Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Bendera One Piece Dikibarkan: Inikah Simbol Perlawanan atas Ketidakberdayaan?

Selasa, 05 Agustus 2025 | 16:26 WIB Last Updated 2025-08-05T09:26:41Z
TintaSiyasi.id -- Ada fenomena unik jelang HUT RI ke-80. Biasanya bendera merah putih banyak berkibar, tapi beberapa hari ini bendera One Piece-lah yang mengangkasa. Bendera bajak laut dari serial anime dan manga Jepang berjudul “One Piece” tersebut dikibarkan di berbagai tempat, mulai dari pagar rumah, perahu kayu, hingga mobil truk.

Dilansir dari onepiece.fandom.com, bendera yang dikenal sebagai Jolly Roger ini adalah lambang utama kru bajak laut dalam dunia fiksi One Piece. Dalam versi paling populer, bendera tersebut menampilkan tengkorak manusia di atas dua tulang bersilang, desain klasik yang mencerminkan simbol bajak laut. Lebih dari sekadar tanda bahaya, Jolly Roger dalam serial One Piece memiliki makna lebih dalam.

Dalam dunia animasi One Piece, beberapa tokoh bahkan menjadikan Jolly Roger sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan absolut dan penindasan. Di beberapa cerita, simbol ini juga dipakai untuk menandai wilayah kekuasaan, bentuk proteksi, atau kritik terhadap dominasi Pemerintah Dunia. Di dunia nyata, pengibaran bendera One Piece dipandang sebagai bentuk ekspresi masyarakat, baik sebagai penggemar budaya pop, maupun sebagai bentuk kritik terhadap kondisi sosial dan pemerintahan (kompas.com, 1/8/2025). 

Ketika ruang kritik terhadap kekuasaan kian sempit - bahkan mural di dinding saja diawasi - jadilah ekspresi perlawanan, kekecewaan, hadir lewat bendera One Piece. Terlepas dari pandangan hukum negara terhadap bendera tak resmi ini, semestinya pemerintah peka terhadap sentilan warga berupa kibaran "si bajak laut". Menjadi evaluasi, apakah selama ini telah optimal mengemban amanah mengurusi rakyat atau justru menindas hak-hak mereka. 

Penyebab Bendera One Piece Jadi Tren untuk Dikibarkan

80 tahun merdeka, nyatanya bangsa ini belum bahagia dan sejahtera. Secara fisik, memang penjajahan negara lain tidak ada. Namun, rasa dijajah masih belum sirna. Mirisnya, peran penjajah justru digantikan oleh para penguasa negeri sendiri. 

Rakyat dipaksa bayar aneka pajak, sementara sumber daya alam milik rakyat diserahkan pengelolaannya pada oligarki bahkan asing.  Akhirnya rakyat membeli hasilnya dengan harga tinggi. Di sisi lain, ekonomi rakyat tambah ngos-ngosan. PHK di mana-mana. Pengangguran meraja. Harga kebutuhan pokok masih menyala. 

Itu hanyalah beberapa kisah. Cerita nyata lain tentang derita warga, ketidakadilan dan penindasan terlalu panjang untuk dituliskan. Sementara saat rakyat bersuara keras, protes, berisik, mereka dibungkam. Beberapa waktu lalu, belasan mahasiswa ditangkap dan ditahan saat aksi May Day serta menolak rencana tambang di Raja Ampat. 

Tahun depan, mulai pemberlakuan KUHAP baru yang beberapa pasalnya dinilai bakal membungkam suara kritis. Menderita tapi enggak bisa bersuara. Maka, pengibaran bendera One Piece jelang Hari Kemerdekaan Indonesia menjadi pilihan untuk melawan.

Pengibaran bendera One Piece bukan sekadar bentuk ekspresi fandom atau hiburan. Fenomena ini punya makna simbolik yang lebih dalam dan mencerminkan keresahan sosial-politik generasi muda. Beberapa faktor penyebab tren ini antara lain:

Pertama, simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Bendera bajak laut dalam One Piece—terutama milik kelompok Topi Jerami (Straw Hat Pirates)— merupakan simbol perlawanan terhadap tirani, korupsi, dan ketidakadilan. Dalam narasi One Piece, Luffy dan kawan-kawan melawan pemerintahan dunia yang otoriter, korup, dan menindas. Anak muda yang mengibarkan bendera ini seolah berkata, "Kami muak dengan ketidakadilan di dunia nyata, dan kami berdiri bersama simbol perlawanan."

Kedua, kekecewaan terhadap elite dan institusi negara. Banyak anak muda merasa negara dikuasai segelintir orang—oligarki—yang hanya memperkaya diri sendiri. Ketika SDA dikuasai asing atau korporat besar, rakyat hanya jadi penonton dan pembeli dengan harga mahal. Pengibaran bendera One Piece menjadi bentuk sindiran: negara ini sudah dikuasai "bajak laut" versi nyata, yakni para elite dan korporat.

