TintaSiyasi.id -- Tanya:
Ustaz, bagaimana Ustaz merespon pendapat seorang ustaz yang tidak membolehkan membaca surat Al-Fatihah ketika kita memulai suatu acara, misal pengajian, atau belajar mengajar, atau majelis akad nikah, dsb. Selengkapnya ustaz itu mengatakan: “Hukum membaca surat Al-Fatihah pada setiap pembukaan suatu acara dan ketika akan berdoa adalah tidak boleh, karena Nabi SAW sejak diangkat dan diutus oleh Allah sebagai Nabi dan Rosul hingga beliau wafat tidak pernah mengamalkannya, atau pun mengajarkannya kepada para sahabat.” (Hamba Allah, Yogyakarta).
Jawab:
Ada ikhtilāf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai masalah ini, yaitu membaca surat Al-Fatihah untuk mengawali suatu acara atau forum. Misalnya, sebelum acara pengajian, sebelum forum akad nikah, sebelum tabligh akbar, dsb.
Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini, yaitu:
Pertama, tidak boleh, dengan alasan Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah melakukan perbuatan itu, yaitu membaca Al-Fatihah untuk memulai atau mengawali suatu kegiatan.
Dalil pendapat pertama ini adalah kaidah ushul fiqih yang berbunyi :
لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ
Law kāna khairan lasabaqūnā ilayhi.
Artinya, “Andaikata suatu perbuatan itu baik, niscaya mereka (generasi salafus shalih, yaitu Nabi SAW, shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in) sudah pasti akan mendahului kita (dalam melakukannya).”
Jadi yang menjadi hujjah (dalil) adalah : perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Ulama yang memegang pendapat pertama ini, menisbatkan pendapat ini sebagai pendapat Ahlus Sunnah, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama sebagai berikut :
وَأَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، فَيَقُولُونَ: فِي كُلِّ فِعْلٍ وَقَوْلٍ لَمْ يَثْبُتْ عَنْ الصَّحَابَةِ: هُوَ بِدْعَةٌ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إلَيْهِ
“Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka mereka mengatakan,’Dalam setiap perbuatan dan perkataan yang tidak terbukti pernah dilakukan oleh para shahabat, maka perbuatan itu adalah bid’ah, karena andaikata perbuatan itu baik, pasti mereka akan mendahului kita dalam melakukannya.” (Shālih bin Muhammad ‘Arafāt dkk, _Al-Yasīr fī Ikhtishār Tafsīr Ibnu Katsīr,_ 26/1650).
Kedua, boleh hukumnya mengawali suatu kegiatan dengan membaca surat Al-Fatihah. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, I’lām Al-Muwaqqi’īn, Juz VI, hlm. 198, cet. Dār Ibnul Jauzī).
Dalilnya, walaupun perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat, akan tetapi tidak berarti perbuatan itu otomatis bid’ah atau haram dilakukan. Terdapat dalil bahwa surat Al-Fatihah itu membawa keberkahan.
Surat Al-Fatihah sudah diketahui mempunyai keberkahan, maka dari itu tidak ada salahnya membacanya di awal acara demi mendapat keberkahan berupa kelancaran acara. Sebagai contoh, dalam sebuah hadits shahih, terdapat riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, bahwa dalam suatu perjalanan, para shahabat menginap di suatu kampung. Kemudian ada pengumuman dari warga kampung itu bahwa pemimpinnya digigit binatang berbisa (ular, dsb) bahwa siapa saja yang bisa menyembuhkan dia, akan diberi hadiah sejumlah kambing. Lalu ada shahabat yang merukyah orang yang digigit ular binatang berbisa itu dengan membaca surat al Fatihah, dan sembuh, lalu mendapat hadiah berupa sejumlah kambing. Shahabat itu lalu melaporkan kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW membenarkannya (tidak melarangnya). (HR Al-Bukhari, dari Abu Said Al Khudri RA).
Dalil pendapat kedua ini adalah kaidah ushul fiqih yang berbunyi :
التَّرْكُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ
At-Tarku laysa bihujjah.
Artinya, “Perbuatan yang ditinggalkan (tidak dilakukan) oleh Rasulullah, tidak dapat menjadi hujjah (dalil) (bahwa perbuatan itu dilarang).” (Abu Al-Fadhl ‘Abdullah Muhammad Shiddiq Al-Ghumārī, Husnu Al-Tafahhum wa Al-Dark li Mas`alat al-Tarki, hlm. 3)
Pendapat yang rājih (lebih kuat) dari dua pendapat tersebut, adalah pendapat kedua, yaitu boleh hukumnya membaca surat Al-Fatihah di awal suatu acara atau forum. Hal itu karena kaidah ushul fiqih yang rājih (lebih tepat/kuat) adalah kaidah ushuliyah yang berbunyi :
عَدَمُ فِعْلِ الرَّسُولِ لِلشَّيْءِ لَا يَدُلُّ عَلَى مَنْعِ فِعْلِهِ
‘Adamu fi’li al-rasūl lā yadullu ‘alā man’i fi’lihi.
Artinya, ”Tidak dilakukannya suatu perbuatan oleh Rasulullah, bukan berarti perbuatan itu haram/bid’ah.” (‘Alī Rāghib/Taqiyuddin An-Nabhani, Ahkām al-Shalāt, hlm. 43).
Jadi, yang menjadi dalil itu adalah ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh Nabi SAW, bukan ketika suatu perbuatan itu tidak dilakukan oleh Nabi SAW.
Pelu diketahui, hadis Nabi SAW tidak hanya berupa contoh atau perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tetapi selengkapnya mencakup 3 (tiga) hal yang semuanya dari Nabi SAW, yaitu:
Pertama, perkataan Nabi SAW.
Kedua, perbuatan Nabi SAW.
Ketiga, persetujuan atau diamnya Nabi SAW (taqrīr).
Terlebih lagi, terbukti bahwa para shahabat Nabi SAW telah melakukan sejumlah perbuatan yang tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Nabi SAW, tetapi walau demikian, mereka melakukannya dan tidak dianggap sebagai suatu perbuatan bid’ah atau haram.
Contohnya, pengumpulan Al-Qur`an di zaman Abu Bakar Shiddiq. Perbuatan ini tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi walau demikian, pengumpulan Al-Qur`an ini dilakukan juga oleh Abu Bakar Shiddid, radhiyallāhu ‘anhu. (HR. Al-Bukhari, lihat Muhammad ‘Alī Al-Shābūnī, Al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur`ān, hlm. 54-55).
Kesimpulannya, membaca surat Al-Fatihah ketika mengawali suatu acara atau forum, ada khilāfiyyah di antara ulama, yakni ada ulama yang mengharamkan namun ada pula ulama yang membolehkan. Pendapat yang lebih kuat (rājih), adalah pendapat yang membolehkan. Wallāhu a’lam. []
Yogyakarta, 15 Agustus 2025
Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Kontemporer
www.fissilmi-kaffah.com
www.shiddiqaljawi.com