TintaSiyasi.id -- Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 menyatakan bahwa pajak memiliki kedudukan yang sama dengan zakat dan wakaf, karena dianggap sebagai bentuk distribusi harta untuk kepentingan rakyat.
Sri Mulyani menjelaskan dalam konteks kebijakan fiskal, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kembali ke masyarakat dalam berbagai bentuk. Seperti program perlindungan sosial, hingga subsidi yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat. Terutama kelompok berpendapatan rendah.
Jadi kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Pasalnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan.(cnbcindonesia.com, 14/8/2025)
Pernyataan ini bukan hanya menyesatkan dari sudut pandang syariah, tetapi juga menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman para pemangku kebijakan terhadap konsep keadilan dalam Islam.
Perlu dipahami bahwa zakat adalah kewajiban syar’i yang bersumber langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia merupakan rukun Islam yang ketiga dan telah ditetapkan jumlah, waktu, dan mustahiq (penerima)nya dengan sangat rinci. Zakat bukan hanya urusan sosial, tapi juga ibadah yang bersifat transenden, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan harta.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surah At-Taubah ayat 103 yang artinya, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka."
Zakat wajib dikelola oleh negara dan hanya didistribusikan kepada delapan asnaf sebagaimana disebut dalam QS At-Taubah ayat 60. Negara tidak boleh mengubah arah distribusi zakat seenaknya. Bahkan negara tidak berhak mengalihkan zakat ke sektor lain yang tidak ditetapkan syariat.
Sedangkan pajak adalah instrumen buatan manusia sekuler yang bersifat memaksa dan tidak memiliki batasan syar’i dalam pengambilannya. Dalam sistem kapitalisme, pajak dikenakan secara menyeluruh kepada rakyat tanpa mempertimbangkan tingkat kekayaan atau kemampuan individu. Bahkan rakyat miskin pun ikut menanggung beban pajak melalui PPN, pajak kendaraan, cukai, dan lain sebagainya. Dalam kondisi normal, memungut pajak dari rakyat (apalagi dari rakyat miskin) adalah bentuk kezaliman yang nyata.
Dalam sistem Islam, pajak hanya diambil dalam kondisi darurat, misalnya saat negara mengalami kelangkaan harta (kas baitul mal kosong) atau dalam kondisi perang, dan itupun hanya dari orang-orang kaya.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, "Negara Islam tidak memungut pajak secara tetap dari rakyatnya. Bila terjadi kebutuhan dana yang mendesak, negara hanya boleh meminta dari kaum Muslim yang kaya saja."
Namun dalam sistem liberal sekuler, negara justru menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama, padahal Indonesia diberkahi sumber daya alam yang luar biasa. Kekayaan tambang, laut, hutan, dan energi dikuasai asing atau swasta, sementara rakyat dicekik dengan berbagai jenis pajak.
Padahal dalam Islam, sumber daya alam yang bersifat umum (seperti air, api, padang rumput, dan tambang besar) merupakan milik umat. Negara hanya bertugas mengelola dan mendistribusikannya kembali untuk kemaslahatan rakyat, bukan dijual kepada korporasi asing.
Rasulullah SAW bersabda, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api (energi)." (HR Abu Dawud)
Ketika negara menjual aset-aset tersebut, lalu menggunakan pajak sebagai sumber utama APBN, di situlah letak kezalimannya.
Keadilan dalam Sistem Khilafah
Khilafah Islam bukan hanya konsep ideal, tapi sistem nyata yang pernah eksis selama lebih dari 13 abad. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sulit ditemukan mustahiq zakat karena rakyatnya sejahtera. Bahkan pada masa Harun al-Rasyid, kekayaan negara begitu melimpah hingga kesulitan mencari penerima zakat.
Negara Islam membiayai seluruh kebutuhan dasar rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan tanpa pungutan pajak tetap. Sebab sumber pendapatan negara sangat cukup dari pengelolaan harta milik umum, kharaj, jizyah, ghanimah, dan lain-lain.
Jadi menyamakan zakat dengan pajak adalah bentuk penyimpangan yang tidak bisa ditolerir. Zakat adalah perintah Allah yang telah ditetapkan mekanismenya. Pajak adalah instrumen negara sekuler yang lahir dari kegagalan sistem kapitalisme dalam menjamin kebutuhan rakyat.
Maka ketika Menteri Keuangan menyatakan bahwa pajak bagian dari ekonomi syariah, itu justru menjadi bukti bahwa yang disebut ekonomi syariah hari ini hanyalah tempelan. Bukan sistem yang kaffah, tapi kosmetik kapitalisme agar tampak islami.
Jika benar negara ini ingin menegakkan keadilan sosial berbasis Islam, maka langkah pertamanya bukan menyamakan pajak dengan zakat, melainkan mencampakkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam yang sesungguhnya.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Nabila Zidane
Jurnalis