Ketiga, banyaknya pembungkaman suara kritis. Pembungkaman aktivis, mahasiswa, dan rakyat yang bersuara lewat regulasi, represif aparat, atau kriminalisasi protes penolakan, menjadi kekhawatiran generasi muda. Bendera One Piece jadi metafora bagi kebebasan berekspresi dan hak untuk memberontak terhadap ketidakadilan.

Keempat, kreativitas dan simbolisme pop culture. Anak muda sekarang cerdas dan kreatif. Mereka memadukan simbol pop culture dengan isu sosial. One Piece adalah cerita yang dikenal luas, emosional, dan relevan. Mengibarkan bendera bajak laut dari anime ini bukan hanya unik dan menarik perhatian, tapi juga penuh makna: perjuangan, kesetiaan, impian, dan kebebasan.

Kelima, kekecewaan atas makna kemerdekaan yang kosong. Setelah 80 tahun merdeka, banyak anak muda merasa makna kemerdekaan tinggal seremoni. Ketika hidup makin sulit, suara dibungkam, dan peluang makin sempit, perayaan kemerdekaan terasa hampa. Maka, mengibarkan bendera One Piece adalah bentuk satire: "Kami belum merdeka, dan kami masih harus berjuang melawan 'penjajahan' yang baru."

Dengan demikian, pengibaran bendera One Piece adalah bentuk ekspresi politik generasi muda—yang cerdas, simbolik, dan kreatif—dalam merespons ketimpangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan pembungkaman politik. Ini bukan sekadar tren, tapi alarm dari generasi yang resah, menuntut perubahan dan makna sejati dari kemerdekaan.

Begitulah, saat manusia hidup dalam penerapan sistem kapitalisme sekularistik. Saat aturan hidup dibuat oleh manusia, menjauhkan insan dari agama, bebas berbuat sekehendaknya, dan pencapaian materiil menjadi tujuannya. 

Ruang politik (kekuasaan) pun dipenuhi para penguasa tamak. Bukan berkehendak melayani rakyat. Tapi memelihara kepentingan diri, keluarga, dan golongannya, sembari menelurkan kebijakan yang menindas rakyat. 

Maka, penindasan adalah keniscayaan dalam sistem buruk ini. Oleh karena itu, hendaknya perlawanan tak hanya bersifat spontan dan sporadis. Tapi menyasar akar kesewenang-wenangan. Lawan sistem kapitalisme sekularisme dan mengarahkan perjuangan kemudian untuk menerapkan sistem hidup dari pencipta manusia yaitu sistem Islam dari Allah Ta'ala.

Dampak Tren Pengibaran Bendera One Piece terhadap Kepercayaan Masyarakat pada Pemerintah

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Rissalwan Lubis, mengatakan kemunculan simbol One Piece harus dibaca sebagai bentuk keresahan kolektif yang muncul dalam ruang publik, bukan sebagai upaya mengganggu stabilitas negara. Ia melihat, pemerintah seharusnya introspeksi, melihat bahwa ada yang tidak beres (kompas.com, 2/8/2025). 

Maka, bila pemerintah tak mampu menangkap pesan perlawanan tersebut dan terus memberlakukan kebijakan yang menindas, maka dampak yang terjadi terkait kepercayaan masyarakat pada pemerintah adalah: 

Pertama, erosi legitimasi pemerintah di mata rakyat. Pengibaran bendera One Piece dapat dimaknai sebagai: kritik nonverbal. Rakyat merasa tidak punya ruang aman untuk menyuarakan protes secara konvensional, sehingga menggunakan budaya populer sebagai media. Ketika rakyat tidak merasa dilindungi atau diwakili oleh pemerintah, loyalitas simbolik pun goyah.

Ini berdampak langsung pada: menurunnya partisipasi politik (karena apatisme), menipisnya rasa hormat terhadap otoritas formal seperti pemerintah dan aparat, serta tumbuhnya narasi alternatif tentang keadilan dan kepahlawanan bukan dari sejarah nasional, tapi dari tokoh fiksi seperti Luffy.

Kedua, krisis identitas dan legitimasi simbol negara. Pengibaran bendera Jolly Roger (tengkorak bajak laut) menggantikan bendera merah putih di momen sakral seperti HUT RI bukan sekadar tren iseng. Itu menunjukkan:
ada jarak emosional dan ideologis antara rakyat dan negara. Lalu, simbol negara seperti bendera, lagu kebangsaan, atau lambang negara mulai kehilangan makna sakralnya di mata sebagian masyarakat.

Jika dibiarkan, ini bisa memicu krisis legitimasi simbolik, di mana rakyat tidak lagi merasa terikat dengan simbol kenegaraan. Selain itu, negara bisa kehilangan kekuatan naratifnya, yang selama ini menjadi perekat identitas kolektif.

