnya bukanlah perpanjangan tangan umat, tetapi lebih menyerupai representasi partai dan kepentingan oligarki. Mereka memiliki wewenang menyusun anggaran termasuk anggaran bagi diri mereka sendiri yang tentu saja rawan disalahgunakan. Tak heran jika jabatan kerap dijadikan jalan pintas untuk memperkaya diri dan memperluas jejaring kekuasaan.
Wajah Wakil Rakyat: Antara Representasi dan Realita
Dalam sistem demokrasi, jabatan wakil rakyat seringkali kehilangan ruh pengabdian. Yang tampak adalah perilaku konsumtif, hedonistik, dan tidak peka terhadap penderitaan rakyat.
Ketika rakyat mengeluh soal tarif listrik, mereka membahas subsidi mobil listrik. Ketika petani menjerit karena harga pupuk melambung, mereka sibuk debat siapa yang paling layak nyapres. Bahkan, tak jarang ruang sidang hanya diisi barisan bangku kosong atau anggota yang tertidur lelap saat rapat paripurna.
Rasulullah Saw pernah mengingatkan dalam sebuah hadis,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, jabatan bukanlah karpet merah menuju kekayaan, melainkan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Betapa besar azab bagi pemimpin yang menelantarkan rakyat demi kepentingan pribadi.
Sistem Politik Islam Tanpa Korupsi Kekuasaan
Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), lembaga perwakilan umat (Majelis Umat) memiliki peran yang sangat berbeda. Mereka bukan pembuat hukum, karena hukum bersumber dari syariat Islam. Fungsi mereka adalah menyampaikan aspirasi, mengontrol penguasa, dan memberikan masukan atas kebijakan negara. Mereka dipilih karena integritas dan ilmu, bukan karena popularitas atau logistik politik.
Yang menjadi asas dalam Islam adalah akidah Islam. Setiap pejabat terikat oleh syariat, bukan oleh lobi politik. Mereka tidak diberi keleluasaan menentukan sendiri gaji dan tunjangan. Pengelolaan harta umat dilakukan dengan sangat ketat.
Dalam sejarah khilafah, para pejabat bahkan diperiksa kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Jika ditemukan penambahan yang tidak wajar, akan disita untuk Baitul Mal.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Muqaddimah ad-Dustur menegaskan bahwa,
“Penguasa dan pejabat dalam negara Islam tidak berhak mengatur kebijakan sesuai hawa nafsu atau kepentingan golongan. Semua harus tunduk pada hukum syara’. Jika menyimpang, maka umat wajib mengoreksi bahkan mencabut kekuasaannya."
Mari kita bandingkan dengan para pemimpin Islam terdahulu. Khalifah Umar bin Khattab ra. dikenal sangat ketat dalam mengatur pengeluaran negara. Beliau tidak mengambil gaji yang besar, bahkan pernah memikul sendiri karung gandum untuk membantu rakyatnya yang kelaparan.
Begitu pula Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketika dilantik menjadi khalifah, beliau langsung memulangkan semua fasilitas negara yang sebelumnya ia gunakan saat menjadi gubernur. Beliau memadamkan lampu minyak di ruang kerja saat hendak membahas urusan pribadi, agar tidak mencampuradukkan harta negara dengan milik sendiri.
Kepemimpinan seperti inilah yang lahir dari keimanan dan rasa takut kepada Allah Swt. Sebab mereka sadar, setiap kebijakan, setiap rupiah dari harta umat yang mereka kelola, akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Oleh karena itu, sudah saatnya kembali pada sistem yang menjamin amanah. Selama sistem demokrasi kapitalisme masih dipertahankan, fenomena tunjangan fantastis dan perilaku wakil rakyat yang tak berpihak pada umat akan terus berulang.
Kita tidak bisa hanya berharap pada individu yang baik dalam sistem yang rusak. Kita butuh sistem yang membentuk individu-individu amanah dan membatasi ruang bagi kesewenang-wenangan.
Allah Swt berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 44,
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”
Perubahan sejati bukan sekadar mengganti orang, tetapi mengganti sistem yang rusak dengan sistem Islam yang adil dan amanah. Kita butuh khilafah yang akan mencetak pemimpin-pemimpin bertakwa, yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang amal, bukan lahan memperkaya diri.
Pemimpin bertakwa paham betul bahwa jabatan adalah amanah, bukan panggung untuk menumpuk kekayaan.
Tunjangan DPR yang luar biasa tinggi, sementara rakyat dicekik kesulitan ekonomi, adalah buah dari sistem yang menjadikan kekuasaan sebagai komoditas. Sistem ini harus dihentikan, diganti dengan sistem Islam yang meletakkan akidah sebagai asas dan syariat sebagai hukum tertinggi.
Kita membutuhkan wakil umat, bukan wakil partai atau wakil kepentingan elite. Kita mendambakan pemimpin yang takut kepada Allah, bukan takut kehilangan jabatan. Dan untuk itu, hanya Khilafah Islamiyah yang mampu mewujudkannya. []
Nabila Zidane
Jurnalis