Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tanah Terlantar dan Cengkeraman Kapitalisme

Senin, 28 Juli 2025 | 11:25 WIB Last Updated 2025-07-28T04:25:55Z

TintaSiyasi.id -- Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) kembali menekankan aturan mengenai tanah terlantar: tanah yang dibiarkan tidak digunakan selama dua tahun dapat diambil alih oleh negara. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Hal ini ditegaskan kembali oleh Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN, Dalu Agung Darmawan, yang menyatakan bahwa ketentuan berlaku untuk seluruh hak atas tanah yang tidak digunakan, baik itu hak milik, HGB, HGU, hak pakai, maupun hak pengelolaan (Kompas.com, 12/07/2025). Ia menyebutkan bahwa penarikan tanah akan melalui prosedur panjang, mulai dari verifikasi hingga tiga kali peringatan, sebelum akhirnya menjadi tanah negara.

Sekilas kebijakan ini terkesan berpihak pada kepentingan publik, namun dalam sistem kapitalisme yang mendasari kebijakan tersebut, tanah tidak dipandang sebagai amanah yang harus dikelola demi kemaslahatan umat. Ia diperlakukan sebagai komoditas, yang bernilai hanya jika menguntungkan secara finansial. Maka, pengambilalihan tanah seringkali bukan demi rakyat, tetapi demi investasi dan kepentingan korporasi.

Faktanya, tanah-tanah yang berada dalam skema Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) lebih banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, sementara rakyat kecil kesulitan sekadar memiliki sebidang tanah untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang. Negara lebih berperan sebagai fasilitator pemodal, bukan pelindung hak rakyat. Kebijakan tentang tanah terlantar bahkan dapat menjadi celah legal untuk mengalihkan lahan ke tangan oligarki.

Di sisi lain, tak sedikit tanah milik negara yang justru terbengkalai tanpa rencana pemanfaatan yang jelas. Tidak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, tidak pula dikelola untuk kemaslahatan umum. Hal ini membuka peluang penyalahgunaan aset negara demi kepentingan elite tertentu, sementara rakyat kembali menjadi korban ketimpangan penguasaan lahan.

Pengelolaan tanah yang selalu dikaitkan dengan keuntungan anggaran adalah cermin dari kerusakan paradigma kapitalistik. Dalam logika kapitalisme, tanah hanya bernilai jika bisa dimonetisasi. Padahal, tanah adalah sumber kehidupan dan keberkahan, bukan sekadar produk jual beli.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam menempatkan tanah sebagai bagian dari pengelolaan amanah Allah SWT. Dalam sistem Khilafah, tanah diklasifikasikan menjadi tiga jenis kepemilikan: milik individu, milik negara, dan milik umum. Tanah-tanah milik negara dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk dijual kepada asing, bukan pula untuk dikonsesikan kepada korporasi. Negara dilarang memberikan kepemilikan tanah negara kepada individu atau swasta secara tetap, apalagi dalam jumlah besar tanpa batas.

Islam juga memiliki mekanisme yang jelas dalam mengelola tanah terlantar. Jika seseorang diberikan tanah oleh negara namun tidak mengelolanya selama tiga tahun berturut-turut, maka tanah itu akan ditarik dan diberikan kepada orang lain yang mampu memanfaatkannya. Hal ini bukan sekadar teori, tapi telah diterapkan secara nyata dalam sejarah pemerintahan Islam.

Contoh nyatanya adalah kebijakan Umar bin al-Khaththab ra. saat menaklukkan wilayah Irak. Setelah wilayah itu masuk dalam kekuasaan Islam, Umar tidak langsung membagikan tanah-tanah pertanian subur di Irak kepada pasukan penakluk. Sebaliknya, Umar justru menahan pembagian tanah dan menetapkannya sebagai tanah kharajiyah (tanah milik negara), yang dikelola oleh petani lokal dengan membayar kharaj kepada baitul mal. Dengan cara ini, lahan tetap produktif, petani tetap bekerja, dan hasilnya dimanfaatkan untuk kebutuhan umum.

Umar berkata: “Aku khawatir jika aku membagikan tanah ini kepada kalian, generasi setelah kalian tidak akan memiliki apa-apa. Maka biarlah tanah ini dikelola oleh mereka (penduduk lokal) dan hasilnya menjadi pemasukan negara untuk kemaslahatan umat.

Contoh lain adalah pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia secara aktif menarik kembali tanah-tanah yang diambil secara zalim oleh para pejabat atau keluarga penguasa sebelumnya, lalu mendistribusikannya kepada rakyat miskin yang berhak. Dalam tempo kurang dari dua tahun, kebijakan agraria Islam ini berhasil menghapus kemiskinan hingga hampir tak ditemukan orang yang mau menerima zakat.

Semua ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanah dalam Islam bukan retorika, tapi sistem nyata yang telah terbukti adil dan produktif. Bukan sekadar menghindari penelantaran, tapi menciptakan ekosistem agraria yang memberdayakan rakyat.

Sangat jelas, solusi mendasar dari persoalan tanah saat ini bukan sekadar pada perbaikan regulasi, melainkan perubahan sistemik. Sistem kapitalisme telah gagal menjadikan tanah sebagai sarana kesejahteraan bersama. Sebaliknya, hanya Islam dalam naungan Khilafah yang mampu mengelola tanah dengan adil dan berkah, berlandaskan hukum syariah, bukan kepentingan ekonomi semata.

Khilafah bukan hanya penjaga tanah, tetapi pemelihara kesejahteraan dan pelindung hak milik umat. Dengan syariah, tanah tidak akan jadi rebutan oligarki, tapi jadi sumber kehidupan bagi seluruh rakyat. Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Mahrita Julia Hapsari
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update