Ketiga, reaksi pemerintah akan menentukan arah kepercayaan. Cara pemerintah merespons tren ini sangat menentukan. Jika responsnya represif (penangkapan, pelarangan, intimidasi), maka kepercayaan akan makin runtuh. Bila responsnya reflektif (melakukan introspeksi, membuka ruang kritik), maka ada peluang memulihkan kepercayaan.

Demikianlah, tren pengibaran bendera One Piece menjelang Hari Kemerdekaan adalah ekspresi kritik sosial yang menandakan retaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ini mencerminkan: rasa frustrasi kolektif terhadap kondisi sosial-ekonomi-politik, dan
kebutuhan akan pemimpin yang berpihak pada rakyat, bukan oligarki. Selain itu, bentuk kerinduan akan keadilan, kebebasan, dan keberanian—nilai-nilai yang saat ini justru lebih banyak ditemukan dalam fiksi dibanding dalam realitas pemerintahan.

Strategi Memulihkan Kepercayaan Masyarakat sehingga Pengibaran Bendera One Piece Bukan Jadi Pilihan

Bendera One Piece adalah sindiran bahwa rakyat merasa butuh "pahlawan bajak laut" fiktif ketimbang negara yang nyata. Maka, negara harus kembali ke rakyat. Membangun kepercayaan bukan lewat slogan atau seremoni, melainkan lewat tindakan nyata yang terasa langsung di kehidupan sehari-hari.

Kalau negara hadir, adil, dan mendengar, maka rakyat akan kembali percaya. Dalam konteks ini, Islam sebagai sistem nilai dan peradaban memiliki strategi yang cukup relevan dan aplikatif dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat, sehingga tren pengibaran bendera One Piece bukan menjadi pilihan. Berikut adalah beberapa strategi Islam yang dapat diterapkan:

Pertama, kepemimpinan yang amanah dan adil. Dalam Islam, pemimpin bukan hanya pejabat, tapi pelayan rakyat (khadim al-ummah). Rasulullah SAW bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Strateginya adalah: transparansi pengelolaan dana publik, sederhana dalam hidup (teladan Umar bin Khattab), serta menghukum pejabat yang zalim, bukan melindunginya.

Kedua, keadilan sosial dan distribusi kekayaan. Islam menekankan bahwa kemiskinan bukan sekadar takdir, tapi juga akibat sistem yang timpang. Dalam Al-Qur’an, zakat bukan hanya ibadah, tapi instrumen distribusi sosial. Allah SWT berfirman, "Agar harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu" (QS. Al-Hasyr: 7).

Strategi untuk hal ini ialah: optimalisasi zakat, infak, sedekah, dan wakaf produktif, membuka akses ekonomi bagi kelompok marginal, serta negara tak hanya sebagai regulator namun juga operator. Pelindung rakyat, bukan hanya pelayan korporasi.

Ketiga, partisipasi publik dan musyawarah. Islam mendorong dialog partisipatif dalam pengambilan kebijakan. Ini bukan sistem otoriter atau elitokratik. Firman Allah SWT, “...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...” (QS. Ali Imran: 159). 

Strateginya dengan: forum musyawarah rakyat yang representatif, transparansi pengambilan kebijakan, bukan politik kamar gelap, serta edukasi rakyat agar sadar peran dan haknya, bukan sekadar objek.

Keempat, etika pelayanan publik sebagai ibadah. Pelayanan masyarakat dalam Islam adalah ladang pahala. Rasulullah bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia" (HR. Ahmad).

Strategi pelayanan antara lain: aparatur negara bekerja bukan untuk proyek pribadi, tapi untuk maslahat umat. Ada penghapusan mental birokrasi feodal atau transaksional. Lalu prioritas layanan: kesehatan, pendidikan, dan keadilan hukum.

Kelima, restorasi moral dan spiritualitas publik. Masyarakat yang kehilangan kepercayaan adalah masyarakat yang kehilangan harapan. Islam hadir bukan hanya untuk mengatur politik, tapi menghidupkan ruh kebajikan.

Strategi yang bisa dilakukan yaitu: dakwah publik yang inklusif dan kontekstual, serta menghidupkan budaya tolong-menolong, bukan kompetisi rakus. Selain itu, pemimpin dan tokoh agama hadir bersama rakyat dalam kesulitan.

Dengan demikian, jika negara ingin agar rakyat berhenti mengangkat simbol bajak laut sebagai simbol harapan, maka negara harus tampil sebagai "kapten" yang sejati: jujur, berani, adil, dan mau berlayar bersama rakyat. Dalam Islam, pemulihan kepercayaan bukan dimulai dari seremoni, tetapi dari keteladanan.

Jika negara hadir sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin — sebagai pelindung, pelayan, dan pembebas — maka rakyat tak perlu lagi memimpikan Luffy sebagai penyelamat, karena keadilan sudah nyata di depan mata. Dan sejatinya negara itu adalah khilafah islamiyah. Bukan negara demokrasi ala sekuler seperti hari ini.

Oleh: Pierre Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Opini

×
Berita Terbaru Update