TintaSiyasi.id -- Absolute power corrupts absolutely. Begitulah kira-kira ungkapan yang dipopulerkan oleh Lord Acton pada abad ke-19. Ungkapan ini bermakna kekuasaan yang absolut pasti merusak. Ungkapan ini menekankan bahwa kekuasaan yang tidak terbatas cenderung disalahgunakan hingga pada akhirnya menyebabkan korupsi.
Hari ini korupsi begitu marak terjadi, termasuk di Indonesia. Di awal tahun 2025 kita digegerkan dengn munculnya Liga Korupsi dengan nilai yang pantastis. Belum lagi presiden kita yang sebelumnya menjabat masuk ke dalam deretan nominasi tokoh terkorup 2024 oleh OCCRP.
Kasus-kasus yang baru-baru ini berhasil diungkap dan sedang ditangani diantaranya korupsi CPO (Crude Palm Oil) oleh PT. Wilmar Group dengan nilai Rp11,8 triliun. (tempo.co 21/6/2025) Kemudian dalam dunia pendidikan kasus dugaan korupsi pengadaan laptop di Kemendikbudristek senilai Rp9,9 triliun di tahun 2019-2023, korupsi minyak mentah pertamina senilai Rp193,7 triliun, hingga kasus korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) dengan nilai Rp2,1 triliun. (monitorindonesia.com, 19/6/2025)
Dari banyaknya deretan kasus yang terjadi, banyak diantaranya menjerat pejabat publik atau mereka yang memiliki kekuasaan. Seolah kekuasaan menjadi pintu masuk bagi tindak korupsi.
Padahal jika kita kaitkan dengan ungkapan Lord Acton, bahwa kekuasaan bisa disalahgunakan sampai menyebabkan korupsi ketika kekuasaannya absolut. Sementara ketika kapitalisme berdiri mereka membagi kekuasaan menjadi beberapa bagian (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan membatasi kekuasaan tersebut pada kurun waktu tertentu sebagai cara untuk mengantisipasi korupsi terjadi. Namun pada faktanya cara seperti itu tidak menghalangi niat busuk dari para penjahat yang berkedok pejabat.
Hal ini menjadi wajar karena dalam sistem demokrasi-kapitalis merupakan sistem yang berbiaya mahal. Tidak mudah untuk menduduki sebuah jabatan tertentu jika tanpa mengandalkan kekuatan uang. Sehingga bagi mereka yang ingin menduduki sebuah posisi akan mencari modal sebanyak-banyaknya demi peluang besar yang akan ia hasilkan. Maka menjadi hal yang wajar saat berhasil menduduki posisi tersebut ia akan berusaha meraih untung sebesar-besarnya atas modal yang ia keluarkan sebanyak-banyaknya. Belum lagi dengan berbagai macam kebutuhan yang mahal dan gaya hidup hedonis yang meniscayakan melakukan perbuatan apapun agar keinginannya bisa terpenuhi.
Hal ini menjadi bukti bahwa sistem demokrasi-kapitalis tidak mampu memberikan kesejahteraan rakyat dengan melanggengkan korupsi. Politik demokrasi yang dijalankan menyuburkan politik transaksional yang menjadikan amanah kekuasaan hanya sebagai alat transaksi antara penguasa dan pemilik modal, sementara rakyat hanya menjadi korban dari kerakusan-kerakusan manusia tidak bertanggungjawab. Dampak lanjutannya adalah menumbuhsuburkan korupsi dalam semua level dalam tatanan masyarakat.
Berbeda dengan Islam sebagai aturan yang lahir dari Sang Pencipta. Islam meniscayakan kepemimpinan berasaskan aqidah sehingga kehidupan berjalan sesuai tuntunan syariat, bukan hidup ala barat. Kepemimpinan yang disertai moral kebaikan dengan ditunjang amar makruf nahi munkar hingga terwujudlah masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Islam memiliki seperangkat aturan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk menjadikan jabatan bukan sekedar meraih kekuasaan, tetapi amanah yang perlu di jalankan dan kelak akan dipertanggungjawabkan. Sehingga mampu meminimalisir munculnya kasus-kasus pelanggaran dalam penyalahgunaan jabatan dan korupsi. Secara bersamaan Islam juga mampu menjaga iklim harmonis dalam kehidupan masyarakat dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidak membuka celah pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum.
Semua itu bisa terjadi ketika Islam diterapkan secara kaaffah dalam sebuah sistem negara, yakni khilafah Islamiyah. Seperti dalam sejarah keemasan Islam diperlihatkan bagaimana fakta Khilafah Islamiyah menjadikan masyarakat hidup damai dan sejahtera tanpa korupsi dan penyimpangan-penyimpangan terhadap hukum. Maka solusi hakiki bagi korupsi yang terus menjadi adalah Islam yang diterapkan dalam sistem negara, bukan hanya ranah pribadi.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Firdayanti Solihat
(Aktivis Muslimah)