TintaSiyasi.id -- Saat ini, masyarakat Indonesia menghadapi berbagai tantangan ekonomi yang signifikan, termasuk gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan kenaikan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) di beberapa daerah. Kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran telah memicu efek domino yang memberatkan masyarakat, termasuk kenaikan PBB sebagai konsekuensi dari pengurangan dana APBN untuk transfer ke daerah, sehingga pemerintah daerah terpaksa mencari sumber pendapatan alternatif.
Di waktu yang bersamaan anggota DPR justru mendapat berbagai macam tunjangan sehingga pendapatan resmi mereka mencapai Rp.100 juta per bulan. Banyak pengamat menilai bahwa langkah ini tidak tepat di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat dan dinilai tidak sebanding dengan kinerja DPR yang dinilai kurang memuaskan.
Berikut tunjangan per bulan anggota DPR yang diatur dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan pada Surat Menteri Keuangan nomor S-520/MK.02/2015, mulai dari tunjangan istri/suami Rp.420.000, tunjangan anak Rp168.000, uang sidang/paket Rp2.000.000, tunjangan jabatan Rp9.700.000, tunjangan beras Rp30.090 per jiwa, dan tunjangan PPh Pasal 21 Rp 2.699.8132. Tunjangan lain anggota DPR yaitu tunjangan kehormatan Rp5.580.000, tunjangan komunikasi, Rp15.554.000, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran Rp3.750.000 bantuan listrik dan telepon Rp7.700.000
asisten anggota Rp2.250.000.
Selain itu, mereka juga menerima gaji pokok yang telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000, yaitu: Ketua DPR sebesar Rp 5.040.000 per bulan, Wakil Ketua DPR sebesar Rp 4.620.000 per bulan, dan Anggota DPR sebesar Rp 4.200.000 per bulan. Jika dijumlahkan semua, maka seorang anggota DPR dapat membawa pulang uang setidaknya sebesar Rp.54.051.903 per bulan di luar tunjangan rumah, uang perjalanan dinas, dan dana ke daerah pemilihan yang dulu dikenal dengan dana aspirasi (bbc.com, 19/08/2025)
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, kesenjangan ekonomi dan kekuasaan adalah hal yang tidak dapat dihindari. Politik transaksional menjadi hal yang lumrah, di mana uang dan materi menjadi tujuan utama.
Para penguasa dan wakil rakyat sering kali menentukan anggaran yang menguntungkan kepentingan mereka sendiri, sementara jabatan digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri. Akibatnya, empati terhadap rakyat yang mereka "wakili" seringkali hilang dan amanah sebagai wakil rakyat diabaikan demi kepentingan pribadi.
Dalam sistem demokrasi, tugas dan wakil rakyat seringkali didasarkan pada asas sekuler dan kepentingan manusia. Sedangkan dalam sistem Islam, asas utama adalah akidah Islam dan syariat Allah yang menjadi pedoman utama. Dalam sistem Islam, Majelis Umat berfungsi sebagai lembaga perwakilan umat yang memberikan pendapat dan nasihat kepada Khalifah dalam berbagai urusan. Mereka berperan dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap pejabat pemerintahan, serta menjadi mitra dalam proses musyawarah.
Namun, berbeda dengan parlemen dalam sistem demokrasi, Majelis Umat tidak memiliki fungsi legislasi hukum atau pengaturan anggaran, melainkan lebih fokus pada fungsi kontrol dan musyawarah sebagai wakil umat. Dalam sistem Islam, legislasi hukum tidak berarti menciptakan hukum baru, melainkan mengadopsi dan menerapkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah melalui keputusan khalifah. Sehingga yang terbentuk dalam sistem Islam adalah individu yang memegang jabatan akan bertanggung jawab di hadapan Allah SWT, termasuk amanah sebagai wakil umat.
Keimanan menjadi landasan moral yang kuat untuk menjalankan amanah dengan integritas dan ketaatan pada aturan syariat, tanpa memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Setiap muslim wajib memiliki kepribadian Islam termasuk anggota majelis umat, dengan semangat fastabiqul khairat akan menjalankan Amanah sebagai wakil umat. Upaya untuk riayatusy syuunil ummah (mengurusi urusan umat) begitu kuat dalam sistem Islam.
Demikian halnya motivasi untuk muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa). Ini semua karena landasannya adalah amar makruf nahi mungkar sehingga semua pihak berlomba-lomba untuk mewujudkan kebaikan dalam konteks pelaksanaan dan penerapan syariat kaffah. []
Oleh: Mariah Hati
Aktivis dan Pendidik