TintaSiyasi.id -- Menanggapi kenaikan PBB di Pati mencapai 250 persen, Direktur Indonesia Justice Monitor Ustaz Agung Wisnuwardana, mengatakan, cermin dari masalah besar tata kelola negeri.
"Kenaikan PBB di Pati sampai 250 persen bukan sekadar salah hitung ini cermin dari masalah besar tata kelola negeri," ungkapnya di akun TikTok agung.wisnuwardana, Jumat (15/8/2025).
Ia menjelaskan, kenaikan PBB ini tidak lepas dari pemangkasan dana transfer pusat di APBN 2025, seperti dana alokasi umum, alokasi khusus, bahkan dana desa, semuanya dipangkas, totalnya puluhan triliun rupiah.
"Padahal sebagian daerah di Indonesia masih sangat bergantung pada transfer pusat, ketika dana itu berkurang, daerah kelimpungan menutup biaya pelayanan publik, infrastruktur dan gaji pegawai, sumber pendapatan daerahlah yang paling gampang digenjot pajak, termasuk PBB P2 yang dibayar langsung oleh rakyat," terangnya.
Tetapi, ia menjelaskan lebih lanjut, masalah kenaikan ini jauh lebih dalam dari sekadar bupati butuh duit, sistem keuangan negara dibangun dari pajak sebagai tulang punggung APBN. "Setiap tahun lebih dari 70 persen bersumber dari pajak, sementara SDA, SDA strategis seperti minyak, gas, tambang, hutan, bahkan air di swastanisasi, negara hanya menjadi regulator menerima royalti dan pajak kecil dari perusahaan yang mengelola," ungkapnya.
"APBN dan APBD dibangun diatas pungutan pajak rakyat bukan dari kekayaan alam yang melimpah, ini bukti jelas penerapan sistem kapitalisme yang memeras rakyat lewat pajak," ungkapnya.
Ia menyangkan, SDA yang nilainya ribuan triliun rupiah tetapi masuk ke kantong kas negara hanya secuil inilah logika kapitalisme, kekayaan publik menjadi komoditas segelintir pihak, rakyat dibebani pajak untuk membebani negara.
Sistem Keuangan Negara Islam
Dalam sistem Islam, ia menjelaskan, pajak bukan sumber utama pendapatan negara. Negara memiliki baitul mal dan sumber utamanya ada tiga, pertama kepemilikan umum, sumber daya alam strategis dikelola negara hasilnya untuk rakyat, kedua kepemilikan negara seperti fai, kharaj, jizyah, ghanimah kemudian ada zakat khusus untuk fakir miskin dan 8 asnaf bukan untuk belanja umum.
"Pajak atau dharibah hanya diambil jika Baitul mal kosong dan kebutuhan mendesak dan itupun (dipungut) dari orang kaya saja, artinya rakyat biasa tidak dibebani pajak rutin, negara bisa membiayai pendidikan gratis, layanan kesehatan, infrastruktur dan keamanan tanpa menggerogoti kantong rakyat," urainya.
Sehingga, kalau sumber daya alam dikelola negara hasil tambang, nikel, emas baru bara masuk penuh ke kas negara, pendapatan energi bisa mensubsidi listrik dan bahan bakar rakyat, hutan dan air dikelola untuk kesejahteraan bukan diserahkan ke korporasi dengan model ini negara tidak perlu memalak rakyat lewat pajak untuk membiayai operasionalnya.
"Beda jauh dengan sistem sekarang sistem kapitalisme yang membuat pajak dari sumber utama dan selalu naik tiap ada defisit," cecarnya.
Ia menyimpulkan, kasus Pati adalah alarm, selama rakyat bertahan di sistem kapitalisme pajak akan terus menjadi tumpuan (APBN), SDA akan terus dikuasai swasta, dan rakyat akan selalu menjadi korban.
"Akar masalahnya penerapan sistem kapitalisme, karena itu solusinya adalah mencabut sistem kapitalisme ini dan menggantinya dengan sistem Islam yang adil, mandiri dan mensejahterakan rakyat, perubahan ini butuh kesadaran kolektif, keberanian dan gerakan bersama dan perubahan itu dimulai dari kesadaran anda hari ini," pungkasnya. [] Alfia Purwanti